Total Pageviews

Monday, May 13, 2013

Ketahanan Hidup Salmonella Dalam Kondisi (Pangan) Kering

Elvira Syamsir (Ditulis Pada Tahun 2006)

Pendahuluan

Penurunan jumlah air bebas di dalam pangan merupakan metode tertua yang digunakan manusia untuk mengontrol pertumbuhan bakteri.  Pengeringan atau penambahan humektan di dalam pangan semi basah menyebabkan penurunan jumlah air bebas atau aktivitas air (Aw). 

Pangan dengan Aw rendah sejak lama diyakini bukan merupakan sumber dari penyakit karena pangan (foodborne illness) (DiPersio et al, 2005).  Menurut Ray (2001), pertumbuhan mikroba secara umum akan terhambat pada Aw kurang dari 0.6 dan sebagian besar bakteri patogen kecuali S. aureus, pertumbuhan akan terhambat pada Akurang dari 0.86 (Ray, 2001). Tetapi, walaupun kondisi Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri, ternyata kondisi didalam produk dan kemampuan bakteri untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi stress yang terjadi masih memungkinkan sel-sel bakteri tersebut bertahan selama periode waktu tertentu (Meyer, et al, 1981).  

Salmonella merupakan bakteri penyebab foodborne infection, salmonellosis.  Pertumbuhan optimal dari berbagai jenis strain Salmonella berlangsung pada Aw 0.99, tetapi bakteri ini bisa mentolerir kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan dan mampu bertahan hidup didalam pangan dengan Aw yang rendah untuk jangka waktu yang lama (Ray, 2001; Mattick et al, 2000).

Sejumlah kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) salmonellosis setelah mengkonsumsi pangan kering seperti meat-jerky, snak jagung bercitarasa savory, susu bubuk, coklat, keripik kentang, parutan kelapa kering dan almond yang terkontaminasi oleh Salmonella telah dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960 (DiPersio, et al, 2005; Hiramatsu et al, 2005; Mattick et al, 2000; Forsythe dan Hayes, 1998).  Di Jepang, KLB salmonellosis yang terjadi pada tahun 1999 disebabkan oleh konsumsi cumi kering (Aw 0.5 – 0.6) yang terkontaminasi oleh Salmonella enterica serovar Oranienburg dan Chester (Hiramatsu et al, 2005). S.enterica serovar Napoli dan S. enterica serovar Agona dilaporkan menyebabkan KLB keracunan pangan yang dihubungkan dengan coklat dan snak renyah yang memiliki Aw rendah (Mattick et al, 2000).  

Jumlah sel Salmonella yang dibutuhkan untuk bisa menyebabkan infeksi (Infectious Dose, ID) akan lebih rendah (sekitar 10 – 100 sel), jika organisme ini terdapat didalam pangan dengan Aw rendah (Mattick et al, 2000).  Sebagai contoh, ID Salmonella di dalam keripik terkontaminasi adalah 0.04 – 0.45 organisme/gram (Lehmacher, et al yang disitasi oleh DiPersio et al, 2005) dan ID S. nima di dalam coklat adalah 2.24 organisme/100 gram (Forsythe dan Hayes, 1998). 

Alasan-alasan di atas menyebabkan perlu dipelajari bagaimana daya tahan Salmonella untuk hidup pada kondisi Aw rendah (kering).  Selain itu, juga menjadi sangat penting untuk mengetahui ketahanan Salmonella terhadap suasana kering jika formulasi atau tahapan proses produksi dari suatu produk (termasuk produk kering) diubah. 

Tulisan ini akan membahas ketahanan hidup Salmonella pada berbagai kondisi lingkungan pengeringan. Memahami daya tahan sel Salmonella didalam pangan dengan Aw rendah akan memudahkan kita dalam merancang prosedur pengawetan pangan dengan keamanan pangan yang baik. 

Resistensi Salmonella Selama Proses Pengeringan

Hiramatsu et al (2005) telah mempelajari kemampuan 18 strain Salmonella (Tabel 1) untuk bertahan hidup selama proses pengeringan dengan menggunakan sistim model (cakram kertas) yang dikeringkan.   Pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian yang dilakukan Hiramatsu et al (2005) dan kesimpulan penting yang dapat ditarik  dari penelitian tersebut.

Penelitian dilakukan dengan mengeringkan Salmonella (diencerkan dalam larutan garam fisiologis) yang diinokulasikan pada cakram kertas (107 koloni/ cakram) selama 24 jam pada suhu 35°C.  Didapatkan hasil bahwa 103–104 koloni/ cakram dari sebagian besar strain Salmonella (14/18) yang diujikan dapat bertahan hidup selama proses pengeringan, kecuali Salmonella enterica serovar Typhi (4/4) yang memiliki ketahanan hidup yang rendah (jumlah koloni yang bertahan hidup kurang dari 102 koloni/ cakram). Untuk selanjutnya, bakteri yang bertahan hidup setelah mengalami proses pengeringan ini disebut sebagai bakteri kering.


Ketahanan bakteri Salmonella terhadap proses pengeringan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.  Pada penelitian yang dilakukan oleh Hiramitsu et al (2005) dipelajari pengaruh pH (3– 9), penambahan sukrosa, NaCl dan penggunaan minuman coklat untuk melihat pengaruh lemak (dengan atau tanpa penambahan sukrosa) terhadap ketahanan hidup 5 strain Salmonella (strain no 1-4 dan 13 pada Tabel 1) didalam sistim model selama proses pengeringan (35°C, 24 jam). 

a. Pengaruh pH terhadap ketahanan hidup 

Dari penelitian ini diketahui, 5 strain Salmonella yang diuji (termasuk Sal-monella enterica serovar Typhimurium) dapat mentolerir kondisi pH 4.0–9.0 selama proses pengeringan.  Dari 107 koloni/cakram yang dikeringkan, 103–104 koloni/cakram membentuk bakteri kering (mampu bertahan hidup setelah proses pengeringan). Resistensi Salmonella terhadap pengeringan menurun tajam jika pH lingkungan diturunkan menjadi 3.0 (jumlah bakteri kering <102 koloni/cakram).

b. Pengaruh sukrosa, NaCl dan lemak (coklat) pada ketahanan hidup 

Pada tahap ini, kedalam suspensi bakteri uji yang akan dikeringkan ditambahkan sukrosa sebesar 4, 12 dan 36%. Penggunaan sukrosa sebesar 4–36% ternyata meningkatkan resistensi Salmonella terhadap kondisi stress selama pengeringan dimana konsentrasi gula 36% memberikan efek perlindungan terbesar. Jumlah bakteri kering dari proses pengeringan didalam lingkungan gula lebih besar (meningkat berturut-turut menjadi 1.2-6.4 kali, 10-60 kali dan 13-79 kali pada konsentrasi gula 4, 12 dan 36%) jika dibandingkan dengan ketahanan hidup strain kontrol (tanpa penambahan gula). 

Jika sukrosa meningkatkan ketahanan hidup bakteri selama proses pengeringan, maka kondisi sebaliknya terjadi pada penambahan garam NaCl. NaCl yang ditambahkan kedalam suspensi bakteri pada konsentrasi 5–30% menurunkan resistensi Salmonella terhadap proses pengeringan.  Pada konsentrasi NaCl 5%, jumlah bakteri kering setelah pengeringan 1.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan jumlah populasi kontrol yang mengandung NaCl 0.85%. Pengeringan pada kondisi lingkungan bergaram tinggi (10–20%) menyebabkan tingkat kematian Salmonela yang lebih tinggi.  Hal ini terlihat dari jumlah bakteri kering yang rendah (kurang dari 102 koloni/cakram).

Keberadaan lemak meningkatkan ketahanan Salmonella terhadap proses pengeringan.  Hal ini terlihat pada saat minuman coklat digunakan sebagai media pensuspensi bakteri.  Minuman coklat tanpa sukrosa dapat mempertahankan jumlah bakteri kering dua log lebih tinggi dari kontrol (dalam larutan garam fisiologis). 

Jika lemak dikombinasikan dengan sukrosa, maka efek perlindungan yang diberikan kepada Salmonella akan lebih besar. Penggunaan minuman coklat  dengan penambahan sukrosa pada konsentrasi yang sama (4%, 12%, and 36%) menggantikan larutan garam fisiologis, menghasilkan jumlah bakteri kering dua unit log lebih tinggi dari populasi kontrol.

Resistensi Salmonella Kering Pada Berbagai Kondisi Penyimpanan

Pembahasan ini masih didasarkan pada hasil penelitian Hiramatsu et al (2005), dengan menggunakan sistim model (cakram kertas) yang dikeringkan.   Pengamatan dilakukan terhadap 5 strain Salmonella (strain no 1-4 dan 13 pada Tabel 1). Pada tahap ini dilihat ketahanan hidup Salmonella kering selama pe-nyimpanan pada kisaran suhu 4-35°C, jika dikontakkan dengan suhu tinggi (70 - 90°C) selama 5 jam dan jika dikontakkan dengan etanol konsentrasi 5 – 70% se-lama satu menit.

a. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap ketahanan hidup 

Salmonella kering menunjukkan resistensi yang sangat baik pada saat sistim model disimpan sampai 24 bulan di dalam refrigerator suhu 4°C.  Hal ini terlihat dari jumlah populasi bakteri kering setelah penyimpanan 22-24 bulan yang relatif sama dengan populasi bakteri kering pada awal penyimpanan dingin (4°C).  Kondisi ini ditunjukkan oleh semua (4/4) strain Salmonella yang diuji (Tabel 2). 


Tidak seperti penyimpanan pada 4°C, penyimpanan pada suhu 25 dan 35°C menyebabkan penurunan jumlah Salmonella yang bertahan hidup.  Salmonella didalam sistim model menjadi tidak terdeteksi (kurang dari 102 koloni/cakram), setelah penyimpanan selama 35 hari pada 35°C dan setelah 70 hari pada 25°C (Tabel 3). 

Dari penelitian ini terlihat bahwa 5 strain Salmonella kering mungkin akan mati jika disimpan pada suhu ruang atau suhu yang lebih tinggi selama 1 – 2 bulan tetapi akan tetap bertahan hidup sampai 2 tahun jika disimpan di suhu dingin (4°C).  Dengan kondisi seperti ini, maka penyimpanan produk pangan kering yang terkontaminasi dengan Salmonella ini pada suhu dingin mungkin akan lebih beresiko terhadap keamanan pangan produk.


b. Pengaruh suhu tinggi terhadap ketahanan hidup

Kondisi mengkhawatirkan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa 5 strain Salmonella kering ketika dikontakkan dengan suhu 70°C selama 5 jam atau suhu 80°C selama 5 jam, masih bertahan hidup dan hanya menunjukkan penurunan 1 siklus log jika dibandingkan dengan yang disimpan pada 35°C selama 5 jam. Penurunan populasi menjadi kurang dari 102 koloni/cakram baru tercapai ketika bakteri kering dikontakkan dengan suhu 90°C selama 5 jam. 

Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa prosedur sterilisasi produk kering untuk inaktivasi Salmonella memerlukan suhu yang lebih tinggi dari 70°C. 

c. Pengaruh etanol terhadap ketahanan hidup 

Salmonella kering resisten terhadap pengaruh etanol konsentrasi maksimal 15% yang dikontakkan selama 1 menit.  Strain Salmonella menunjukkan perbedaan resistensi terhadap etanol 40%.  Bentuk kering dua strain Salmonella (S. enterica serovars Litchfield dan Typhimurium) masih bisa bertahan hidup dengan kisaran populasi bakteri kering 2.48 – 3.32 log koloni/unit setelah dikontakkan dengan etanol 40% selama 1 menit.  Etanol 70% memiliki sifat bakterisidal yang tinggi terhadap bakteri kering.  Hal ini terlihat dari tidak terdeteksinya populasi bakteri kering dari 5 strain Salmonella yang diuji (jumlah bakteri kering kurang dari 102 koloni/cakram), setelah dikontakkan dengan etanol 70% selama 1 menit.

Resistensi Salmonella Kering Dalam Pangan Kering

Pembahasan ini didasarkan pada hasil penelitian Hiramatsu et al (2005), yang mengamati ketahanan hidup 5 strain Salmonella (strain no 1-4 dan 13 pada Tabel 1) didalam produk pangan kering (coklat, kacang goreng, apel kering dan pikel plum kering asam).  Selain itu juga diamati ketahanan hidup Salmonella enterica serovar Oranienburg dan Chester yang diisolasi dari keripik cumi kering didalam keripik kentang, keripik cumi kering dan cumi kering.

Populasi dari 5 strain yang diinokulasikan kedalam pangan kering dihitung setelah dikeringkan selama 24 jam pada suhu 25°C dan dibandingkan dengan populasi strain tersebut didalam cakram kertas (Tabel 4).  Ketahanan hidup dari lima strains yang diinokulasi kedalam coklat dan kacang tanah 100 kali lebih tinggi dari kontrol.  Kondisi asam (pH < 4.0) didalam pangan kering seperti apel kering dan pikel plum kering asam, menyebabkan Salmonella tidak bisa hidup selama proses pengeringan (24 jam pada suhu 25°C). 



Salmonella enterica serovar Oranienburg dan Chester yang diinokulasikan kedalam produk kering yang mengandung sukrosa seperti keripik kentang dan keripik cumi kering akan menghasilkan bakteri kering dalam jumlah hampir dua log lebih banyak dari bakteri kering yang terdapat pada kontrol (sistim model) setelah pengeringan selama 24 jam.   Sementara jika tidak mengandung sukrosa, maka jumlah bakteri kering yang ada setelah proses pengeringan relatif sama dengan yang ada pada kontrol.  Hal ini relevan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa sukrosa meningkatkan ketahanan hidup dari bakteri kering.  

Pengaruh Perlakuan Pra-Pengeringan Pada Salmonella

Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa berbagai kombinasi pengeringan dengan perlakuan awal yang bersifat antimikroba dapat menurunkan jumlah Salmonella didalam produk kering yang dihasilkan.

a. Pengaruh blansir irisan kentang

DiPersio et al (2005) telah mengamati pengaruh beberapa metode blansir yaitu blansir dengan uap panas (88°C 10 menit), air panas (88°C 4 menit), asam sitrat 0.105% (88°C 4 menit) dan asam sitrat 0.210% (88°C 4 menit) terhadap resistensi Salmonella dalam irisan kentang kering selama penyimpanan. Sampel diinokulasi dengan campuran lima strain Salmonella (Salmonella Typhimurium strain ATCC 14028, ATCC 700408 dan F530 serta Salmonella Agona dan Salmo-nella Copenhagen). 

Dari penelitian diketahui, bahwa perlakuan panas dan penurunan pH≤3.0 dengan asam sitrat dapat menurunkan jumlah Salmonella.  Efektifitas untuk mem-bunuh Salmonella mulai dari yang terendah berturut-turut adalah uap air panas, air panas, asam sitrat 0.105% dan 0.210% dengan penurunan koloni berturut-turut 4.5-4.8, 5.4-5.5, >5.7 dan >5.8   log koloni/gram dengan populasi awal 6.58. 

Resistensi Salmonella terhadap kondisi panas proses pengeringan terlihat pada penurunan jumlah koloni yang relatif kecil selama proses pengeringan (pada kontrol penurunan hanya sebesar 1.8 siklus log).  Salmonella yang bertahan hidup setelah blansir, ternyata tetap bertahan sampai akhir pengeringan (60°C, 6 jam).  Hal ini terlihat dari populasinya yang relatif tetap setelah proses pengeringan selesai (penurunan <1 log).  Sehingga, jika dihubungkan dengan hasil penelitian Hiramatsu (2006) diduga bahwa asam tidak menyebabkan turunnya resistensi bakteri terhadap pengeringan tetapi kematian terjadi lebih karena efek pH rendah, dan bukan karena proses pengeringan.

Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa Salmonella kering yang bertahan hidup setelah proses pengeringan, relatif bertahan selama 30 hari penyimpanan pada suhu 25°C. Salmonella kering yang mendapat perlakuan blansir sebelum pengeringan tampaknya lebih resisten terhadap kondisi kering selama penyimpanan.  Hal ini terlihat dari perubahan koloni yang hanya 0.1 log dari populasi bakteri kering awal penyimpanan (pada kontrol terjadi penurunan populasi bakteri kering sebesar 0.8 log).  Akan tetapi, jika dilihat dari aspek keamanan pangan secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa perlakuan blansir sebelum pengeringan mampu meningkatkan keamanan pangan produk kering dari Salmonella.

b. Pengaruh pengasapan terhadap produk cowpea-daddawa kering

Kombinasi pengeringan pada suhu yang lebih tinggi dengan pengasapan tampaknya lebih efektif menurunkan jumlah Salmonella dibandingkan proses pengeringan dengan cara penjemuran. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Wachuk-wu, et al (2003) yang membandingkan pengaruh cara pengeringan cowpea-daddawa dengan penjemuran (33-35°C) dan pengasapan (60-80°C) masing-masing selama tiga hari terhadap Salmonella typhimurium. Diperoleh bahwa kombinasi panas dan pengasapan lebih efektif menurunkan jumlah S. typhimurium (dari 104 koloni/ gram menjadi tidak terdeteksi) dibandingkan dengan penjemuran (masih mengandung 102 koloni/ gram dari awalnya 104 koloni/gram). 

Mekanisme Resistensi Bakteri Terhadap Kondisi Kering

Perlakuan Aw rendah menyebabkan sel mikroba menderita sakit yang bersifat reversible atau mati. Jika Aw produk diturunkan, maka sel bakteri akan melepaskan air bebasnya untuk mempertahankan kondisi kesetimbangan. Kehilangan air menyebabkan kejutan osmotik dan plasmolisis sehingga pertumbuhan sel terhambat dan sel akan sakit atau mati.  Beberapa penjelasan mengenai dugaan mekanisme yang menyebabkan peningkatan ketahanan Salmonella terhadap kondisi kering dapat didekati dari beberapa dugaan berikut:

  • Beberapa mikroba mentranspor padatan terlarut ke dalam sel atau memetabolisme padatan terlarut untuk mengatasi plasmolisis dan mempertahankan turgor sel.  Menurut Ray (2001), mekanisme ini dimiliki oleh mikroba yang bisa tumbuh pada Aw rendah seperti kapang xerofilik dan kamir osmofilik. 
  • Hiramatsu (2005) yang mensitasi dari beberapa sumber menyimpulkan bahwa sukrosa dan trehalosa dapat menghambat kerusakan struktur protein termasuk membran dengan cara menggantikan air membran bakteri, pada kondisi kering.  Peningkatan resistensi setelah pengeringan pada lingkungan yang mengandung sukrosa diduga terkait dengan kemampuan bakteri untuk mengakumulasi sukrosa dan/atau trehalosa. 
  • Nilai Aw sel bakteri diduga memberikan efek peningkatan resistensi bakteri kering terhadap panas.  Kondisi Aw yang sangat rendah menyebabkan pergerakan molekul air menjadi sangat terbatas dan menghambat terjadinya denaturasi protein pada suhu tinggi (Hiramatsu, et al (2005) dari beberapa sumber).


Daftar Pustaka

DiPersio, P.A., P.A. Kendall, Y. Yoon and J.N. Sofos.  2005.  Influence of blanching treatments on Salmonella during home-type dehydration and storage of potato slices.  Journal of Food Protection.  Vol 68, No. 12 (2587-2593). 

Forsythe, S.J. and P.R. Hayes.  1998.  Food Hygiene, Microbiology and HACCP.  3td ed.  Chapman and Hall Food Science Book.  Gaithersburg, Maryland

Hiramatsu, R., M. Matsumoto, K. Sakae and Y. Miyazaki.  2005.  Ability of shiga toxin-producing Escherichia coli and Salmonella spp. to survive in a desiccation model system and in dry foods. Applied and Environmental Microbiology, Vol 71, No 11 (6657-6663)

Mattick, K.L., F. Jorgensen, J.D. Legan, M.B. Cole, J. Porter, H.M. Lappin-Scott and T.J. Humphrey.  2000.  Survival and filamentation of Salmonella enterica serovar Enteritidis PT4 and Salmonella enterica serovar Typhimurium DT104 at low water activity.  Applied and Environmental Microbiology, Vol 66, No 4 (1274-1279)

Meyer, L.B., S.E. Martin and L.D. Witter.  1981.  Combine effect of acetate and reduced water activity on survival of Salmonella typhimurium 7136.  Applied and Environmental Microbiology, Vol 41, No 5 (1173-1176)

Ray, B.  2001.  Fundamental Food Microbiology.  CRC Press.  Boca Raton

Wachukwu, C.K. , T.G. Sokari and S.A. Wemedo.  2003.  Effects of sun drying and smoking on Salmonella typhimurium (LT2) during cowpea-daddawa processing.  Plant Foods for Human Nutrition, Vol. 58, No. 3 (1-7)