Oleh: Prof. Dr. Endang S. Rahayu (FTP - UGM)
Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur benang (kapang). Sebagai contoh adalah jagung yang terkontaminasi oleh Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan.
Penanganan pasca panen pada bahan pertanian seperti halnya serealia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air >12%), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin. Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin pada bahan pangan. Kedua jamur ini banyak menyerang hasil pertanian kacang-kacangan, biji-bijian, serealia, bahkan bumbu-bumbu yang memiliki kadar air tinggi (di atas 12%). Senyawa bifuran ini bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif.
Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Tahun 2004. Di sana disebutkan bahwa batas maksimum cemaran aflatoksin B1 (AFB1) dan total aflatoksin produk pangan berbasis kacang tanah dan jagung masing masing adalah 20 ppb dan total aflatoksin 35 ppb. Produk susu memiliki batas maksimum aflatoksin M1 (AFM1) 0.5 ppb. Aflatoksin yang mencemari susu berasal dari perubahan aflatoksin B1 pada pakan menjadi aflatoksin M1.
Draft SNI tentang batasan cemaran mikotoksin, meliputi 5 jenis yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisisn, okratoksin A, dan patulin sedang dibuat. Khusus untuk cemaran aflatoksin, batas maksimum yang ditetapkan pada berbagai produk pangan adalah sama seperti halnya pada Keputusan Kepala Badan POM (2004), yaitu pada kacang tanah dan produk olahannya serta jagung dan produk olahannya, adalah 20 ppb untuk AFB1 dan 35 ppb untuk total aflatoksin, dan pada susu dan produk olahannya adalah 0.5 ppb untuk AFM1. Namun demikian pada kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia, yaitu kacang tanah dan jagung banyak tercemar oleh aflatoksin, bahkan cemaran aflatoksin pada kedua komoditi yang beredar di pasar banyak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (> 20 ppb).
Cemaran pada jagung
Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain jagung, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi jagung. Total sampel jagung yang diuji adalah 139, dari sampel yang ada 84 sampel diambil dari level petani daerah Malang, Tuban, Kediri, Madura, dan Purbalingga dan 55 sampel diambil dari level pengumpul dan pedagang di daerah-daerah tersebut.
Dari hasil mapping diketahui bahwa pada level petani pun sekitar 30% sampel telah tercemar dengan aflatoksin B1 di atas 20 ppb, bahkan 10% sampel telah tercemar aflatoksin di atas 100 ppb, dengan nilai tertinggi 470 ppb. Sedang pada level pengepul dan pedagang jumlah cemaran yang melebihi 20 ppb meningkat menjadi 45% dan yang diatas 100 ppb sekitar 18%. Cemaran di tingkat petani yang sudah tinggi adalah sangat memprihatinkan, karena cemaran ini diperkirakan masih akan meningkat apabila saat disimpan sebelum dipasarkan jagung tidak mendapatkan perlakuan yang tepat. Dari pengamatan di lapangan diperoleh informasi bahwa petani pada umumnya melakukan praktek-praktek produksi jagung yang kurang tepat. Kurang optimalnya masukan pupuk dan tidak adanya pengendalian hama dan penyakit menyebabkan jagung tidak tumbuh dengan optimal dan mudah terserang penyakit, akibatnya jagung juga lebih mudah terinfeksi oleh jamur. Biji jagung hibrida dengan klobot yang tidak menutupi seluruh tongkol jagung merupakan peluang pertama infeksi jamur yang terjadi di lapangan, khususnya apabila biji yang tidak tertutup seluruhnya ini terserang hama. Pengeringan di tingkat petani juga pada umumnya kurang memenuhi persyaratan, mereka hanya menjemur jagung yang masih dalam tongkol ataupun yang sudah dipipil di tempat yang seadanya saja, misalnya dipinggir jalan atau di halaman rumah. Penyimpanan jagung yang dilakukan oleh beberapa pengepul maupun pedagang juga dilakukan dengan amat sederhana, kadang-kadang hanya ditimbun saja di ruang kosong di dalam rumah. Dengan kondisi ini akan terjadi pertumbuhan jamur dan berlanjut pada produksi toksin. Namun demikian, juga diketahui bahwa 55% jagung yang terdapat pada pengepul dan pedagang memiliki level AFB1 <20 ppb. Rendahnya cemaran ini karena proses pengeringan dan penyimpanan yang lebih baik, serta pada umumnya telah dilakukan sortasi.
Cemaran pada produk berbasis jagung.
Pada kajian ini juga telah dilakukan analisa aflatoksin B1 terhadap 65 sampel makanan berbasis jagung berupa marning (41 sampel), emping jagung (15 sampel), dan beras jagung (9 sampel). Sampel makanan ini diambil dari sentra produksi jagung (Malang, Tuban, Kediri dan Madura). Dari hasil diketahui bahwa pada umumnya marning dan emping jagung memiliki cemaran aflatoksin yang rendah, walaupun ada pula sampel yang memiliki cemaran >20 ppb.
Cemaran aflatoksin pada marning dan jagung pada umumnya rendah diperkirakan karena efek perendaman dengan air kapur (saat pengolahan) dapat menurunkan kandungan aflatoksin cukup signifikan dari bahan dasar (Nugroho, 2005). Namun demikian, dengan ditemukannya 7 sampel dengan cemaran >20 ppb, menunjukkan bahwa bahan dasar jagung yang diolah telah memiliki cemaran yang cukup tinggi, hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan pada jagung level petani maupun pedagang yang ternyata ditemukan aflatoksin dengan cemaran sangat tinggi, yaitu >400 ppb. Hal ini juga memberikan kenyataan bahwa tingginya cemaran aflatoksin pada bahan dasar jagung tetap terikut pada produk olahannya.
Pada kajian ini cemaran aflatoksin B1 pada beras jagung yang dibeli di beberapa pasar di Madura juga telah dianalisa. Dari hasil diperoleh bahwa 8 dari 9 sampel yang diuji memiliki cemaran di atas 20 ppb, dengan angka tertinggi sekitar 82 ppb. Hasil ini cukup memprihatinkan karena pada umumnya beras jagung ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak (sebagai nasi) dibandingkan dengan mengkonsumsi marning atau emping jagung (sebagai camilan).
Cemaran pada kacang tanah
Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain kacang tanah, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi kacang tanah yaitu Pati, Rembang, Klaten, dan Wonogiri. Total sampel kacang tanah yang diuji adalah 91, dari petani sebanyak 58 sampel dan dari penebas dan pedagang 33 sampel. Secara umum, level aflatoksin pada petani adalah rendah, apalagi kacang tanah yang langsung diterima oleh industri pada umumnya masih berkulit dan setelah di panen langsung dibawa ke pabrik. Walaupun demikian di daerah Rembang ditemukan 4 sampel (dari 20 sampel petani) yang memiliki cemaran >20 ppb.
Cemaran pada produk berbasis kacang tanah
Untuk mengetahui cemaran aflatoksin pada produk pangan berbasis kacang, telah dianalisa AFB1 terhadap 35 sampel, yang terdiri dari ampyang, peyek, kacang telor, kacang goreng, enting-enting gepuk dan sambel pecel. Dari data yang diperoleh nampak bahwa pada bumbu pecel ternyata ditemukan cemaran AFB1 yang melebihi 20 ppb bahkan ada yang mencapai 100 ppb.
Peneliti yang lain (Lilieanny et al, 2005) juga telah mempublikasikan bahwa 25 % dari sampel enting-enting gepuk dan bumbu pecel yang dianalisa memiliki cemaran total aflatoksin melebihi dari batas maksimum (35 ppb).
Dari hasil survei supply chain kacang tanah menunjukkan bahwa di daerah sentra produksi kacang, kacang yang kualitasnya jelek dan kadang-kadang merupakan sisa kacang yang tidak diterima di pabrik masih dipasarkan. Istilah yang diberikan pada kacang jenis ini adalah minyikan. Empat sampel kacang minyikan yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bumbu pecel juga telah disampling dari daerah Pati dan telah dianalisa AFB1, yaitu berkisar antara 60 – 85 ppb. Kacang minyikan secara fisik memang tidak menarik untuk diperdagangkan, karena bentuknya yang kecil, keriput, tidak utuh, dan kadang rasanya pahit. Namun untuk pembuatan bumbu pecel, karena dicampur dengan berbagai bumbu termasuk gula jawa, rasa pahit ini tidak terasa lagi. Aflatoksin yang stabil terhadap suhu tinggi, ternyata juga tidak hilang selama pembuatan bumbu pecel, sehingga masih banyak ditemukan bumbu pecel dengan cemaran AFB1 melebihi batas.
Strategi pengendalian cemaran aflatoksin
Melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh cemaran aflatoksin, perlu dilakukan langkah strategis mulai dari sejak pra panen hingga pada penyimpanannya, juga langkah dekontaminasi dan detoksifikasi.
Strategi pra-panen. Kontaminasi jamur yang cukup signifikan dapat terjadi pada jagung sejak perkembangannya di lahan. Kekeringan, kurangnya nutrisi, serangan insekta, kontaminasi jamur, dan penundaan panen merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur dan terbentuknya aflatoksin di lahan. Beberapa faktor tersebut sangat tergantung dari lingkungan dan diperlukan pengendalian dengan baik. Praktek budidaya yang baik akan meminimalkan terjadinya kontaminasi jamur di lahan. Beberapa langkah yang dipandang sebagai langkah efektif antara lain: (i) mengurangi stress tanaman melalui irigasi, pemupukan yang sesuai, dan pengendalian terhadap hama dan penyakit; (ii) menghindari kondisi lingkungan yang dapat mendukung infeksi di lahan; dan (iii) meminimalkan residu dan titik sumber kontaminan lainnya.
Saat panen. Pemanenan dapat mengakibatkan kerusakan fisik pada komoditas. Apabila kerusakan dijaga serendah mungkin pada tahap ini, kontaminasi lanjutan dapat dikurangi cukup signifikan. Sejumlah cara dipandang sebagai langkah efektif: (i) Panen jagung sebaiknya dilakukan sedini mungkin (saat kadar air sekitar 20 – 25%) dilanjutkan dengan pengeringan yang cepat (1-2 hari) agar kadar air jagung segera mencapai 14 % untuk pencegahan perkembangan jamur toksigenik; (ii) dilakukan pemisahan jagung yang rusak; (iii) kadar air dan suhu dijaga pada kisaran yang tepat; (vi) dilakukan pengendalian terhadap aktivitas insekta dan rodensia.
Prosedur pasca panen. Pencegahan melalui manajemen pra-panen merupakan metode paling baik dalam mengendalikan kontaminasi aflatoksin, namun demikian, jika kontaminasi telah terjadi pada tahapan tersebut, potensi bahaya yang berkaitan dengan toksin harus dikendalikan melalui prosedur pasca-panen terutama apabila produk tersebut ditujukan untuk konsumsi manusia dan pakan hewan. Pada tahap pasca-panen, pengeringan, penyimpanan dan pengolahan jagung merupakan tahapan penting agar kontaminasi dapat dicegah. Pengeringan harus dilakukan dengan dengan kondisi yang baik, sinar cukup, tempat yang bersih, terhindar dari debu yang bertebaran (karena dapat meningkatkan penyebaran spora jamur), dan dijauhkan dari segala serangan insekta dan rodensia.
Penyimpanan. Penyimpanan, baik di tingkat petani, pengumpul, pengecer atau pedagang merupakan tahapan pasca-panen paling kritis dalam penanganan jagung. Fasilitas penyimpanan yang kurang, pengemasan yang tidak tepat dan kondisi produk saat disimpan dapat menyebabkan kontaminasi mikotoksin selama penyimpanan. Akumulasi kadar air dan panas, dan kerusakan fisik produk dapat memicu tumbuhnya jamur yang kemudian menghasilkan mikotoksin. Harus dipastikan bahwa jagung yang disimpan tetap kering (kadar air < 12 %) untuk mencegah tumbuhnya jamur. Demikian juga hewan-hewan kecil seperti tikus, serangga jangan sampai terdapat di sekitar area penyimpanan untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada produk. Pengemasan yang baik dapat mencegah serangan hewan-hewan tersebut, dan jika tidak terdapat kemasan yang baik maka praktek hygiene dan penggunaan pestisida juga dapat meminimalkan kontaminasi.
Dekontaminasi /detoksifikasi. Untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku untuk pengolahan produk pangan maka bisa dilakukan dengan cara dekontaminasi, detoksifikasi, atau kombinasi keduanya. Sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya maka hal-hal berikut ini bisa dilakukan untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung :
Dekontaminasi dapat dilakukan dengan : (1) Pengupasan kulit karena komponen kulit bisa menjadi sumber pencemar, (2) Pemisahan biji cacat ukuran atau bentuk, karena biji cacat cenderung tercemar; (3) Sortasi warna atau kenampakan; (4) Pemisahan berdasarkan densitas biji, karena biji yang berdensitas rendah cenderung tercemar; (5) Pemisahan komponen yang dikehendaki (misal: minyak atau pati) untuk pengolahan lanjut.
Detoksifikasi dilakukan dengan : (1) Panas bertekanan tinggi, pemanasan basah lebih efektif dari pada pemanasan kering, dan bisa dikombinasikan dengan lama pemanasan. (2) Air kapur untuk menaikkan pH cairan perendam atau perebus yang diikuti dengan pencucian; (3) Amoniak dalam bentuk gas maupun cairan, namun bentuk gas lebih lazim dan lebih mudah pelaksanaannya dan efektif, (4) Penyinaran dengan sinar ultraviolet maupun sinar tampak, namun hanya efektif untuk bahan yang tembus cahaya, (5) Kultur jamur atoksigenik pada proses fermentasi produk untuk menghambat pertumbuhan jamur aflatoksigenik; (6) Enzim ataupun metabolit dari mikroorganisme lain yang mampu mendetoksifikasi aflatoksin.