Total Pageviews

Wednesday, February 29, 2012

Sereal Sarapan

Elvira Syamsir, dari berbagai sumber

Sereal sarapan terbuat dari biji-bijian dan didisain untuk dipasarkan kepada kon-sumen sebagai makanan sarapan pagi siap saji. Pada awalnya, produk yang dikembangkan oleh John H. Kellogg pada tahun 1895 ini, ditujukan untuk pasien yang mengalami gangguan pencernaan di Battle Creek Sanatorium USA, guna meningkatkan konsumsi serat pada dietnya.
 
Saat ini, jenis sereal sarapan di pasaran sangat beragam. Ciri khas produk ini adalah teksturnya yang renyah karena kadar airnya rendah. Perbedaan teknik pengolahannya, maka bentuknya juga bervariasi: serpihan (flake), hancuran atau parutan (shredded), mengembang (puffed), panggangan (baked) dan ekstrudat (extruded). 

Pemasakan merupakan tahapan proses penting dalam pembuatan sereal sarapan. Proses ini akan memodifikasi sifat fisik bahan untuk menghasilkan tekstur produk yang diinginkan.

BAHAN BAKU
 

Produk sereal sarapan didasarkan pada formulasi bahan dengan kadar pati yang tinggi. Tiga komponen dasar dalam formulasi produk yaitu serealia, pemanis dan bahan pembentuk flavor. Ingredien lain yang umum digunakan yaitu garam, ragi, pewarna, vitamin, mineral dan pengawet.
 

Pemilihan ingredien dalam formulasi sereal merupakan faktor kritis yang mempengaruhi mutu dan keragaman produk akhir. Agar dapat memilih ingredien secara benar, diperlukan pemahaman proses untuk mengetahui kesesuaian ingredien dengan kondisi proses.
 


Tanya Jawab Seputar Sukun

dengan Elvira Syamsir

1.  Apakah sukun memang cocok untuk dibuat mie? Mengapa?
Dilihat dari bahan bakunya, mie ada yang menggunakan bahan baku terigu (yang sekarang umum dikenal sebagai mie), mie yang menggunakan bahan baku pati (misalnya soun) dan mie yang menggunakan bahan sumber karbohidrat (misalnya bihun dari tepung beras).  Sehingga, kalau dilihat dari jenis bahan bakunya, kita bisa membuat mie sejenis soun jika menggunakan tepung pati sukun dan mie sejenis bihun jika menggunakan tepung sukun. Jika ingin membuat mie seperti mie terigu, penggunaan tepung sukun perlu dicampur dengan terigu (tepung komposit) karena tekstur mie terigu dibentuk oleh pati dan protein gluten yang hanya ada didalam terigu. Terigu yang bisa diganti dengan tepung sukun mungkin sekitar 10 – 30%, dan berapa tepatnya bisa dicari dengan cara coba-coba. Jika ingin membuat mie dengan karakteristik tekstur seperti mie terigu dengan menggunakan tepung sukun 100%, menurut saya agak sulit karena karakteristik tepung sukun agak berbeda dengan tepung terigu.  Disini diperlukan proses modifikasi tepung sukun agar karakteristik fungsional tepungnya mirip dengan terigu. Juga perlu diingat bahwa penggantian formula bahan mungkin menyebabkan proses pengolahan perlu dimodifikasi kembali untuk memperoleh produk dengan karakteristik yang diinginkan.


Wednesday, February 22, 2012

Nikmatnya ”Kraca” untuk Berbuka

Dr. Nur Aini, Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pertanian UNSOED Purwokerto (tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia)


Hampir setiap daerah di Indonesia mempunyai menu khas pada saat berbuka puasa, yang jarang ditemui pada bulan lain. Ada yang menarik dari tradisi menu buka puasa di Purwokerto, yaitu kraca. Tahukah anda apa itu kraca? Kraca, sebutan warga Banyumas untuk keong yang dimasak dengan beberapa bumbu khas, mirip dengan bumbu rica-rica dan menjadi salah satu hidangan utama warga Purwokerto saat berbuka puasa. Kandungan air yang cukup tinggi pada masakan keong ini membuatnya terasa segar saat disantap. Rasanya yang khas yaitu gurih dan pedas serta pekat dengan sentuhan bumbu kuat membuat makanan ini sangat digemari, tidak saja oleh warga Purwokerto tetapi juga oleh orang-orang yang pernah mencicipinya.

Keong yang dipergunakan sebagai bahan baku masakan ini merupakan jenis keong hitam yang mempunyai ukuran kecil, lain dengan keong mas. Kraca sebenarnya adalah sebutan untuk jenis keong hitam tersebut. Seiring dengan semakin sulitnya memperoleh keong hitam, ada beberapa orang yang mengolah keong jenis lain dan tetap disebut kraca.

Nilai gizi keong 

Keong (Inggris: snail) atau yang dalam bahasa Perancis disebut Escargot merupakan jenis hewan moluska yang ditemukan di pantai, air tawar, dan tanah. Keong memiliki sekitar 100 spesies dan tergantung pada jenis lokasi yang berbeda digunakan sebagai sumber makanan. Biasanya keong yang dimakan adalah dari jenis Helix pomatia dan Helix aspersa.
 
Keong telah lama digunakan sebagai salah satu menu konsumsi untuk manusia karena terkenal lezat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Orang Perancis terkadang menyajikan keong sebagai appetizer; sedangkan di Amerika dan Australia, keong yang mereka sebut abalone pada umumnya dikonsumsi sebagai makanan utama, misalnya dalam masakan Spaghetti with escargots dan Abalone in oyster sauce

Keong kaya akan protein, tetapi rendah lemak (Tabel 1) sehingga dapat dijadikan sebagai alternative makanan tinggi protein yang rendah lemak. Dalam seratus gram bagian yang dapat dimakan terdapat 16 g protein sehingga apabila kita mengkonsumsi 100 g kraca, tubuh kita sudah mendapat 32% protein dari kebutuhan sehari-hari. Protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh dan juga berperan dalam proses kekebalan tubuh. Konsumsi protein hewani dalam makanan sehari-hari diperlukan oleh tubuh disamping protein nabati.

Lemak dalam 100 g kraca terdapat dalam jumlah 1,4 g. Lemak yang terdapat dalam keong merupakan asam lemak essensial dalam bentuk asam linoleat dan asam linolenat. Sebuah studi di Brazil menunjukkan bahwa 75% persen lemak dalam keong merupakan asam lemak tidak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh tersebut 57% tersusun dari asam lemak tak jenuh ganda dan sisanya merupakan asam lemak tak jenuh tunggal. 

Kandungan vitamin pada keong cukup tinggi dengan dominasi vitamin A, vitamin E, niacin dan folat. Vitamin A berperan dalam pembentukkan indra penglihatan yang baik, terutama di malam hari, sebagai salah satu komponen penyusun pigmen mata di retina serta menjaga kesehatan kulit dan imunitas tubuh. Niacin atau vitamin B3 berperan penting dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, dan protein. Di dalam tubuh, vitamin B3 memiliki peranan penting dalam menjaga kadar gula darah, tekanan darah tinggi, penyembuhan migrain, dan vertigo. Vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Vitamin E juga merupakan sebagai senyawa antioksidan alami. Folat berfungsi membantu pembentukan sel darah merah, mencegah anemia, sebagai bahan pembentukan bahan genetik sel, dan sangat esensial selama kehamilan karena mencegah timbulnya kecacatan tabung saraf pada bayi. Apabila kita mengkonsumsi 100 gram kraca, maka kita dapat memenuhi kebutuhan 2% vitamin A, 23% vitamin E, 7% niacin dan 66% folat.


Mineral merupakan zat yang berperan penting pada tubuh manusia untuk pengaturan kerja enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu pembentukan ikatan yang memerlukan mineral seperti pembentukan haemoglobin. Kandungan mineral yang utama pada keong berupa kalsium, zat besi, magnesium, kalium dan fosfor. Apabila kita mengkonsumsi 100 g kraca, maka sudah memenuhi 17% kalsium dan 13,5% zat besi untuk kebutuhan tubuh sehari-hari. 

Peran utama kalsium adalah untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium mengakibatkan terjadinya osteoporosis (keropos pada tulang). Zat besi mampunyai fungsi utama memproduksi hemoglobin dan mioglobin. Zat besi yang berasal dari produk hewani atau disebut juga sebagai besi-hem akan lebih mudah diserap oleh tubuh. Zat besi pada keong berjumlah 3,5 mg, lebih tinggi daripada zat besi pada daging (2,5 mg) atau ikan (2,4 mg).
 
Pengolahan kraca

Untuk mendapatkan kraca yang lezat perlu pengolahan yang tepat dengan waktu yang cukup lama, walaupun prosesnya tidak rumit. Pertama-tama keong dipecahkan ujung cangkangnya atau dalam bahasa Jawa disebut dithithiki (bagian belakang rumah keong dipukul hingga berlubang). Pemecahan ujung cangkang dilakukan untuk membuang kotoran yang masih terdapat pada keong serta memudahkan bumbu meresap ke tubuh keong saat proses pemasakan. Proses ini juga berfungsi untuk memudahkan kita untuk mengkonsumsi keong nantinya.

Tahap selanjutnya adalah mencuci keong tersebut, minimal selama empat kali. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan aroma lumpur yang biasanya menjadi tempat hidup keong. Apabila pencucian tidak sempurna, akan terasa pahit saat dikonsumsi. Setelah pencucian, dilakukan perendaman selama semalam untuk menghilangkan lendir yang terdapat pada tubuh keong. Pada waktu proses perendaman tersebut dipisahkan keong yang berkualitas jelek yang akan terapung di permukaan air perendam. Setelah perendaman, dilakukan pencucian lagi selama empat sampai lima kali untuk memastikan bahwa lendir dan kotoran sudah benar-benar hilang dari tubuh keong.

Tahap pengolahan dilanjutkan dengan penyangraian bumbu-bumbu berupa bawang merah, bawang putih, kemiri, cabe merah, cabe rawit, jahe, kunyit, daun salam, lengkuas, dan sereh. Selain untuk menimbulkan aroma yang enak dan menghilangkan aroma amis dari keong, bumbu-bumbu tersebut juga berfungsi sebagai antioksidan dan beberapa fungsi yang menguntungkan tubuh (lihat Kulinologi Indonesia edisi 5/II/2010). Setelah tercium aroma harum pada saat penyangraian, kraca dimasukkan dan diaduk rata serta ditambahkan air dan dimasak sampai air mendidih, kemudian ditambahkan garam, gula dan santan encer. Keong kemudian dimasak selama 2-3 jam. Setelah itu kraca yang khas, lezat dengan tekstur lunak siap untuk disajikan.
 
Prospek pengolahan kraca pada skala industri 

Produk-produk khas seperti kraca ini perlu dipopulerkan ke daerah lain sehingga anda yang berada di luar Purwokerto dapat menikmatinya, tidak saja pada bulan puasa tetapi juga pada bulan-bulan lain. Pengenalan kraca ke daerah lain ini tidak mudah dilakukan karena kraca tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Kraca merupakan makanan dengan kadar air tinggi, sedangkan air merupakan media tumbuhnya mikroorganisme pembusuk. Kadar air yang tinggi mengakibatkan cepat terjadinya penurunan kualitas kraca. Hal ini merupakan kendala apabila kraca akan dibawa ke luar kota atau luar daerah. Bahan makanan dengan sifat seperti kraca memerlukan teknik pengolahan khusus sehingga dapat dipertahankan kualitasnya pada waktu yang lama.

Ada dua metode pengolahan yang mungkin dilakukan pada kraca agar mempunyai umur simpan lebih lama, yaitu pengalengan dan pengolahan menggunakan kadar garam tinggi. Penggunaan kadar garam tinggi pada pengolahan kraca tidak bisa direkomendasikan karena dapat mengakibatkan perubahan cita rasa menjadi lebih asin. Teknologi pengolahan yang dapat diterapkan pada pengolahan kraca agar lebih tahan lama disimpan adalah dengan cara pengalengan. Pengalengan merupakan metode utama pengawetan makanan dan menjadi dasar destruksi mikroorganisme oleh panas dan mencegah rekontaminasi. Panas merupakan agensia umum yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme. Penghilangan oksigen digunakan bersama dengan metode lain untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang memerlukan oksigen.

Sterilisasi merupakan tahap paling penting pada proses pengalengan. Keong, seperti halnya produk hewani yang lain memerlukan proses sterilisasi dengan menggunakan tekanan tinggi untuk mencegah kerusakan tekstur dan mempertahankan nutrisi pada bahan. Sebagaimana proses pengalengan yang lain, pada pengalengan keong juga memerlukan larutan pengisi yang berfungsi mempercepat transfer panas, mencegah korosi karena akumulasi O2, menambah rasa dan flavor, serta mengatur head space. Pengalengan kraca menggunakan air yang telah ditambah bumbu-bumbu khas kraca sebagai larutan pengisi sehingga ciri khas kraca dapat dipertahankan.

Teknologi pengalengan makanan ini juga memungkinkan untuk mengembangkan kraca ke skala yang lebih besar, terutama skala industri. Produk industrialisasi keong sudah popular di pasar Internasional, terutama di Eropa dan Amerika. Konsumsi produk-produk keong internasional mencapai 400.000 ton, yang setara dengan 2 juta keong segar. Sampai saat ini, belum banyak industri pangan di Indonesia yang melakukan proses pengalengan keong sehingga peluangnya masih terbuka untuk dikembangkan. Anda berminat?

Tuesday, February 7, 2012

Fruit and vegetable consumption and prospective weight change in participants of the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition–Physical Activity, Nutrition, Alcohol, Cessation of Smoking, Eating Out of Home, and Obesity study

Anne-Claire Vergnaud, Teresa Norat, Dora Romaguera, Traci Mouw, Anne M May, Isabelle Romieu, Heinz Freisling, Nadia Slimani, Marie-Christine Boutron-Ruault, Françoise Clavel-Chapelon, Sophie Morois, Rudolf Kaaks, Birgit Teucher, Heiner Boeing, Brian Buijsse, Anne Tjønneland, Jytte Halkjær, Kim Overvad, Marianne Uhre Jakobsen, Laudina Rodríguez, Antonio Agudo, Maria-José Sánchez, Pilar Amiano, José María Huerta, Aurelio Barricarte Gurrea, Nick Wareham, Kay-Tee Khaw, Francesca Crowe, Philippos Orfanos, Androniki Naska, Antonia Trichopoulou, Giovanna Masala, Valeria Pala, Rosario Tumino, Carlotta Sacerdote, Amalia Mattiello, H Bas Bueno-de-Mesquita, Fränzel JB van Duijnhoven, Isabel Drake, Elisabet Wirfält, Ingegerd Johansson, Göran Hallmans, Dagrun Engeset, Tonje Braaten, Christine L Parr, Andreani Odysseos, Elio Riboli, and Petra HM Peeters

Abstract

Background: Fruit and vegetable consumption might prevent weight gain through their low energy density and high dietary fiber content. 

Objective: We assessed the association between the baseline consumption of fruit and vegetables and weight change in participants from 10 European countries participating in the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition study.

Design: Diet was assessed at baseline in 373,803 participants by using country-specific validated questionnaires. Weight was measured at baseline and self-reported at follow-up in most centers. Associations between baseline fruit and vegetable intakes (per 100 g/d) and weight change (g/y) after a mean follow-up of 5 y were assessed by using linear mixed-models, with age, sex, total energy intake, and other potential confounders controlled for.

Results: After exclusion of subjects with chronic diseases at baseline and subjects who were likely to misreport energy intakes, baseline fruit and vegetable intakes were not associated with weight change overall. However, baseline fruit and vegetable intakes were inversely associated with weight change in men and women who quit smoking during follow-up. We observed weak positive associations between vegetable intake and weight change in women who were overweight, were former smokers, or had high prudent dietary pattern scores and weak inverse associations between fruit intake and weight change in women who were >50 y of age, were of normal weight, were never smokers, or had low prudent dietary pattern scores.

Conclusions: In this large study, higher baseline fruit and vegetable intakes, while maintaining total energy intakes constant, did not substantially influence midterm weight change overall but could help to reduce risk of weight gain in persons who stop smoking. The interactions observed in women deserve additional attention. 


Am J Clin Nutr January 2012 vol. 95 no. 1 184-193 

Thursday, February 2, 2012

Pangan Fungsional dari Pangan Tradisional

Oleh: Elvira Syamsir

Berbagai kajian epidemiologi, penelitian maupun data klinis menunjukkan bahwa beberapa makanan dan/atau komponen pangan tertentu bisa memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan.  Sejalan dengan perbaikan ekonomi dan pemahaman terhadap pengaruh pangan terhadap kesehatan, maka tuntutan konsumen terhadap makanan yang akan dikonsumsinya tidak lagi hanya sekedar harus mempunyai komposisi gizi yang baik, atau penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Tuntutan ini menyebabkan pangan fungsional saat ini tumbuh dan berkembang pesat.  Banyak pangan tradisional kita yang bisa dikategorikan sebagai pangan fungsional.  Bisakah dikembangkan menjadi pangan fungsional ‘modern’?

Pangan Fungsional

Menurut Badan POM, pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah diproses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, maka pangan tersebut haruslah bisa dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman dengan karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen serta tidak memberikan kontraindikasi maupun efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya pada jumlah penggunaan yang dianjurkan.  

Walaupun mempunyai manfaat bagi kesehatan, pangan fungsional bukanlah obat ataupun suplemen makanan sehingga bukan merupakan kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami.  Pangan fungsional dapat dikonsumsi bebas seperti makanan dan minuman pada umumnya, tanpa adanya batasan dosis tertentu.  Bila obat digunakan untuk mengobati suatu penyakit, maka pangan fungsional lebih ditujukan untuk penurunan risiko, perlambatan atau pencegahan penyakit tertentu.  Yang paling utama adalah mencegah penyakit degeneratif dan meningkatkan daya tahan tubuh khususnya pada proses pemulihan pasca sakit.