Pendahuluan
Penurunan jumlah air bebas di dalam pangan merupakan metode tertua yang digunakan manusia untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Pengeringan atau penambahan humektan di dalam pangan semi basah menyebabkan penurunan jumlah air bebas atau aktivitas air (Aw).
Pangan dengan Aw rendah sejak lama diyakini bukan merupakan sumber dari
penyakit karena pangan (foodborne illness)
(DiPersio et al, 2005). Menurut Ray
(2001), pertumbuhan mikroba secara umum akan terhambat pada Aw
kurang dari 0.6 dan sebagian besar bakteri patogen kecuali S. aureus, pertumbuhan akan terhambat pada Aw kurang dari 0.86 (Ray, 2001). Tetapi,
walaupun kondisi Aw yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri, ternyata
kondisi didalam produk dan kemampuan bakteri untuk menyesuaikan diri terhadap
kondisi stress yang terjadi masih memungkinkan sel-sel bakteri tersebut
bertahan selama periode waktu tertentu (Meyer, et al, 1981).
Salmonella merupakan bakteri penyebab foodborne infection, salmonellosis. Pertumbuhan optimal dari berbagai jenis
strain Salmonella berlangsung pada Aw 0.99, tetapi bakteri ini bisa
mentolerir kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan dan mampu bertahan hidup
didalam pangan dengan Aw yang rendah untuk jangka waktu yang lama (Ray, 2001;
Mattick et al, 2000).
Sejumlah kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) salmonellosis setelah mengkonsumsi
pangan kering seperti meat-jerky, snak jagung bercitarasa savory, susu bubuk,
coklat, keripik kentang, parutan kelapa kering dan almond yang terkontaminasi
oleh Salmonella telah dilaporkan di
Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960 (DiPersio, et al, 2005; Hiramatsu et
al, 2005; Mattick et al, 2000; Forsythe dan Hayes, 1998). Di Jepang, KLB salmonellosis yang terjadi
pada tahun 1999 disebabkan oleh konsumsi cumi kering (Aw 0.5 – 0.6) yang
terkontaminasi oleh Salmonella enterica serovar
Oranienburg dan Chester (Hiramatsu et al, 2005). S.enterica serovar
Napoli dan S. enterica serovar Agona dilaporkan menyebabkan KLB
keracunan pangan yang dihubungkan dengan coklat dan snak renyah yang memiliki
Aw rendah (Mattick et al, 2000).
Jumlah sel Salmonella yang
dibutuhkan untuk bisa menyebabkan infeksi (Infectious
Dose, ID) akan lebih rendah (sekitar 10 – 100 sel), jika organisme ini
terdapat didalam pangan dengan Aw rendah (Mattick et al, 2000). Sebagai contoh, ID Salmonella di dalam keripik terkontaminasi adalah 0.04 – 0.45
organisme/gram (Lehmacher, et al yang disitasi oleh DiPersio et al, 2005) dan
ID S. nima di dalam coklat adalah
2.24 organisme/100 gram (Forsythe dan Hayes, 1998).
Alasan-alasan di atas menyebabkan perlu dipelajari bagaimana daya tahan Salmonella untuk hidup pada kondisi Aw
rendah (kering). Selain itu, juga
menjadi sangat penting untuk mengetahui ketahanan Salmonella terhadap suasana kering jika formulasi atau tahapan
proses produksi dari suatu produk (termasuk produk kering) diubah.
Tulisan ini akan membahas ketahanan hidup Salmonella pada berbagai kondisi lingkungan pengeringan. Memahami
daya tahan sel Salmonella didalam
pangan dengan Aw rendah akan memudahkan kita dalam merancang prosedur
pengawetan pangan dengan keamanan pangan yang baik.
Resistensi Salmonella Selama Proses Pengeringan
Hiramatsu et al (2005) telah mempelajari kemampuan 18 strain Salmonella (Tabel 1) untuk bertahan
hidup selama proses pengeringan dengan menggunakan sistim model (cakram kertas)
yang dikeringkan. Pada bagian ini akan
dijelaskan hasil-hasil penelitian yang dilakukan Hiramatsu et al (2005) dan
kesimpulan penting yang dapat ditarik
dari penelitian tersebut.
Penelitian dilakukan dengan mengeringkan Salmonella (diencerkan dalam larutan garam fisiologis) yang
diinokulasikan pada cakram kertas (107 koloni/ cakram) selama 24 jam
pada suhu 35°C. Didapatkan hasil bahwa
103–104 koloni/ cakram dari sebagian besar strain Salmonella (14/18) yang diujikan dapat
bertahan hidup selama proses pengeringan, kecuali Salmonella enterica serovar Typhi (4/4) yang memiliki ketahanan
hidup yang rendah (jumlah koloni yang bertahan hidup kurang dari 102
koloni/ cakram). Untuk selanjutnya, bakteri yang bertahan hidup setelah
mengalami proses pengeringan ini disebut sebagai bakteri kering.
Ketahanan bakteri Salmonella terhadap
proses pengeringan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hiramitsu
et al (2005) dipelajari pengaruh pH (3– 9), penambahan sukrosa, NaCl dan
penggunaan minuman coklat untuk melihat pengaruh lemak (dengan atau tanpa
penambahan sukrosa) terhadap ketahanan hidup 5 strain Salmonella (strain no 1-4 dan 13 pada Tabel 1) didalam sistim model
selama proses pengeringan (35°C, 24 jam).
a. Pengaruh pH
terhadap ketahanan hidup
Dari penelitian ini diketahui, 5 strain Salmonella
yang diuji (termasuk Sal-monella
enterica serovar Typhimurium) dapat mentolerir kondisi pH 4.0–9.0 selama
proses pengeringan. Dari 107
koloni/cakram yang dikeringkan, 103–104 koloni/cakram
membentuk bakteri kering (mampu bertahan hidup setelah proses pengeringan).
Resistensi Salmonella terhadap
pengeringan menurun tajam jika pH lingkungan diturunkan menjadi 3.0 (jumlah
bakteri kering <102 koloni/cakram).
b. Pengaruh
sukrosa, NaCl dan lemak (coklat) pada ketahanan hidup
Pada tahap ini, kedalam suspensi bakteri uji yang akan dikeringkan
ditambahkan sukrosa sebesar 4, 12 dan 36%. Penggunaan sukrosa sebesar 4–36% ternyata
meningkatkan resistensi Salmonella
terhadap kondisi stress selama pengeringan dimana konsentrasi gula 36%
memberikan efek perlindungan terbesar. Jumlah bakteri kering dari proses
pengeringan didalam lingkungan gula lebih besar (meningkat berturut-turut
menjadi 1.2-6.4 kali, 10-60 kali dan 13-79 kali pada konsentrasi gula 4, 12 dan
36%) jika dibandingkan dengan ketahanan hidup strain kontrol (tanpa penambahan
gula).
Jika sukrosa meningkatkan ketahanan hidup bakteri selama proses pengeringan,
maka kondisi sebaliknya terjadi pada penambahan garam NaCl. NaCl yang
ditambahkan kedalam suspensi bakteri pada konsentrasi 5–30% menurunkan
resistensi Salmonella terhadap proses
pengeringan. Pada konsentrasi NaCl 5%,
jumlah bakteri kering setelah pengeringan 1.5 kali lebih rendah dibandingkan dengan
jumlah populasi kontrol yang mengandung NaCl 0.85%. Pengeringan pada kondisi
lingkungan bergaram tinggi (10–20%) menyebabkan tingkat kematian Salmonela yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah bakteri kering
yang rendah (kurang dari 102 koloni/cakram).
Keberadaan lemak meningkatkan ketahanan Salmonella
terhadap proses pengeringan. Hal ini
terlihat pada saat minuman coklat digunakan sebagai media pensuspensi
bakteri. Minuman coklat tanpa sukrosa
dapat mempertahankan jumlah bakteri kering dua log lebih tinggi dari kontrol
(dalam larutan garam fisiologis).
Jika lemak dikombinasikan dengan sukrosa, maka efek perlindungan yang
diberikan kepada Salmonella akan
lebih besar. Penggunaan minuman coklat
dengan penambahan sukrosa pada konsentrasi yang sama (4%, 12%, and 36%)
menggantikan larutan garam fisiologis, menghasilkan jumlah bakteri kering dua
unit log lebih tinggi dari populasi kontrol.
Resistensi Salmonella Kering Pada Berbagai Kondisi
Penyimpanan
Pembahasan ini masih didasarkan pada hasil penelitian Hiramatsu et al
(2005), dengan menggunakan sistim model (cakram kertas) yang dikeringkan. Pengamatan dilakukan terhadap 5 strain Salmonella (strain no 1-4 dan 13 pada
Tabel 1). Pada tahap ini dilihat ketahanan hidup Salmonella kering selama pe-nyimpanan pada kisaran suhu 4-35°C,
jika dikontakkan dengan suhu tinggi (70 - 90°C) selama 5 jam dan jika
dikontakkan dengan etanol konsentrasi 5 – 70% se-lama satu menit.
a. Pengaruh suhu
penyimpanan terhadap ketahanan hidup
Salmonella kering menunjukkan resistensi yang sangat
baik pada saat sistim model disimpan sampai 24 bulan di dalam refrigerator suhu
4°C. Hal ini terlihat dari jumlah
populasi bakteri kering setelah penyimpanan 22-24 bulan yang relatif sama
dengan populasi bakteri kering pada awal penyimpanan dingin (4°C). Kondisi ini ditunjukkan oleh semua (4/4)
strain Salmonella yang diuji (Tabel
2).
Tidak seperti penyimpanan pada 4°C,
penyimpanan pada suhu 25 dan 35°C menyebabkan penurunan jumlah Salmonella yang bertahan hidup. Salmonella
didalam sistim model menjadi tidak terdeteksi (kurang dari 102
koloni/cakram), setelah penyimpanan selama 35 hari
pada 35°C dan setelah 70 hari pada 25°C (Tabel 3).
Dari penelitian ini terlihat bahwa 5 strain Salmonella kering mungkin akan mati jika
disimpan pada suhu ruang atau suhu yang lebih tinggi selama 1 – 2 bulan tetapi
akan tetap bertahan hidup sampai 2 tahun jika disimpan di suhu dingin
(4°C). Dengan kondisi seperti ini, maka
penyimpanan produk pangan kering yang terkontaminasi dengan Salmonella ini pada suhu dingin mungkin
akan lebih beresiko terhadap keamanan pangan produk.
b. Pengaruh suhu
tinggi terhadap ketahanan hidup
Kondisi mengkhawatirkan yang diperoleh dari
penelitian ini adalah bahwa 5 strain Salmonella
kering ketika dikontakkan dengan suhu 70°C selama 5 jam atau suhu 80°C selama 5 jam, masih bertahan hidup dan hanya menunjukkan penurunan 1 siklus
log jika dibandingkan dengan yang disimpan pada 35°C selama 5 jam. Penurunan
populasi menjadi kurang dari 102 koloni/cakram baru tercapai ketika
bakteri kering dikontakkan dengan suhu 90°C selama 5 jam.
Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa prosedur sterilisasi
produk kering untuk inaktivasi Salmonella
memerlukan suhu yang lebih tinggi dari 70°C.
c. Pengaruh etanol
terhadap ketahanan hidup
Salmonella
kering
resisten terhadap pengaruh etanol
konsentrasi maksimal 15% yang dikontakkan selama 1 menit. Strain Salmonella
menunjukkan perbedaan resistensi terhadap etanol 40%. Bentuk kering dua strain Salmonella (S. enterica serovars Litchfield dan
Typhimurium) masih bisa bertahan hidup dengan kisaran populasi bakteri kering
2.48 – 3.32 log koloni/unit setelah dikontakkan dengan etanol 40% selama 1
menit. Etanol 70% memiliki sifat
bakterisidal yang tinggi terhadap bakteri kering. Hal ini terlihat dari tidak terdeteksinya
populasi bakteri kering dari 5 strain Salmonella
yang diuji (jumlah bakteri kering
kurang dari 102 koloni/cakram), setelah dikontakkan dengan
etanol 70% selama 1 menit.
Resistensi Salmonella Kering Dalam Pangan Kering
Pembahasan ini didasarkan pada hasil penelitian Hiramatsu et al (2005),
yang mengamati ketahanan hidup 5 strain Salmonella
(strain no 1-4 dan 13 pada Tabel 1) didalam produk pangan kering (coklat,
kacang goreng, apel kering dan pikel plum kering asam). Selain itu juga diamati ketahanan hidup Salmonella enterica serovar Oranienburg
dan Chester yang diisolasi dari keripik cumi kering didalam keripik kentang,
keripik cumi kering dan cumi kering.
Populasi dari 5 strain yang diinokulasikan kedalam pangan kering dihitung
setelah dikeringkan selama 24 jam pada suhu 25°C dan dibandingkan dengan
populasi strain tersebut didalam cakram kertas (Tabel 4). Ketahanan hidup dari lima strains yang
diinokulasi kedalam coklat dan kacang tanah 100 kali lebih tinggi dari kontrol. Kondisi asam (pH < 4.0) didalam pangan
kering seperti apel kering dan pikel plum kering asam, menyebabkan Salmonella tidak bisa hidup selama
proses pengeringan (24 jam pada suhu 25°C).
Salmonella enterica serovar Oranienburg dan Chester yang diinokulasikan kedalam produk kering yang mengandung sukrosa seperti keripik kentang dan keripik cumi kering akan menghasilkan bakteri kering dalam jumlah hampir dua log lebih banyak dari bakteri kering yang terdapat pada kontrol (sistim model) setelah pengeringan selama 24 jam. Sementara jika tidak mengandung sukrosa, maka jumlah bakteri kering yang ada setelah proses pengeringan relatif sama dengan yang ada pada kontrol. Hal ini relevan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa sukrosa meningkatkan ketahanan hidup dari bakteri kering.
Salmonella enterica serovar Oranienburg dan Chester yang diinokulasikan kedalam produk kering yang mengandung sukrosa seperti keripik kentang dan keripik cumi kering akan menghasilkan bakteri kering dalam jumlah hampir dua log lebih banyak dari bakteri kering yang terdapat pada kontrol (sistim model) setelah pengeringan selama 24 jam. Sementara jika tidak mengandung sukrosa, maka jumlah bakteri kering yang ada setelah proses pengeringan relatif sama dengan yang ada pada kontrol. Hal ini relevan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa sukrosa meningkatkan ketahanan hidup dari bakteri kering.
Pengaruh Perlakuan Pra-Pengeringan Pada Salmonella
Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa
berbagai kombinasi pengeringan dengan perlakuan awal yang bersifat antimikroba
dapat menurunkan jumlah Salmonella didalam
produk kering yang dihasilkan.
a. Pengaruh
blansir irisan kentang
DiPersio et al (2005) telah mengamati pengaruh beberapa metode blansir
yaitu blansir dengan uap panas (88°C 10 menit), air panas (88°C 4 menit), asam sitrat 0.105% (88°C 4 menit) dan asam sitrat 0.210% (88°C 4 menit) terhadap resistensi Salmonella
dalam irisan kentang kering selama penyimpanan. Sampel diinokulasi dengan
campuran lima strain Salmonella (Salmonella Typhimurium strain ATCC
14028, ATCC 700408 dan F530 serta Salmonella
Agona dan Salmo-nella Copenhagen).
Dari penelitian diketahui, bahwa perlakuan panas dan penurunan pH≤3.0
dengan asam sitrat dapat menurunkan jumlah Salmonella. Efektifitas untuk mem-bunuh Salmonella mulai dari yang terendah
berturut-turut adalah uap air panas, air panas, asam sitrat 0.105% dan 0.210%
dengan penurunan koloni berturut-turut 4.5-4.8, 5.4-5.5, >5.7 dan
>5.8 log koloni/gram dengan populasi
awal 6.58.
Resistensi Salmonella terhadap
kondisi panas proses pengeringan terlihat pada penurunan jumlah koloni yang
relatif kecil selama proses pengeringan (pada kontrol penurunan hanya sebesar
1.8 siklus log). Salmonella yang bertahan hidup setelah blansir, ternyata tetap
bertahan sampai akhir pengeringan (60°C, 6 jam).
Hal ini terlihat dari populasinya yang relatif tetap setelah proses
pengeringan selesai (penurunan <1 log).
Sehingga, jika dihubungkan dengan hasil penelitian Hiramatsu (2006)
diduga bahwa asam tidak menyebabkan turunnya resistensi bakteri terhadap
pengeringan tetapi kematian terjadi lebih karena efek pH rendah, dan bukan
karena proses pengeringan.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa Salmonella kering yang bertahan hidup setelah proses pengeringan,
relatif bertahan selama 30 hari penyimpanan pada suhu 25°C. Salmonella
kering yang mendapat perlakuan blansir sebelum pengeringan tampaknya lebih
resisten terhadap kondisi kering selama penyimpanan. Hal ini terlihat dari perubahan koloni yang
hanya 0.1 log dari populasi bakteri kering awal penyimpanan (pada kontrol
terjadi penurunan populasi bakteri kering sebesar 0.8 log). Akan tetapi, jika dilihat dari aspek keamanan
pangan secara keseluruhan maka dapat dikatakan bahwa perlakuan blansir sebelum
pengeringan mampu meningkatkan keamanan pangan produk kering dari Salmonella.
b. Pengaruh
pengasapan terhadap produk cowpea-daddawa kering
Kombinasi pengeringan pada suhu yang lebih tinggi dengan pengasapan
tampaknya lebih efektif menurunkan jumlah Salmonella
dibandingkan proses pengeringan dengan cara penjemuran. Hal ini terlihat
dari hasil penelitian Wachuk-wu, et al (2003) yang membandingkan pengaruh cara
pengeringan cowpea-daddawa dengan penjemuran (33-35°C) dan pengasapan
(60-80°C) masing-masing selama tiga hari terhadap Salmonella typhimurium. Diperoleh bahwa kombinasi panas dan
pengasapan lebih efektif menurunkan jumlah S.
typhimurium (dari 104 koloni/ gram menjadi tidak terdeteksi)
dibandingkan dengan penjemuran (masih mengandung 102 koloni/ gram
dari awalnya 104 koloni/gram).
Mekanisme Resistensi Bakteri Terhadap Kondisi
Kering
Perlakuan Aw rendah
menyebabkan sel mikroba menderita sakit yang bersifat reversible atau mati. Jika Aw produk diturunkan, maka sel bakteri
akan melepaskan air bebasnya untuk mempertahankan kondisi kesetimbangan.
Kehilangan air menyebabkan kejutan osmotik dan plasmolisis sehingga
pertumbuhan sel terhambat dan sel akan sakit atau mati. Beberapa penjelasan mengenai dugaan mekanisme
yang menyebabkan peningkatan ketahanan Salmonella
terhadap kondisi kering dapat didekati dari beberapa dugaan berikut:
- Beberapa mikroba mentranspor padatan terlarut ke dalam sel atau memetabolisme padatan terlarut untuk mengatasi plasmolisis dan mempertahankan turgor sel. Menurut Ray (2001), mekanisme ini dimiliki oleh mikroba yang bisa tumbuh pada Aw rendah seperti kapang xerofilik dan kamir osmofilik.
- Hiramatsu (2005) yang mensitasi dari beberapa sumber menyimpulkan bahwa sukrosa dan trehalosa dapat menghambat kerusakan struktur protein termasuk membran dengan cara menggantikan air membran bakteri, pada kondisi kering. Peningkatan resistensi setelah pengeringan pada lingkungan yang mengandung sukrosa diduga terkait dengan kemampuan bakteri untuk mengakumulasi sukrosa dan/atau trehalosa.
- Nilai Aw sel bakteri diduga memberikan efek peningkatan resistensi bakteri kering terhadap panas. Kondisi Aw yang sangat rendah menyebabkan pergerakan molekul air menjadi sangat terbatas dan menghambat terjadinya denaturasi protein pada suhu tinggi (Hiramatsu, et al (2005) dari beberapa sumber).
Daftar Pustaka
DiPersio, P.A., P.A. Kendall, Y. Yoon and J.N. Sofos. 2005. Influence of blanching treatments on Salmonella during home-type dehydration
and storage of potato slices. Journal of
Food Protection. Vol 68, No. 12
(2587-2593).
Forsythe, S.J.
and P.R. Hayes. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP. 3td ed. Chapman and Hall Food Science Book. Gaithersburg ,
Maryland
Hiramatsu, R.,
M. Matsumoto, K. Sakae and Y. Miyazaki.
2005. Ability of shiga
toxin-producing Escherichia coli and Salmonella spp. to survive
in a desiccation model system and in dry foods. Applied and Environmental
Microbiology, Vol 71, No 11 (6657-6663)
Mattick, K.L.,
F. Jorgensen, J.D. Legan, M.B. Cole, J. Porter, H.M. Lappin-Scott and T.J.
Humphrey. 2000. Survival and filamentation of Salmonella
enterica serovar Enteritidis PT4 and Salmonella enterica serovar
Typhimurium DT104 at low water activity.
Applied and Environmental Microbiology, Vol 66, No 4 (1274-1279)
Meyer, L.B.,
S.E. Martin and L.D. Witter. 1981. Combine effect of acetate and reduced water
activity on survival of Salmonella
typhimurium 7136. Applied and
Environmental Microbiology, Vol 41, No 5 (1173-1176)
Ray, B. 2001.
Fundamental Food Microbiology.
CRC Press. Boca Raton
Wachukwu, C.K. ,
T.G. Sokari and S.A. Wemedo. 2003. Effects of sun drying and smoking on Salmonella typhimurium (LT2) during
cowpea-daddawa processing. Plant Foods
for Human Nutrition, Vol. 58, No. 3 (1-7)