Total Pageviews

Tuesday, December 28, 2010

Mie Basah Mentah Awet Dua Hari


PENDAHULUAN

Mie basah merupakan salah satu jenis mie yang dikenal luas dan disukai oleh masyarakat dan sebagian besar diproduksi oleh industri rumah tangga, kecil dan menengah. Dua jenis mie basah yang dikenal masyarakat adalah mie mentah (raw noodle) dan mie rebus (cooked noodle).

Mie basah mentah dijual dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan seperti mie ayam. Mie basah mentah juga banyak diolah menjadi aneka makanan di tingkat rumah tangga.

Tanpa penambahan pengawet, umur simpan mie basah mentah relatif pendek: sekitar 16 – 20 jam jika disimpan pada suhu ruang. Penyebab kerusakan terutama aktivitas mikroba pembusuk yang dipercepat oleh beberapa faktor berikut:
  • Tingginya kadar air, aktivitas air (aw) dan pH mie basah
  • Praktek pengolahan mie basah yang kurang memperhatikan sanitasi dan higiene
  • Kondisi produksi, distribusi, penyimpanan dan penjualan pada suhu ruang

Monday, December 20, 2010

Mengenal Marinasi

Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia)

Marinasi adalah proses perendaman daging didalam marinade, sebelum diolah lebih lanjut.  Marinade adalah nama populer dari cairan berbumbu yang berfungsi sebagai perendam daging (termasuk juga daging unggas dan seafood), biasanya digunakan untuk menambahkan flavor dan/atau meningkatkan keempukan daging.  Variasi marinade sangat banyak dengan kekhasan formulanya masing-masing.  Pemilihan marinade karenanya menjadi kunci penting untuk menghasilkan masakan daging yang lezat.     

Marinasi dan Jenis Marinade

Sebagai salah satu metode preparasi pangan, marinasi telah dikenal sejak lama.  Pada awalnya, marinasi dilakukan untuk mengawetkan ikan.  Ikan direndam dalam marinade sederhana berupa larutan garam, untuk memperpanjang umur simpannya sekaligus menghasilkan flavor unik yang berbeda dengan ikan asalnya. Dalam perkembangannya, inggridien dari marinade bukan lagi hanya garam, tetapi juga minyak makan (minyak zaitun, minyak almond, dan sebagainya), asam (vinegar, lemon juice, wine dan lain sebagainya), rempah dan berbagai bahan lainnya.  Dengan berkembangnya teknik pengawetan saat ini, maka tujuan utama marinasi bukan lagi untuk  pengawetan tetapi untuk memberikan flavor, menjaga produk tetap juicy (tidak kering) ketika diolah lebih lanjut, dan/atau untuk mengempukkan daging.

Saat ini bisa dijumpai marinade yang berbasis minyak, berbasis asam atau kombinasi keduanya.  Minyak berfungsi untuk mempertahankan air daging (menjaga daging tetap juicy), sementara asam berfungsi sebagai pengempuk (karena dapat memotong protein (serat) daging).  Gula, rempah dan garam didalam marinade berfungsi untuk membentuk flavor produk.  Gula juga membantu pembentukan warna kecoklatan ketika daging dimasak, sementara garam dan sodium fosfat (digunakan dalam beberapa produk marinade komersial) membantu memperbaiki kemampuan daging dalam mengikat air sehingga mengurangi susut masak (cooking loss) selama pemasakan dan mempertahankan kesan juicy daging pada produk daging setelah dimasak. 

Saturday, December 18, 2010

Rice Bran Menurunkan Tekanan Darah dan Kolesterol

Oleh: Ardiansyah* tulisan asli di dalam Food Review Indonesia

Rice bran adalah hasil samping penggilingan padi terdiri yang dari lapisan aleurone beras (rice kernel), endosperm, dan germ. Lapisan-lapisan tersebut sangat tinggi kandungan protein, lemak, vitamin, mineral, serta didalamnya terkandung tokotrienol, -orizanol, dan polifenol yang diketahui sebagai senyawa antioksidan. Rice bran dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama bekatul dimana hingga saat ini pemanfaatannya lebih populer sebagai pakan ternak. Untuk selanjutnya penulis menggunakan istilah bekatul. Pada Gambar 1 ditampilkan produk samping penggilingan beras, salah satu produknya adalah bekatul yang terdiri dari 10 persen dari total produk.

Gambar 1. Produk samping penggilingan beras (Sumber: USA Rice Council dalam Shih, 2003).

Data dari Departemen Pertanian pada tahun 2004 menyebutkan bahwa produksi beras nasional mencapai angka 31,8 juta ton per tahun. Sebagai perbandingannya di Amerika Serikat bahwa 10 persen dari total produksi beras dapat dihasilkan bekatul, sehingga dari 31,8 juta ton produksi beras nasional diperkirakan akan dapat menghasilkan 3,18 juta ton bekatul. Potensi bahan baku yang sangat berlimpah jumlahnya tersebut, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha pemanfaatan bekatul misalnya sebagai pangan fungsional.

Penggunaan bekatul yang memberikan efek hipokolesterolemik baik pada hewan percobaan maupun manusia sebagian besar berasal dari fraksi lemaknya. Minyak bekatul menurunkan secara nyata kadar kolesterol darah, low density lipoprotein cholesterol (LDL-kolesterol), very low density lipoprotein cholesterol (VLDL-kolesterol), dan dapat meningkatkan kadar high density lipoprotein cholesterol (HDL-kolesterol) darah. Kemampuan minyak bekatul padi menurunkan kadar kolesterol dikarenakan adanya orizanol dan kemampuan lainnya dari bahan yang tidak tersabunkan.

Pada tulisan ini penulis akan menjelaskan kegunaan lain bekatul dari fraksi non lemak yang ternyata memiki potensi yang sama dengan fraksi lemak, untuk menurunkan tekanan darah (hipertensi) dan lemak darah menggunakan hewan percobaan tikus stroke-prone spontaneously hypertensive rats (SHRSP); spesies tikus yang secara genetik mengalami hipertensi dan hiperlipidemia.

Gambar 2. Prosedur preparasi rice bran fractions (Sumber: Ardiansyah et al. 2006 dengan modifikasi).

Seperti diketahui bahwa bekatul sangat mudah rusak disebabkan oleh aktivitas hidrolitik dan oksidatif dari enzim lipase yang berasal dari dalam bekatul (endogenous) maupun aktivitas mikroba. Untuk memperolah bekatul awet dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat, dan pada saat bersamaan kandungan komponen bioaktifnya juga harus tetap dijaga.

Beberapa metode dapat dilakukan, seperti perlakuan fisik, kimia, enzimatik, atau kombinasinya. Penelitian yang penulis lakukan adalah mengekstrak bekatul dengan perlakuan kombinasi ketiga metode seperti diatas, dimana fraksi non lemak diperoleh setelah perlakuan ektraksi menggunakan ethanol yang dilanjutkan dengan perlakuan enzimatis menggunakan Driselase (Gambar 2). Sedangkan fraksi lemak didapat setelah ektraksi menggunakan ethanol. Driselase adalah nama produk enzim komersial untuk degradasi dinding sel tanaman yang terdiri dari selulase, silanase, dan laminarise.

Manfaat Fraksi Bekatul

Hipertensi dan hiperlipidemia merupakan penyakit kardiovaskuler yang akhir-akhir ini meningkat jumlah penderitanya baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Data terakhir menyebutkan hingga tahun 2010, penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit peringkat teratas penyebab kematian. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para peneliti pangan dan gizi adalah mendapatkan komponen bioaktif yang terdapat dalam bahan pangan, salah satunya adalah pemanfaatan bekatul sebagai bahan untuk mencegah hipertensi dan hiperlipidemia.

Penelitian penulis yang telah dipublikasikan pada Journal of Agricultural and Food Chemistry (2006), berhasil membuktikan bahwa fraksi lemak bekatul sama baiknya dengan fraksi non lemak dalam menurunkan tekanan darah tikus SHRSP. Percobaan ini dilakukan selama dua bulan.

Disamping itu fraksi non lemak bekatul dengan jumlah enam persen yang ditambahkan pada pakan kontrol lebih baik dalam menurunkan jumlah lemak darah seperti, kandungan kolesterol dan LDL-C dibandingkan dengan fraksi lemaknya. Fraksi lemak dan non lemak bekatul yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan metode preparasi seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Asam ferulat dan total fenol adalah komponen biaoktif yang saat ini diketahui terdapat di dalam fraksi bekatul sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan lemak darah, disamping tentunya tokotrienol dan -orizanol yang sebelumnya telah diketahui sebagai senyawa antioksidan. Mekanisme penurunan tekanan darah oleh asam ferulat yaitu dengan menghambat kerja enzim angiotensin I-converting enzyme (ACE); suatu enzim yang bertanggung jawab terjadinya peningkatan tekanan darah. Penelitian penulis juga membuktikan hal tersebut dimana terjadi penurunan aktivitas ACE.

Mekanisme terjadinya penurunan lemak darah diduga melalui peningkatan kapasitas pengikatan LDL reseptor. Mekanisme lain yang juga berperan dalam penurunan kolesterol darah adalah peningkatan aktivitas enzim cholesterol7hydroxylase (Cyp7a1), suatu enzim yang bertanggung jawab dalam proses biosintesis asam empedu. Peningkatan aktivitas enzim ini akan menstimulir konversi kolesterol menjadi asam empedu, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kolesterol dalam darah.

Meskipun penelitian diatas diperoleh dari percobaan menggunakan hewan, namun data yang diperoleh dapat diekstrapolasikan ke manusia. Data yang didapatkan sebagai informasi awal untuk dijadikan kajian lebih lanjut pemanfaatan fraksi non lemak bekatul sebagai bahan untuk menurunkan tekanan darah dan jumlah lemak darah pada penderita hipertensi dan hiperlipidemia.

Selain itu tentunya masih diperlukan studi lanjutan tentang pemanfaatan fraksi non lemak untuk penggunannnya sebagai pangan fungsional. Penulis berkeyakinan bahwa fraksi non lemak bekatul lebih cocok jika akan digunakan sebagai pangan fungsional, bila dibandingkan dengan fraksi lemak.

*Ardiansyah, Lab. of Nutrition, Tohoku University Sendai, Jepang

Friday, December 10, 2010

Thought for Food: Imagined Consumption Reduces Actual Consumption - Abstract

Membayangkan makanan ternyata (akan) mengurangi nafsu mengkonsumsinya :D (diambil dari FB-nya Dr Ardiansyah)

Carey K. Morewedge, Young Eun Huh, Joachim Vosgerau
 -- Science 330, 1530 (2010)

The consumption of a food typically leads to a decrease in its subsequent intake through habituation—a decrease in one’s responsiveness to the food and motivation to obtain it. We demonstrated that habituation to a food item can occur even when its consumption is merely imagined. Five experiments showed that people who repeatedly imagined eating a food (such as cheese) many times subsequently consumed less of the imagined food than did people who repeatedly imagined eating that food fewer times, imagined eating a different food (such as candy), or did not imagine eating a food. They did so because they desired to eat it less, not because they considered it less palatable. These results suggest that mental representation alone can engender habituation to a stimulus.


Kemudahan Mengalir (Flowability) Bubuk

Oleh: Erick*

Terminologi kemudahan mengalir bubuk (flowability) jarang digunakan dan umumnya dipahami hanya berhubungan dengan metode untuk mengukurnya saja dibandingkan pengaruhnya terhadap proses. Sebenarnya alasan utama pengukuran flowability bubuk adalah kaitannya dengan kelakuan bubuk tersebut di dalam proses produksi yang tentunya berkaitan dengan interaksinya terhadap peralatan dan proses produksi (Prescott dan Barnum, 2000). Aliran bubuk didefinisikan sebagai pergerakan relatif partikel-partikel curah terhadap partikel-partikel lain di sekitarnya atau sepanjang permukaan dinding wadah (Peleg, 1977). Karakteristik bubuk sangat besar kepentingannya di dalam banyak situasi penanganan dan penyimpanan bahan. Gaya tarik-menarik di antara partikel yang lebih besar jika dibandingkan dengan berat partikel itu sendiri didefinisikan sebagai kohesif. Bubuk kohesif biasanya menunjukkan masalah aliran. Prakteknya, material kohesif dapat gagal untuk mengalir keluar dari wadah dengan bukaan sekitar ribuan kali lebih besar dari diameter partikel tersebut. Masalah aliran mucul pada bubuk kohesif manapun, tetapi lebih serius pada bubuk pangan karena mereka umumnya mengandung substansi lengket (seperti lemak) atau akibat sifat higroskopis, suhu, dan lama waktu konsolidasi (Barbosa-Cánovas et al., 2005).

Untuk menjamin aliran yang tetap dan dapat diandalkan (reliabel), sangat penting untuk mengkarakterisasi kelakuan aliran bubuk dengan akurat. Gaya-gaya yang terkait di dalam aliran bubuk adalah gravitasi, gesekan, kohesi (tarik-menarik antara partikel), dan adhesi (tarik-menarik partikel dengan dinding peralatan). Lebih lanjut sifat permukaan partikel, bentuk, ukuran, dan distribusi ukuran partikel, dan geometri dari sistem adalah faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk tersebut. Fitzpatrick (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) bubuk yaitu:

  1. Bentuk dan ukuran partikel. Ukuran partikel merupakan pengaruh utama bagi flowability. Semakin kecil ukuran partikel, flowability semakin buruk akibat peningkatan gaya interaksi antara partikel. Distribusi ukuran partikel biasanya disajikan dalam distribusi fraksi massa atau volume. Jika sebagian besar partikel berada dalam ukuran yang lebih kecil maka flowability menjadi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Bentuk partikel mempengaruhi permukaan kontak partikel namun tidak banyak bukti bahwa bentuk partikel mempengaruhi flowability.
  2. Interaksi permukaan. Interaksi permukaan yang menahan aliran bumbu dapat dibedakan menjadi friksi internal dan kohesi. Friksi internal adalah tahanan friksi sebuah partikel bergerak di bawah tekanan gaya normal. Gaya kohesi adalah saat tidak ada gaya normal namun masih terdapat gaya tarik menarik antara partikel yang dapat mencegah terjadinya aliran. Gaya van der Waals antara partikel biasanya memiliki pengaruh yang paling besar. Kehadiran cairan, biasanya air atau lemak cair, memberi kontribusi yang besar terhadap kohesi. Cairan pada permukaan partikel akan meningkatkan luas kontak antar-partikel. Pada cairan tertentu, jembatan cairan (liquid bridge) akan terbentuk diantara partikel yang bersentuhan dan membentuk gaya kapiler sebagai hasil dari tegangan permukaan. Gaya interaksi van der Waals antara partikel akan sangat banyak berkurang karena keberadaan cairan, namun gaya kapiler biasanya jauh lebih kuat daripada gaya van der Waals.
  3. Kadar air. Sebagian besar bubuk pangan biasanya memiliki kesetimbangan kelembaban relatif (equilibrium relative humidity) di bawah 25% pada suhu 20 drjt C. Kelembaban relatif yang lebih tinggi dari 25% menjadi tenaga pendorong (driving force) penyerapan uap air ke dalam bahan. Walaupun demikian tingkat difusi uap air ke dalam bubuk curah sangat kecil sehingga hanya bubuk pada bagian yang terpapar saja yang akan menyerap uap air dan memerlukan periode waktu yang sangat panjang untuk uap air menyerap ke dalam gundukan bubuk. Peningkatan kadar air bubuk biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap flowability bubuk yang menjadi lebih buruk akibat terbentuk jembatan cairan dan gaya kapiler antara partikel.
  4. Penggumpalan (caking). Caking terjadi ketika partikel bubuk menempel menjadi satu dan mengeras permukaannya pada permukaan gundukan bubuk yang terpapar, atau gumpalan keras (lump) di dalam bubuk curah, atau kemungkinan terburuknya adalah pengerasan di seluruh gundukan bubuk. Penyebab caking secara luas disebabkan oleh kohesi yang sangat kuat dan pembentukan jembatan padatan (solid bridge) di antara partikel. Gaya kohesi yang sangat besar dapat terbentuk melalui pemadatan, gaya van der Waals berinteraksi lebih kuat akibat jarak antar-partikel yang dekat sehingga dapat membentuk gumpalan. Partikel yang plastis juga dapat meningkatkan gaya kohesi dengan besar. Pemanasan bubuk pangan sampai suhunya lebih besar dari sticky point temperature juga meningkatkan gaya kohesi. Bubuk higroskopis yang telah menyerap uap air dapat berubah menjadi bongkahan padat. Caking bubuk pangan karena pembentukan jembatan padatan (solid bridge) dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme. Pelelehan dan pembekuan lemak juga dapat menyebabkan jembatan padatan (solid bridge) dimana peningkatan suhu menyebabkan lemak padat meleleh menghasilkan cairan yang dapat terdistribusi dengan sendirinya di antara partikel. Jika kemudian suhu berkurang, lemak cair tersebut akan mengeras dan membentuk jembatan padatan (solid bridge) diantara partikel. Penyerapan uap air oleh bubuk yang larut air dapat menyebabkan komponen pada permukaan terlarutkan dan membentuk larutan di antara partikel. Perubahan kondisi udara yang menimbulkan efek pengeringan membentuk jembatan padatan (solid bridge) antar-partikel sehingga terbentuk gumpalan keras.
  5. Kondisi penyimpanan. Kondisi penyimpanan yang dapat memberi pengaruh adalah suhu penyimpanan, paparan terhadap kelembaban relatif udara, lama waktu penyimpanan, dan peleburan. Secara umum, variasi suhu penyimpanan di atas 30 atau 40 drjt C biasanya bukanlah pengaruh utama terhadap flowability bubuk jika tidak terjadi pelelehan komponen atau tidak ada komponen yang melewati suhu transisi gelas (glass transition temperature) atau sticky point temperature. Pada bubuk pangan yang mengandung lemak padat, peningkatan suhu dapat menyebabkan pelelehan lemak menimbulkan jembatan cairan (liquid bridge) lengket sehingga terjadi peningkatan kohesi.
*Erick adalah alumni dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini adalah sebagian dari materi Tinjauan Pustaka Skripsinya.


Tuesday, December 7, 2010

Karakteristik Fisik Bubuk

Oleh: Erick*

Barbosa-Cánovas dan Juliano (2005) menyatakan bahwa karakteristik fisik dari bubuk secara umum saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Perubahan distribusi ukuran partikel atau kadar air dapat menghasilkan perubahan simultan terhadap densitas kamba, flowability, dan penampakan visual. Perubahan apapun dari karakteristik bubuk dapat menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap densitas kamba bubuk (Peleg, 1983). Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap densitas kamba dapat dilihat pada Gambar 1. Tingkat kelengketan bubuk sendiri dipengaruhi beberapa fakor yang dijelaskan hubungannya oleh Gambar 2.



Karakterisasi keseluruhan dari material bubuk bergantung pada sifat dari partikel sebagai entitas tunggal, sifat partikel yang dibentuk, dan interaksi antara yang dibentuk tersebut dengan cairan. Karakteristik partikel tunggal berpengaruh penting terhadap sifat produk diantaranya ukuran partikel, bentuk, permukaan, densitas, kekerasan, sifat adsorpsi, dan sebagainya, namun ukuran partikel adalah yang paling utama dan penting. Selain ukuran partikel, distribusi ukuran partikel (particle size distribution) secara langsung berhubungan dengan kelakuan material dan sifat fisik dari produk. Densitas kamba, kompresibilitas (compressibility), dan kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk pangan sangat bergantung pada ukuran partikel dan distribusinya (Barbosa-Cánovas et al., 1987). Perubahan yang sangat kecil pada densitas kamba bubuk dapat menyebabkan perubahan kemudahan mengalir (flowability) yang besar (Levy dan Kalman, 2001). Menurut Peleg (1977), distribusi ukuran juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability). Beberapa penelitian terdahulu tersebut menunjukkan hubungan yang sangat rumit antara parameter karakteristik bubuk yang satu dengan yang lainnya.

Sifat curah (bulk properties) dari bubuk pangan adalah fungsi dari sifat fisik dan kimia dari material, geometri, ukuran, dan karakteristik permukaan dari masing-masing partikel, juga sama halnya dengan sejarah sistem secara keseluruhan. Kelakuan material bergantung pada cara bagaimana kondisi kompaksi partikel-partikel curah. Bubuk yang sedikit lengket (kohesif) dapat mengalir melewati lubang, tetapi jika dipadatkan dengan sedikit ketukan, aliran bisa saja tidak terjadi akibat formasi stabil yang menutupi lubang. Sejarah yang dialami material curah dapat berdampak besar terhadap sifat dan kelakuan material tersebut, sehingga lini manufakturing yang optimal tidak bisa dicapai dengan alat tertentu yang optimal saja, melainkan secara keseluruhan pada waktu yang bersamaan (Levy dan Kalman, 2001).

*Erick adalah alumni dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.  Tulisan ini adalah sebagian dari materi Tinjauan Pustaka Skripsinya. 

Monday, December 6, 2010

Bubuk (Powder)

Oleh: Erick*

Bubuk curah (bulk powder) terdiri dari kumpulan individu partikel yang sangat beragam karakteristiknya (ukuran, bentuk, dan konsistensi) yang sangat sulit untuk diukur secara akurat pada setiap partikel yang ada (Schulze, 2008). Bubuk tidak dapat dianggap sama dengan cairan walaupun bubuk memiliki sifat mengalir. Padatan dapat membentuk gundukan sementara cairan tidak mampu (Marinelli, 2005). Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), bubuk diperhitungkan sebagai sistem dispersi dua fase terdiri dari fase terdispersi partikel padat yang berbeda-beda ukurannya dan gas sebagai fase kontinu. Susunan partikel-partikel bubuk dalam suatu ruang dapat membentuk formasi yang tidak menentu dan dapat berubah. Beberapa kondisi formasi struktur internal partikel-partikel bubuk dapat dilihat pada Gambar.


Posisi dan besarnya rongga (void) antar-partikel yang terbentuk bersifat acak bergantung dari formasi partikel-partikel yang terbentuk saat partikel-partikel bubuk mengalir secara acak masuk ke dalam wadah memenuhi ruang wadah. Kondisi rongga yang terbentuk dipengaruhi oleh gaya antar-partikel (Peleg, 1983). Selain itu faktor lain seperti keseragaman serta distribusi ukuran partikel juga mempengaruhi peluang susunan formasi partikel-partikel yang terbentuk. Formasi susunan partikel dan rongga dapat berubah susunannya dan berbeda-beda bergantung pada ada atau tidaknya perlakuan yang memampatkan (penggetaran, pengadukan, dan penekanan) dan tentunya pengaruh dari karakteristik fisik partikel itu sendiri.


*Erick adalah alumni dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini adalah sebagian dari materi Tinjauan Pustaka Skripsinya.

Sunday, December 5, 2010

Roti Tawar Ungu

Substitusi terigu dengan tepung ubi jalar ungu menghasilkan roti tawar yg eksotik (Penelitian Saidatul Husnah & Sutrisno Koswara, 2010)

Wednesday, November 10, 2010

Pangan Fermentasi Tradisional Indonesia

Oleh: Elvira Syamsir di dalam Kulinologi Indonesia edisi Oktober 2010

Pangan tradisional adalah pangan (makanan dan minuman) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Produk-produk pangan tradisional merupakan bagian penting dari budaya, identitas dan warisan nenek moyang yang berkontribusi pada perkembangan dan keberlangsungan dari suatu daerah dan menyediakan variasi pilihan pangan pada konsumen. Produk ini biasanya memiliki karakteristik sensorik tertentu yang khas dan biasanya dihubungkan konsumen dengan identitas daerah asalnya.

Indonesia merupakan negara multi pulau dan multi etnis. Keberagaman kondisi lingkungan dan budaya secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik produk pangan masyarakatnya dan kondisi tersebut melahirkan banyak produk pangan tradisional khas daerah. Ada banyak jenis pangan tradisional dan salah satunya adalah dari jenis pangan fermentasi. Artikel berikut akan membahas mengenai produk pangan fermentasi khas Indonesia.

Fermentasi Pangan

Sejarah produk pangan fermentasi telah berlangsung panjang, sama panjangnya dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Seperti halnya pangan tradisional lainnya, metode dan pengetahuan yang terkait dengan pengolahan pangan fermentasi lokal diwariskan ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Tentu saja, proses fermentasi yang dilakukan di masa lalu tidak berdasarkan pada kajian ilmiah peran mikroba dalam merubah karakteristik pangan, tetapi didasarkan pada tradisi bahwa teknik penyimpanan dan penanganan bahan pangan dengan cara tertentu ternyata menghasilkan produk pangan baru yang berbeda dari pangan asalnya.

Produk pangan fermentasi dihasilkan dengan melibatkan aktivitas mikroba dalam produksinya. Selama fermentasi terjadi aktivitas pemecahan komponen pangan karena aktivitas enzimatis mikroba terutama enzim amilase, protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi komponen-komponen sederhana seperti asam, alkohol, karbon dioksida, peptida, asam amino, asam lemak dan komponen-komponen lainnya. Asam, alkohol dan karbon dioksida berperan penting dalam menekan pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen. Secara bersama-sama, komponen-komponen tersebut juga menyebabkan modifikasi tekstur, aroma dan rasa sehingga dihasilkan karakteristik produk yang unik dan berbeda dengan produk asalnya.

Tujuan fermentasi pangan awalnya adalah untuk mengawetkan pangan yang bersifat musiman dan mudah rusak. Sejalan dengan perkembangan alternatif pengawetan pangan maka pengembangan produk pangan fermentasi saat ini lebih karena tekstur, aroma dan rasanya yang unik. Dampak positif dari produk fermentasi terhadap kesehatan konsumen juga menjadi alasan pengembngan produk fermentasi sekarang ini. Pemecahan komponen yang kompleks menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana menyebabkan produk fermentasi lebih mudah dicerna daripada produk pangan asalnya. Pada beberapa produk fermentasi, dilaporkan pula adanya peningkatan kandungan beberapa vitamin, antioksidan, dan senyawa lain yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, ketika produk diproduksi sebagai produk probiotik, maka keberadaan “mikroba baik” yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dapat membantu menjaga kesehatan saluran cerna dan, tergantung dari jenis bakterinya, juga dapat mencegah munculnya penyakit-penyakit degeneratif.

Mengenal Produk Fermentasi Yang Khas Indonesia

Tempe merupakan produk fermentasi khas Indonesia yang paling populer; popularitasnya bahkan sudah mencapai manca negara. Setiap orang pasti akan dengan cepat bisa menjelaskan ciri ataupun cara membuat (fermentasi) tempe. Tapi bagaimana dengan produk fermentasi khas Indonesia yang lain? Barangkali masyarakat hanya terbiasa dengan makanan tradisional didaerahnya dan asing dengan yang diproduksi oleh daerah lain.

Jenis produk fermentasi sangat beragam. Jika dilihat dari mekanisme kerja mikrobanya, maka produk fermentasi khas Indonesia secara umum dapat dimasukkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

  • Fermentasi yang secara enzimatis menghidrolisis protein dari ikan, udang dan produk-produk laut lainnya pada lingkungan dengan konsentrasi garam yang relatif tinggi menghasilkan produk dengan tekstur seperti saos atau pasta dengan flavor seperti daging. Contoh produknya adalah terasi, yang digunakan sebagai bahan penyedap makanan. Terasi dibuat dari udang atau ikan berukuran kecil yang bernilai ekonomis rendah jika dijual dalam bentuk segarnya. Bagan Siapi Api merupakan daerah penghasil terasi yang terkenal, tetapi walau demikian produk ini juga banyak diproduksi di daerah sepanjang pesisir pulau Jawa.
  • Fermentasi yang menghasilkan tekstur seperti daging pada substrat sereal, biji-bijian, ataupun kacang-kacangan, karena pembentukan miselium kapang yang berfungsi sebagai pengikat antar butir-butir serealia, biji-bijian ataupun kacang-kacangan. Contoh produknya tempe dan oncom. Tempe dibuat dari kedelai dengan bantuan kapang Rhizopus (ragi tempe), sementara oncom dibuat dari ampas tahu (oncom merah) dan bungkil kacang tanah (oncom hitam) menggunakan kapang Neurospora sitophila dan Rhizopus oligosporus. Perbedaan warna pada oncom merah dan hitam disebabkan oleh perbedaan pigmen yang dihasilkan oleh kapang yang digunakan dalam fermentasi. Tempe umum dijumpai di daerah Jawa bahkan juga diberbagai daerah di luar Jawa, sementara oncom populer terutama hanya di daerah Jawa Barat.
  • Fermentasi yang melibatkan prinsip koji, dimana mikroba starter ditumbuhkan pada substrat (kacang-kacangan atau serealia) untuk menghasilkan koji atau konsentrat enzim yang bisa digunakan untuk menghidrolisis komponen tertentu dalam suatu proses fermentasi. Contoh produknya adalah kecap, tauco, tempe, oncom dan tape. Kecap merupakan produk seasoning dan kondimen serbaguna, dibuat dari kedelai terutama kedelai hitam. Penampakan kecap seperti pasta, dengan citarasa manis atau asin. Penambahan gula aren dalam produksi kecap manis menyebabkan teksturnya menjadi lebih kental dengan warna yang lebih gelap dibandingkan kecap asin. Tauco berbentuk pasta, berwarna kuning, citarasa asin dan konsistensi seperti bubur dengan flavor seperti daging; merupakan produk fermentasi kedelai oleh kapang, kamir dan bakteri. Kecap dan tauco terutama digemari oleh masyarakat Jawa.
  • Fermentasi yang menghasilkan asam organik sebagai produk utamanya. Yang masuk dalam kelompok ini contohnya dadih, dangke, acar, tempoyak, urutan dan tape. Tempe juga dapat dimasukkan dalam kategori ini karena proses pengasaman terjadi pada saat perendaman kedelai di awal proses pengolahan. Dadih adalah susu kerbau fermentasi, dijumpai di daerah Sumatera Barat. Proses fermentasinya dilakukan secara spontan oleh bakteri asam laktat yang terdapat didalam tabung bambu yang digunakan sebagai wadah fermentasinya. Dadih memiliki tekstur seperti gel dengan citarasa yang asam. Dangke adalah sejenis keju lunak yang dibuat oleh masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan dengan menggunakan susu kerbau sebagai bahan bakunya. Acar atau produk fermentasi sayuran, umum dijumpai di berbagai daerah Indonesia. Tempoyak yang bercitarasa asam dengan sedikit rasa manis dan asin merupakan produk fermentasi daging durian yang sudah lewat matang (over ripe). Berkembang di Palembang (Sumatera Selatan) dan beberapa daerah di Kalimantan, produk ini biasa digunakan sebagai kondimen untuk beberapa produk olahan ikan dan sayur. Urutan merupakan produk sosis fermentasi lokal, yang berasal dari daerah Bali dan menggunakan daging babi sebagai bahan bakunya. Proses fermentasinya dilakukan bersama-sama dengan proses pengeringan.
  • Fermentasi yang menghasilkan alkohol (etanol) sebagai produk utama. Contoh produknya adalah tape ketan dan brem. Tape ketan memiliki citarasa manis/asam. Kapang Amylomyces rouxii dan kamir Endomycopsis burtonii menghidrolisis nasi ketan menjadi maltosa dan glukosa lalu fermentasi lebih lanjutnya memecah gula menjadi etanol dan asam organik. Jus dari tape ketan bisa digunakan untuk memproduksi brem. Ada tiga tipe brem: brem Madiun berwarna putih kekuningan, dengan citararasa asam-manis dan berbentuk balok berukuran 0.5 x 5 to 7 cm; brem Wonogiri berwarna putih, rasa manis, sangat mudah larut dan dibuat dalam bentuk balok bundar tipis berdiameter sekitar 5 cm; dan brem Bali merupakan minuman keras terkenal di daerah Bali.Selain tape ketan, juga dikenal tape singkong. Tape singkong populer diberbagai daerah di Indonesia, teksturnya lunak dan berair. Pengecualian dijumpai pada tape singkong di daerah Jawa Barat: tape singkongnya walaupun lunak, tapi tidak berair dan dikenal dengan nama peuyem.
Masalah Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengembangan Produk

Produk fermentasi tradisional umumnya dibuat oleh unit usaha kecil. Teknologi fermentasi yang digunakan berkembang melalui pengalaman bertahun-tahun dan bukan karena inovasi ilmiah. Pengembangan industri ke skala yang lebih besar, perlu memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:

Tampilan produk.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penampilan adalah daya tarik awal konsumen membeli suatu produk. Ini terutama berlaku untuk konsumen non lokal, yang belum mengenal produk. Kemasan yang terkesan apa adanya, ukuran yang tidak seragam dan tidak memperhatikan berapa ukuran yang pantas untuk satu kali penyajian adalah beberapa contoh masalah tampilan yang membuat produk tidak populer.

Kebersihan dan sanitasi.
Merupakan aspek penting untuk dikendalikan. Produsen atau penjual pangan tradisional termasuk pangan fermentasi masih banyak yang mengabaikan faktor kebersihan dan sanitasinya. Dengan kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk, maka calon pembeli (terutama dari golongan berada) akan menjadi tidak berminat membeli makanan ini karena khawatir dengan faktor keamanannya.

Masalah skala produksi.
Skala usaha yang kecil menyebabkan industri tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Kenapa demikian? Selain faktor modal, hal ini juga terkait dengan masalah kemampuan produksi yang belum memadai. Selain itu, teknik produksi yang umumnya tidak menerapkan prosedur operasional baku dan hanya didasarkan pada kebiasaan tanpa dasar ilmiah yang memadai menyebabkan variasi mutu produk ketika skala produksi ditingkatkan.

Mungkin masih ada kendala lain yang menyebabkan pangan fermentasi tradisional kita tidak populer di negeri sendiri (apalagi di negeri orang), tetapi paling tidak tiga masalah diatas mutlak dibenahi.

Citra pangan fermentasi tradisional juga perlu diangkat dengan promosi yang dilakukan secara terus-menerus, baik mengenai citarasanya, manfaat kesehatannya maupun hal-hal menarik lain terkait dengan produk tersebut. Acara-acara wisata kuliner yang marak di media massa sekarang ini, adalah salah satu contoh promosi pangan tradisional yang sangat baik.

Tetapi, promosi saja tidaklah cukup. Produk juga harus tampil bersih, cantik dan seksi sehingga mengundang konsumen untuk membeli. Juga perlu kerjasama antara pelaku industri dan peneliti yang dimediasi oleh pemerintah untuk mengembangkan perbaikan dan modernisasi proses pengolahan produk fermentasi tradisional, sehingga diperoleh produk yang tetap memiliki ciri khas asalnya dengan kualitas yang baik dan kuantitas produksi yang tinggi.

Daftar Pustaka:

Guerrero, L., M.D. Gua`rdia, J. Xicola, W. Verbeke, F. Vanhonacker, S. Zakowska-Biemans, M. Sajdakowska, C. Sulmont-Rosse´, S. Issanchou, M. Contel, M.L. Scalvedi, B.S. Granli, M. Hersleth. 2009. Consumer-driven definition of traditional food products and innovation in traditional foods. A qualitative cross-cultural study. Appetite 52:345–354

Kuswanto, K.R. 2004. The Industry of Fermented Food in Indonesia: present status and development. Di dalam: Proceedings of the International Seminar on Developing Agricultural Technology for Value-added Food Production in Asia. Japan.

Leisnera, J.J., B. Vancanneyt, G. Rusul, B. Pot, K. Lefebvre, A. Fresi, L.K. Tee. 2001. Identification of lactic acid bacteria constituting the predominating microflora in an acid-fermented condiment (tempoyak) popular in Malaysia. International Journal of Food Microbiology 63:149 –157

Steinkraus, K.H. 1985. Indigenous fermented-food technologies for small-scale industries. Food and Nutrition Bulletin 7(2). Japan.

Wednesday, October 20, 2010

Pharmacological and toxicological properties of Nigella sativa (review article)

B.H. Ali, Gerald Blunden.


Abstract

The seeds of Nigella sativa Linn. (Ranunculaceae), commonly known as black seed or black cumin, are used in folk (herbal) medicine all over the world for the treatment and prevention of a number of diseases and conditions that include asthma, diarrhoea and dyslipidaemia. This article reviews the main reports of the pharmacological and toxicological properties of N. sativa and its constituents.

The seeds contain both fixed and essential oils, proteins, alkaloids and saponin. Much of the biological activity of the seeds has been shown to be due to thymoquinone, the major component of the essential oil, but which is also present in the fixed oil.

The pharmacological actions of the crude extracts of the seeds (and some of its active constituents, e.g. volatile oil and thymoquinone) that have been reported include protection against nephrotoxicity and hepatotoxicity induced by either disease or chemicals. The seeds/oil have antiinflammatory, analgesic, antipyretic, antimicrobial and antineoplastic activity. The oil decreases blood pressure and increases respiration. Treatment of rats with the seed extract for up to 12 weeks has been reported to induce changes in the haemogram that include an increase in both the packed cell volume (PCV) and haemoglobin (Hb), and a decrease in plasma concentrations of cholesterol, triglycerides and glucose.

The seeds are characterized by a very low degree of toxicity. Two cases of contact dermatitis in two individuals have been reported following topical use. Administration of either the seed extract or its oil has been shown not to induce significant adverse effects on liver or kidney functions.

It would appear that the beneficial effects of the use of the seeds and thymoquinone might be related to their cytoprotective and antioxidant actions, and to their effect on some mediators of inflammation.

Phytotherapy Research.  Volume 17, Issue 4, pages 299–305, April 2003

Kajian Risiko Pengawet Perlu Dipertajam

sumber: kompas.com

Kajian risiko terhadap keamanan bahan tambahan pangan (BTP) di Indonesia perlu dikembangkan dan lebih dipertajam. Hal ini sangat penting untuk menentukan batas maksimum penggunaan BTP secara lebih akurat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Seperti diungkapkan Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi M.Sc, ahli pangan dari Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, Indonesia saat ini belum memiliki data penelitian yang komprehensif tentang paparan BTP dikaitkan dengan kebiasaan pola makan masyarakat (total diet study). Padahal, kajian paparan ini juga penting sebagai bahan acuan dalam menentukan batas maksimum penggunaan BTP.

"Kajian paparan ini sangat penting dilakukan. Total diet study perlu untuk menentukan estimated daily intake (EDI) atau perkiraan distribusi asupan per hari. Kita perlu memperkirakan, seberapa banyak sih orang Indonesia makan kecap atau jenis makanan lainnya yang kemungkinan menurut peraturan diperbolehkan menggunakan pengawet tertentu," ungkap Purwiyatno dalam acara temu media yang diselenggarakan Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM), di Jakarta, Senin (18/10).

Dengan mengkaji kebiasaan dan pola konsumsi masyarakat, kata Purwiyatno, nantinya pemerintah dalam hal ini BPOM dapat menentukan potensi paparan bahan tambahan pangan yang nilainya bisa lebih akurat dan mewakili kebutuhan orang Indonesia.

Selain EDI, masyarakat sebelumnya juga telah mengenal ADI atau acceptable daily intake atau jumlah yang dianggap aman untuk konsumsi setiap hari. ADI didasarkan pada hasil uji toksisitas, sedangkan EDI lebih menekankan pada kajian potensi paparan. Kedua hal ini, menurut Purwiyatno yang menjadi acuan dalam menentukan batas maksimum penggunaan BTP.

Terkait kasus bahan pengawet pada mi instan, BPOM menyatakan bahwa penggunaan BTP nipagin pada seluruh produk yang terdaftar telah sesuai dengan ketentuan yakni 250 mg/kg. Oleh sebab itu, masyarakat tidak perlu khawatir dengan konsumsi mi instan karena hasil uji sampel kecap dalam seluruh mi instan yang beredar tidak ada yang melebihi 250 mg per kg.

Menurut Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Roy Sparringa, angka 250 mg/kg ini apabila diperhitungkan sudah sesuai dengan jumlah yang dianggap aman untuk konsumsi yakni sebesar 10 mg/kg berat badan setiap hari.

Dalam penentuan batas maksimum, BPOM sendiri ini didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti hasil kajian toksisitas, acuan dari Codex Alimentarius Commission (CAC) dan konsentrasi aktual BTP yang digunakan oleh produsen. Namun begitu, menurut Purwiyatno, pertimbangan untuk menentukan batas maksimum semestinya dilengkapi dengan kajian paparan, supaya masyakarat dapat mengukur dan mengetahui berapa jumlah maksimal suatu jenis makanan yang harus dikonsumsi.


Saturday, October 16, 2010

Inovasi Baru Industri Flavor

Oleh: Hanny Wijaya (tulisan di dalam Food Review Indonesia)

Sangat menarik untuk mengamati perkembangan flavor dunia minuman akhir-akhir ini. Donald E. Pszczola dengan tulisannya berjudul “Drinking in New Flavors” dalam Food Technology edisi Oktober 2008 menunjukkan adanya suatu perubahan yang sangat signifikan pada pasar minuman di USA. Kondisi ini diduga akan terus bergerak dengan berbagai perubahan. Pengaruh tuntutan generasi, pertimbangan kesehatan, mandat dari sekolah, kenyataan ekonomi, fusi antar berbagai jenis kategori minuman dan tren flavor yang baru, kesemuannya mungkin akan berdampak pada kondisi normal/kemapanan yang ada selama ini. Seperti kita ketahui selama ini, tren negara maju umumnya juga akan melanda belahan dunia lainnya.
Banyak ulasan tentang perkembangan flavor pada produk minuman dalam tulisan tersebut. Berbagai inovasi flavor unik dan terkadang “cenderung nakal” mewarnai produk –produk baru minuman di pasar. Tiap kategori minuman memiliki kiatnya untuk menunjukkan kreasi barunya. Mengingat terbatasnya ruang maka hanya beberapa highlight yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini antara lain :

Pengembangan flavor dari buah-buahan eksotik

Buah eksotik mempunyai daya tarik kuat pada perspektif pemasaran, sayangnya tidak semua buah eksotik memiliki kelezatan atau kekuatan flavor yang spesifik yang dapat diterima konsumen umum, sebagai contoh “goji berry” memiliki rasa amat sangat pahit, atau manggis dan delima tidak memiliki aroma yang cukup signifikan seperti jeruk atau durian. Ketiga material flavor ini dikenal juga memiliki keunggulan sifat fisiologis bagi kesehatan. Oleh karena itu diperlukan peran flavor chemist untuk menciptakan suatu flavor baru dengan tetap memiliki “signature” flavor material ini namun dapat diterima oleh konsumen luas. Tantangan ini nampaknya sudah dapat dijawab dengan baik dengan terlihatnya banyak produk di pasaran dunia dengan flavor yang berbasis pada ketiga buah eksotis tersebut.

Kepiawaian dalam menggunakan flavor buah eksotik untuk pengembangan minuman fungsional terlihat pula pada delapan produk dengan delapan kesan kesehatan yang dipasarkan belum lama ini. Ke delapan jenis produk minuman tersebut adalah: immune (tangerine dan lime), radiant (pomegranate dan blackberry), flex ( black berry dan apel), slender (pinkgrapefruit dan guava), focus (mango dan peach), calm (berry dan citron), energize (mandarin dan mint) dan renew (watermelon dan blueberry). Selain itu pengembangan penggunaan buah eksotis dari berbagai belahan dunia yang belum dikenal bersama dengan buah yang lebih dikenal secara tradisi di dalam minuman telah dirintis dengan memasangkan black cherry dengan cloud berry (buah beri dengan rasa mild dan creamy yang asli Skandinavia dan Alaska yang baru diperkenalkan).

Tantangan untuk mengembangkan flavor-flavor baru dari berbagai buah eksotik di seluruh dunia masih akan menjadi ajang unjuk kebolehan para pengembang flavor minuman. Fenomena ini juga dipicu dengan keinginan untuk menemukan bagaimana cara memberikan flavor-flavor baru pada minuman dengan material-material perisa yang sekaligus memiliki potensi menguntungkan bagi kesehatan. Tren perkembangan flavor buah eksotik dengan potensi fisiologis aktifnya melahirkan buah-buahan yang dikenal sebagai “superfruits”. “Superfruit” adalah istilah dalam pemasaran untuk mendeskripsikan buah yang memiliki kemampuan antioksidan dan yang sering pula memiliki “novel tastes”. Beberapa “superfruits” yang sudah dikenal adalah pummelo, nectarine, yumberry, jostaberry, delima, acai, goji, blueberry, cranberry, leci, yuzu, longan, white sapote, cili fruit, belimbing, manggis dan lain-lain. Sebenarnya keunggulan fisiologis aktif yang ditawarkan pun sangat beragam, bukan hanya antioksidan tetapi juga perawatan kulit hingga pengurangan inflamasi pada persendian tulang. Minuman “Pummelo grapefruit Beauty” misalnya diperuntukkan bagi perawatan kulit, sedang “ Dragon starfruit Joint Health” didesain dengan menggunakan ingridien untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan yang dikarenakan inflamasi pada persendian (berisi flavor alami belimbing “dragon” WONF and pewarna alami ”Cherry type”).

Pengembangan flavor baru dengan fokus pada target yang spesifik sesuai  dengan kondisi demografi berdasarkan etnik, gender dan usia

Berbincang tentang flavor untuk generasi baru, maka perlu diingat bahwa kaum muda (teenegers) saat ini yang akan segera menjadi pasar pada generasi mendatang mempunyai pengalaman lintas kultural yang lebih intensif dari generasi sebelumnya sehingga akan meningkatkan penerimaan sekaligus keinginannya untuk dapat mencicipi flavor-flavor etnik dan eksotis lintas geografi. Di satu sisi, generasi yang memegang pasar saat ini, walau mendapat paparan global pun akan tetap memiliki penerimanaan flavor yang kuat dipengaruhi oleh flavor tradisi tempat dibesarkan. Oleh karena itu, tetap penting untuk terus mengeksplorasi bentuk flavor minuman yang diminati oleh kelompok penduduk pada demografi yang berbeda. Pendekatan bentuk ini dapat dilihat pada pelepasan kelompok perisa baru oleh suatu flavor house di USA yang diberi label “Flavor Focus Collections”, perisa yang menargetkan kelompok demografi tertentu dengan didasarkan pada etnis, gender dan usia. Pendekatan seperti ini tidak saja membantu pengguna flavor untuk dapat mengidentifikasi flavor yang diinginkan oleh kelompok demografik pada minuman tertentu, tetapi terbukti juga memungkinkan digunakan untuk menangkap keseluruhan segmen pasar secara utuh yang sebelumnya tak tersentuh oleh minuman tersebut.

Penggunaan perisa spesifik ini dalam memberi sensasi lain pada flavor produk minuman yang telah umum dikenal menarik juga untuk dicermati pengembangannya. Salah satu contoh dapat dilihat pada “Ginger apricot flavored smoothie”, suatu produk probiotik yang memberikan rasa dan sensasi hangat yang tidak umum ditemukan pada minuman sejenis sebelumnya.

Rasa teh yang mendunia

Minuman berbasiskan teh sedang membanjiri pasar dunia dewasa ini. Banyak flavor houses yang berusaha menghadirkan portfolio dari flavor eksotik teh yang dapat menangkap “delicacy”, “nuance”, dan sophistication dari keaslian aroma teh yang dimiliki. Di satu sisi nampak juga upaya untuk mengkombinasikan beberapa jenis teh dengan tipe yang berbeda (white, green, oolong, black dan floral). Kombinasi untuk memperoleh aroma teh yang global juga dilakukan dengan modifikasi aroma lokal seperti pada “darjeling” dengan “molasses notes”, white peony dengan ‘brown spice”, “longjin” dengan “fresh-cut-grass” atau ‘ jasmine” dengan floralnya, disamping kombinasi dengan flavor yang sudah dikenal umum misalnya pada “iced darjeeling tea with Sicilian Lemon ”, “Saprklin Jasmine Berry”, “White Peony Tea Latte”, dan lain-lain.

Pencampuran antara ‘sweet’ dan ‘savoury’

Beberapa dekade yang lalu mungkin sulit dibayangkan suatu produk minuman yang memiliki karakteristik flavor campuran antara “sweet” and “savoury”, namun pencampuran keduanya menjadi tren yang semakin populer saat ini. Pasangan buah dan sayuran telah menjadi lazim dalam mengkreasikan flavor pada produk-produk novel, seperti pada “flavor twists” tomat yang dipadankan dengan mangga dari jenis manis. Ada juga beberapa contoh lain yang telah dipasarkan seperti pada “spiny sesame pear’ yang merupakan campuran buah pear dengan wijen, atau “prickly pear peanut” suatu perpaduan pear dan kacang.

Pada jajaran lain ada juga terdapat minuman yang diberi nama “ Bayou Punch” suatu minuman jus dengan rasa buah yang “mild” tetapi memberikan sensasi panas yang tak terduga pada sensasi flavor akhirnya. Suatu sensasi yang diperoleh dari formula yang mengandung perisa yang diberi nama “Natural Berbere Puch WONF”, suatu perisa yang didasarkan pada profil flavor “berbere”-suatu campuran rempah kunci dari masakan Ethiopia yang terdiri dari cabe, jahe, cengkeh, coriander, dan beberapa rempah lain. Minuman ini diberi warna dengan “black carrot” dan rasa manis dari gula tebu organik.

Dampak dari pelemahan ekonomi di USA juga berpengaruh langsung pada pengembangan flavor minuman di negara tersebut. Penggunaan “flavor extender” menjadi tren yang baru. Fenomena ini misalnya, nampak pada penggantian “natural lemon juice flavor” dengan “lemon juice replacer flavor WONF #8500. Penggunaan jenis perisa ini memungkinkan juga pengurangan residu merkuri yang sering menghantui dalam penggunaan material-material perisa dari sitrus alami (citrus oils).

Flavor psikologi

Seperti halnya warna, flavor juga dapat memberikan impak psikologis, dengan membangun persepsi keterkaitan antara produk minuman dan konsumennya. Ambil contoh sebotol air tawar, tambahkan flavor buah eksotik ke dalamnya, maka kita akan mengubahnya sebagai penghilang dahaga yang menawarkan sensasi tropis pada konsumennya.

Mengingat kemampuannya menciptakan asosiasi psikologis dengan produk, maka flavor harus dipilih dengan hati-hati (seksama). Pemberian flavor yang salah dapat memberi pesan yang salah tentang produk tersebut, dan dapat berakibat pada penolakan. Suatu flavor dapat berperan baik pada minuman berenergi, sedang flavor lain lebih cocok bagi minuman untuk penenang. Flavor dengan atribut flavor ”creamy” dan “sweet” tidak cocok untuk minuman yang ditujukan untuk menjaga berat badan karena ada kesan menggemukkan.

Penggunaan kekuatan psikologis pada flavor produk minuman mungkin akan menjadi lahan baru dalam upaya pengembangan novel flavor di masa mendatang. Seperti halnya upaya seorang ibu yang menggunakan pendekatan psikologis agar anaknya mau makan sayur, atau kedekatan emosional seorang anak akan masakan sang bunda, maka bukanlah mustahil untuk menciptakan persepsi flavor yang tidak hanya didasarkan pada penerimaan indera pencecap dan penghidu tetapi juga kekuatan penerimaan yang dipicu oleh emosi individu. Pernahkah mencermati betapa dahsyatnya rasa rindu seseorang akan flavor-flavor kampung halaman yang sudah sedemikian melekat pada dirinya.

Prof. C. Hanny Wijaya, Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Thursday, October 14, 2010

Apa Beda Sate Indonesia dengan Sate Jepang?

Dimodifikasi dari artikel di Kompas.com

Sate tidak hanya populer di Indonesia. Orang Jepang juga suka dan mempunyai menu makanan yang dimasak dengan cara dibakar itu. Sekalipun sudah memiliki sate (di Jepang disebut yakitori), chef terkemuka Jepang, Hirohisa Koyama, masih penasaran soal sate Indonesia.

Presiden NPO Nippon Culinary Exchange Institute yang juga pemilik restoran Aoyagi di Tokushima, Jepang, dan Basara, Jakarta, itu mau masuk-keluar warung sate di Jakarta demi mengetahui cara membuat sate.

”Saya pernah dimarahi karena masuk dapur pembuat sate, tetapi setelah saya jelaskan mereka mengizinkan saya masuk,” ujar Koyama lewat penerjemahnya pada seminar ”Menggali Budaya Kuliner Jepang serta Kaitannya dengan Indonesia” di Restoran Basara, Jakarta, Selasa (28/9) lalu.

Alhasil, dia tahu persis bahan dan bumbu sate Indonesia, terutama daging ayam dan kambing, bumbu, dan cara memasak. Koyama lalu mencari tahu sejarah sate Indonesia.  ”Ternyata menu sate Indonesia jauh lebih tua daripada sate Jepang. Sate di Indonesia ada sejak 200 tahun lalu,” katanya.  Dia menjelaskan, usia sate Jepang baru 50-an tahun. ”Jauh lebih muda karena sate Jepang baru ada setelah Perang Dunia kedua,” ungkap Koyama.

Bagi chef yang sering pergi ke banyak negara untuk berburu pengetahuan kuliner negara lain itu, pengetahuan tentang sejarah makanan adalah hal penting. Setelah mengetahui sejarah, bahan, cara pembuatan, dan cara memasak, dia memahami mengapa menu makanan itu ada di suatu negara.

Dijelaskannya, perbedaan antara sate Jepang (sate ayam yang empuk, potongan daun bawang, dan bakso) dan Indonesia (sate ayam dan kambing). Sate Jepang tampil lebih rapi (tidak berlumur aneka bumbu) dan warna daging yang dibakar lebih merata. Sementara sate Indonesia lebih penuh (banyak daging) dan ada bagian agak gosong ada pula yang masih putih. 

Rasanya pun berbeda, sate Jepang cenderung gurih mengarah ke asin, sedangkan sate Indonesia lebih gurih dan ada rasa manis karena memakai kecap manis.

Dari segi warna, sate Jepang tidak berwarna hitam (gosong) dan tidak banyak berminyak karena hanya dibumbui, tepatnya dilumuri, garam Jepang yang dibeli dari Bali dan kecap.  Sementara sate Indonesia memakai aneka bumbu. Cara membakarnya pun berbeda sebab jenis arang yang dipakai juga berbeda.  Tukang sate di Jakarta memakai arang dari batok yang derajat bakarnya lebih rendah dibanding arang bincotan (dari kayu) yang digunakan untuk membakar sate Jepang. Arang bincotan sendiri diimpor Jepang dari Sumatera. Alhasil, sate kita harus dibakar dekat bara api yang membuat permukaan daging cenderung gosong.  Jelas daging gosong tidak bagus untuk kesehatan. Bukan hanya itu, Koyama juga menyarankan agar tukang sate Indonesia mengurangi pemakaian minyak lewat racikan bumbu kacang atau lemak sebab minyak berlebihan kurang bagus bagi tubuh.

Status Keamanan Mi Instan: Kasus Nipagin

Purwiyatno Hariyadi (tulisan asli dapat dibaca di Detik News)

Pertanyaan sekitar status keamanan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Nipagin pada produk mie instan di Indonesia sekarang ini sedang ramai. Hal ini dipicu oleh peristiwa di Taiwan, di mana produk instan asal Indonesia ditarik karena mengandung BTP pengawet yang dianggap berbahaya.

Apa itu Nipagin?

Nipagin adalah nama dagang untuk senyawa metil hidroksi benzoat, yaitu senyawa ester metil dari asam p-hidroksibenzoat. Senyawa ini merupakan bahan tambahan pangan senyawa turunan asam benzoat, yang berfungsi sebagai bahan antimikroba atau pengawet. Senyawa ini sering juga dikenal dengan nama metil paraben.

Secara alami, senyawa benzoat termasuk beberapa esternya bisa ditemukan pada buah-buahan; terutama buah kranberi (cranberries). Selain itu, senyawa benzoat secara alami juga bisa ditemukan pada jamur, kayu manis, dan cengkeh. Untuk keperluan komersial; asam benzoat ini disintesis secara kimia dan kemudian diubah menjadi ester melalui reaksi esterifikasi, di antaranya menjadi metil hidroksi benzoat.

Dalam praktiknya; terdapat beberapa jenis ester dari hidroksi benzoat; di antaranya adalah ester metil (-CH3), etil (-C2H5), propil (C3H7) dan butil (C4H9) hidroksi benzoat. Sebagai pengawet; semakin panjang rantai C, maka senyawa tersebut akan mempunyai efektivitas antimikroba yang semakin tinggi. Namun demikian; sebagai BTP pengawet; senyawa yang paling banyak ditemukan adalah metil dan/atau etil hidroksi benzoat. Dan BTP pengawet yang saat ini sedang diributkan adalah metil hidroksi benzoat, atau nipagin.

Status Nipagin Sebagai Pengawet

Faktor keamanan pangan merupakan merupakan prasyarat universal bagi mutu pangan yang baik. Dengan kata lain, untuk produk pangan, tidak ada artinya berbicara citarasa dan nilai gizi, atau pun sifat fungsional yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman untuk dikonsumsi.

Persyaratan yang sama juga berlaku bagi kajian tentang BTP, seperti pengawet. Karena itu, setiap valon BTP, baik yang diekstrak dari sumber alam atau pun disintesis; harus terlebih dahulu dilakukan kajian keamanan secara ketat. Untuk melakukan kajian keamanan suatu BTP ini dilakukan oleh otoritas keamanan pangan di berbagai negara.

Di Indonesia, kajian keamanan BTP ini dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, RI). Penggunaan BTP secara aman di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No 722/Menkes/Per/rX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam peraturan tersebut jelas bahwa nipagin (metil-p-hidroksi benzoat) adalah termasuk sebagai bahan pengawet yang diizinkan penggunaannya untuk bahan pangan tertentu; antara lain pada produk acar ketimun dalam botol dan kecap (dengan batas maksimum 250 mg/kg), ekstrak kopi cair (dengan batas maksimum 450 mg/kg), serta pasta tomat dan sari buah (dengan batas maksimum 1 g/kg).

Di Uni Eropa –misalnya- suatu senyawa diizinkan pemakaiannya sebagai BTP jika panel ahli telah melakukan kajian dan mendapatkan bukti-bukti ilmiah yang menyakinkan bahwa bahan tersebut aman dan pemakaiannya memberikan manfaat bagi masyarakat. Badan yang bertugas melakukan evaluasi keamanan untuk bahan tambahan pangan di Uni Eropa ini adalah European Food Safety Authority (EFSA). Jika dalam kajiannya diyakini bahwa senyawa tersebut aman dan bermanfaat pemakaiannya; maka senyawa tersebut akan dimasukkan dalam daftar BTP yang diizinkan; dan diberikan nomor dengan kode huruf E di depannya.

Daftar bahan tambahan yang diizinkan penggunaannya oleh Uni Eropa; bisa dilihat di web Food Standards Agency. Untuk nipagin, panel ahli EFSA telah melakukan bahwa pemakaiannya sebagai BTP adalah aman, dan oleh otoritas keamanan pangan Uni Eropa nipagin diberikan kode E218.

Pada tahun 2004, Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA) melalui Panel Ahli (The Scientific Panel on Food Additives, Flavourings, Processing Aids and Materials in Contact with Food) kembali melakukan kajian keamanan nipagin; dengan mempertimbangkan data-data terbaru. Hasil kajian dari EFSA ini dituangkan dalam bentuk opini ilmiah EFSA yang dikeluarkan pada bulan September 2004. Secara lengkap; opini ilmiah ini bisa diunduh dari web EFSA.

Salah satu hasil penting dari kajian ini adalah penegasan kemabli tentang status aman bagi nipagin (metil hidroksi benzoat) sebagai pengawet, dengan ADI (Acceptable Daily Intake) sampai 10 mg/kg berat badan per hari. Kajian yang sama juga dilakukan oleh berbagai otoritas keamanan pangan di berbagai negara; antara lain Amerika, Kanada, Singapura dan lain-lain.

Di Amerika, nipagin atau metil paraben bahkan dimasukkan dalam kategori GRAS (generally regarded as safe) untuk pengawet pangan (lihat note 1, dibawah tulisan ini).  Demikian juga dengan standar BTP yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) -badan standar pangan dunia (FAO/WHO)-. CAC telah mengadopsi dan selalu merevisi adanya standar bahan tambahan pangan dengan terbitnya Codex General Standard for Food Additives (lihat note 2).

Standar ini pertama kali diadopsi pada tahun 1995; dan direvisi tahun 1997, 1999, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan terakhir 2010). Pada standar mutakhir tersebut, CAC mengizinkan penggunaan nipagin (dengan nomor INS 218) untuk beberapa jenis produk pangan; termasuk untuk kecap dengan batas maksimum 1.000 mg/kg. Secara khusus, standar penggunaan nipagin untuk berbagai produk pangan ini baru diadopsi oleh CAC antara tahun 2009-2010; yang bararti bahwa kajian keamanannya telah mempertimbangkan berbagai data keamanan mutakhir. Dengan demikian, jelas bahwa otoritas keamanan pangan berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dan bahkan lembaga Internasional (CAC) telah menyatakan bahwa penggunaan metil hidroksi benzoat untuk pengawet adalah aman.

Bagaimana Dengan Kasus Mie Instan?

Telah dijelaskan bahwa dari sisi keamanan pangan; banyak otoritas keamanan pangan di berbagai negara di dunia; termasuk Uni Eropa dan bahkan CAC telah menyatakan bahwa metil hidroksi benzoat adalah salah satu bahan pengawet yang aman digunakan. Kenapa kasus penggunaan nipagin pada kecap (sebagai bumbu) pada produk mie instan sekarang dihebohkan?

Kehebohan ini ini memang dipicu dengan peristiwa di Taiwan, di mana produk instan asal Indonesia ditarik karena mengandung BTP pengawet yang dianggap berbahaya. Pelarangan oleh otoritas keamanan pangan Taiwan terhadap penggunaan metil hidroksi benzoat merupakan kebijakan negara yang bersangkutan. Pada dasarnya, penetapan izin penggunaan BTP beserta batas maksimum perlu mengacu pada prinsip analisis risiko; yang dilakukan oleh masing-masing negara. Sebagai acuan; berbagai negara menggunakan peraturan dan standar keamanan pangan yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Comimission (CAC). Dalam hal ini, kebijakan Taiwan ini jelas berbeda dengan peraturan yang dikeluarkan oleh CAC.

Teorinya; jika suatu negara mengeluarkan peraturan yang lebih ketat daripada aturan CAC; maka negara tersebut harus menunjukkan secara transparan hasil studinya; dengan menggunakan pendekatan analisis risiko yang valid. Sampai saat ini, tidak jelas apakah Taiwan telah melakukan analisis risiko itu atau belum. Namun demikian, mengingat bahwa Taiwan bukanlah negara anggota CAC, tuntutan transparansi tentang hasil studi tersebut sulit dilakukan. Tidak adanya analisis risiko yang dipublikasikan ini telah menyebabkan sulitnya melakukan cek silang tentang kebenaran klaim ketidak-amanan metil hidroksi benzoat sebagai BTP pengawet ini.

Jadi, mengacu pada kajian dan peraturan keamanan pangan dari EFSA, CAC, US FDA dan termasuk Indonesia; maka penggunaan metil hidroksi benzoat sebagai BTP adalah aman; asalkan penggunaannya tidak melewati batas maksimum yang ditetapkan. Sebagai ilustrasi; berikut adalah perhitungan sederhana tentang keamanan mie instan, dalam kaitannya dengan nipagin. Mengacu pada penetapan ADI (Acceptable Daily Intake) nipagin (metil hidroksi benzoat; E218) oleh EFSA sebesar 10 mg/kg berat badan per hari, maka seseorang dengan berat badan 50 kg dapat mengkonsumsi sebanyak 500 mg nipagin per harinya tanpa ada pengaruh kesehatan apapun.

Kemudian, mengacu pada batas maksimum penggunaan nipagin pada kecap oleh BPOM adalah 250 mg/kg; dan 1 pak mie instan mengadung sekitar 4 gram kecap; maka jumlah 500 mg nipagin itu akan tercapai jika seseorang tersebut mengkonsumsi sebanyak 500 bungkus mi instan setiap hari. Jelas sulit sekali seseorang untuk mencapai jumlah konsumsi tersebut.

Terlihat bahwa jika digunakan dalam batas-batas penggunaan sesuai dengan peraturan yang seperti sekarang ini; maka keamanan penggunaan nipagin bisa dijamin. Kata kuncinya jelas adalah pada disiplin dan tanggung jawab produsen dan pengawasan pemerintah yang efektif.

Saran Untuk Konsumen

Memang tuntutan kepraktisan dan ketersediaan waktu yang semakin sempit karena kesibukan; konsumen memang memerlukan pangan yang lebih praktis. Namun demikian, konsumen perlu selalu berusaha mengembangkan perilaku hidup sehat; termasuk perilaku makan sehat dengan menu pangan yang sehat. Secara umum, perilaku makan sehat yang perlu disampaikan adalah (i) konsumsi aneka ragam jenis pangan dan (ii) jangan berlebih-lebihan terahadap salah satu jenis produk pangan.

Dalam menyusun menu sehari-hari, upayakan minimal harus terdiri dari 3 kelompok pangan; yatu pangan pokok, lauk pauk, sayur dan buah. Produk pangan olahan, bisa digunakan sebagai pilihan dalam menyusun menu yang menarik dan bervariasi. Untuk memilih produk pangan olahan, biasakan membaca label, meneliti ada tidaknya nomor pendaftaran oleh BPOM atau Dinas Kesehatan, dan menggunakannya sesuai dengan petunjuk penggunaan dan penyimpanannya.

*) Purwiyatno Haryadi adalah Direktur Southeast Asian Food and Agricuktural Science & Technology (SEAFAST) Center, LPPM, IPB dan Guru Besar Rekayasa Proses Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB.

Note:

Wednesday, October 13, 2010

Olahan Pasar: Teknologi Sederhana Pembuatan Keju Mozarella dan Riccota

Sumber: Sinar Tani

Produksi susu lokal tidak selalu terserap seluruhnya oleh industri, oleh karena itu perlu pengembangan variasi produk olahan susu. Produk olahan susu yang saat ini banyak digemari dan populer di masyarakat adalah keju. Selain rasanya disukai, keju juga bisa diaplikasikan untuk produk bahan pangan lainnya, seperti kue dan roti.

Saat ini, keju merupakan salah satu produk olahan yang bisa dijadikan berprospek bisnis dan memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan baik dalam skala besar dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Kementerian Pertanian, Chairul Rahman mengatakan, produk olahan tersebut harus disosialisasikan kepada masyarakat. Tujuan utama sosialisasi teknologi pengolahan hasil pertanian seperti keju ini adalah untuk memasyarakatkan teknologi tepat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka pengembangan usaha dan pengembangan produk Indonesia.

Elvira Syamsir, dosen dan peneliti Fakultas Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan saat ini telah dikembangkan keju jenis mozarella dan ricotta yang memiliki karakteristik unggul. Keju mozarella dan ricotta merupakan keju segar yang dibuat tanpa proses pemeraman, rasanya agak tawar dan asam, kadar air tinggi, berwarna putih dan krem. Akan tetapi, jenis kedua keju ini memiliki sifat yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu rendah.

“Alasan mengapa harus mengembangkan keju mozarella dan ricotta adalah karena teknologi proses yang digunakan cukup sederhana, selain itu banyak digunakan sebagai bahan komposisi produk pangan lainnya,” kata Elvira.

Elvira mengatakan baik keju mozarella dan keju ricotta masing-masing memililiki karakteristik khusus. Keju mozarella mengandung persentase lemak susu antara 70-75%, dapat dibuat dari susu sapi atau susu kerbau, citarasa kejunya ringan, teksturnya lembut dan plastis, banyak digunakan dalam makanan misalnya pizza, roti dan salad. Sedangkan karakteristik keju ricotta antara lain mengandung lemak susu 4-10%, dapat dibuat dari susu sapi dan whey, citarasa keju manis asam, berbentuk granula kecil-kecil dan biasanya lebih banyak digunakan untuk salad.












Monday, September 27, 2010

Manual for Working in Teams

1. Getting to Know One Another

This may sound elementary, but many teams screw this up. One thing you will eventually learn is that team members have very different abilities, motivations and personalities. For example, there will be some team members that are totally involved, and others that just want to disappear. If you let people disappear, they become dead weight and a source of resentment and frustration. You must not let this happen!

Here is something that you should try to take to heart (but will be very hard for many to accept): When team members disappear, it is not entirely their fault. It is your fault too. Take someone who is introverted. They find it stressful to talk in a group. They like to think things through before they start talking. They consider others' feelings and don't want to tell them when they are wrong. In a group full of extroverts, this person cannot find a way to participate: it is not in their nature to fight for attention. It is the extroverts' responsibility to consciously include the introvert, to not talk over them, to not take the floor away from them. If you want the team to succeed, you have to accept that you must actively manage others. If you think "Why should I do that? It's their responsibility to carry their own weight. I'm doing my part, they should do theirs" you are dead meat: you will need all the human resources at your disposal.

One of the first things you should do as a group is make sure everybody knows everybody's name. Don't just introduce yourselves once because some people will immediately forget the names or never quite hear them the first time. So make sure that everyone has written down everybody's name. Then go on to talk about each other -- what major, where you live on campus, who you know, etc.

Since teams are not (just) social groups, it is also important to get an idea about what each person is good at, and what resources they can bring to bear. For example, one person might have a conveniently large apartment where the group can meet. Another might have great computer skills, useful for creating presentations and typing papers.

One thing to realize is that when teams are new, each individual is wondering about their identity in the group. Identity is a combination of personality, behavior, competencies, and position in the social structure of the group. Some people will fight for dominance. Some want to be seen as smart. Others play the role of comedian. Others want to be liked. As you watch this process occur, it is helpful to think that much of what people do is not so much a choice as a need or a habit. The person who seems hellbent on dominating everyone has a strong need to do this, and won't feel comfortable not doing it. Thinking this way will help you to be less judgmental, which in turn will help you to avoid unproductive hatreds. Remember: it is just a team, not a marriage.

2. Vision

If the word "vision" makes you want to puke, think instead "what are we really trying to accomplish? Besides the explicit tasks, what are our real goals?". For example, for a class team, does the team want to do whatever it takes to get an A? Or is having a comfortable workload more important? Does the team want to really get involved with each other socially, or keep interactions to just what's required to do the work? Does the team want an atmosphere of military efficiency, or do they want to horse around and have a good time?

A useful exercise is to create a vision statement. This is basically a short paragraph that says what you're about, what your strategy is, what you are ultimately trying to accomplish. Think of it as a description of your positioning in the market place.

The best vision statements are usually those that synthesize each individual’s team-member's personal vision for what they are trying to accomplish, not just in the team but in their careers. In other words, each person should separately figure out what they think the team should accomplish, then the group should get together and see if there are any common elements out of which you can build a single, coherent vision that each person can commit to. The reason why it is helpful to use common elements of the individual visions is that part of the purpose of writing a vision statement is to provide common direction and to motivate team members. But if nobody believes in the vision statement, it will just be words on a piece of paper. It has to be real to be useful.

3. Structure

It is difficult for teams to succeed without a leader. So you should designate someone to play that role. However, you don't need to make the leader omnipotent. There are certain task and maintenance functions that need to be performed, and you can have one person do all of them, or you can split up the job among different people.

One key function is that of facilitator/coordinator. This is a person who calls meetings, keeps people on track, and pays attention to group processes. For example, the facilitator makes sure that everyone is involved and notices when someone is upset. Here are some of the things that successful facilitators try to do:
  • focus team on task
  • engage participation from all members
  • protect individuals from personal attack
  • suggest alternative procedures when the team is stalled
  • summarize and clarify the team's decisions
Here are some tips for accomplishing these goals:
  • stay neutral
  • don't let the meeting run too long, even if it's going well (or people will try to avoid coming next time)
  • express out loud what seems to be happening (e.g., "nobody seems to be saying much since Jenny suggested ... ")
  • don't let snide comments, put downs, etc slide by without comment
  • after a person has been quiet for awhile, ask them for their opinion
Another key function is that of boundary manager. This is a person who serves as liaison between the team and the rest of the world (the team's "stakeholders"). In the context of class teams, this person interacts with the professor, and keeps an eye out for what the other teams are doing, they also make themselves aware of the obligations that team members have to others (like boyfriends/girlfriends, part-time jobs, etc). The boundary manager is responsible for learning who the key stakeholders are (a stakeholder is someone who affects the team, or is affected by the team), and working out a strategy for dealing with them (e.g., sucking up to the professor). 

Finally, there is the project manager. The project manager organizes the work plan and sees that it is implemented. In the context of class teams, there might be different project managers for each assignment, or a single one that organizes all the assignments. Project managers need to be able to take a whole task, such as a paper assignment, and break it down into bite sized pieces that can be doled out to people to do. Project managers have to be able to figure out time budgets and get people to do their part at the right time.

4. Process

Meetings can be useless if not done right. One simple thing that helps a lot is having an agenda. Having a written agenda makes it easier for the facilitator to steer things back to the task. Otherwise, if, say, two popular and dominant people in the group start talking about sports, it may difficult for a third party who is not as socially central to bring them back. But if there is an agreed-upon agenda and an agreed-upon length of meeting, a facilitator can say 'I don't know about you guys, but I really want to get out here at 5: if we really want to talk about all the things on the agenda we kind of have to get going...'.

The first item on any agenda should usually be a "check-in" which is where the facilitator asks each person how things are going and whether there is anything on their minds that needs to be discussed.

For certain kinds of meetings it is useful to go into brainstorming mode. Brainstorming is a process of generating ideas (e.g., for a paper). There are certain dos and don'ts for good brainstorming:
  • don't evaluate until much later in the process. accept all ideas, no matter how stupid they appear
  • encourage mental hitchhiking (building on other's ideas)
  • don't stop at the first silence. just wait a bit, no matter how uncomfortable
  • for hard problems, it helps to summarize the problem, then let people think on their own and write down some answers, then get together and pool them on a blackboard
  • after you get a bunch of ideas, ask each person to vote for two or three of them. Take all the ideas that get at least one vote, and start classifying them according to similarity. This will usually get you down to just a few basic types of ideas, which you can then make decisions about.
There will be many situations in which you need to give feedback to others in the team. Like, they have just written a draft of a team paper, and you need to suggest changes and point out problems. When you give feedback it is extremely important to avoid any negative comment that would seem to be about the person, rather than the work or the behavior. You should also focus on yourself and your objection rather than on them and their problem. For example, you might say "I don't understand why on this page we jump from this topic to that, and then come back to the first topic" instead of "You made a mistake on this page" or "You are not being logical here". The moment you say "You" people's defenses go up.

It is very important that teams assess their performance from time to time. Most teams start out ok, and then drift away from their original goals and eventually fall apart. This is much less likely to happen if from time to time, the team facilitator or leader asks everyone how they are feeling about the team, and does a public check of the performance of the team against the mission/vision statement.

Good luck!