Oleh : Ardiansyah Michwan* (dimuat dalam Jurnal Nasional, 7 Februari 2011)
Mengikuti perkembangan pembahasan RUU tentang Sistem Jaminan Halal oleh para anggota DPR akhir-akhir in menarik perhatian kita semua. Betapa tidak, berbagai kalangan ingin dilibatkan dalam proses sertifikasi halal. Mulai dari ormas sosial keagamaan, departemen agama, sampai fraksi-fraksi di DPR, yang mempunyai pandangan masing-masing tentang sertifikasi halal. Ini seolah-olah merebutkan sekaligus meributkan sertifikasi halal yang selama ini sudah dijalankan oleh LP POM MUI.
Terkesan semua pihak ingin mendapatkan jatah dari “kue besar” bernama Sertifikat Halal (SH). Berbagai kalangan ingin maju ke depan, menyatakan diri kepeduliannya akan kepentingan agama mayoritas di negeri ini, bahwa mereka lah yang merasa paling pantas dan paham akan Halal, bukan pihak lain. Semoga begitulah niatan adanya. Dan jika memang seperti itu niatnya, mari dibicarakan dengan baik, bergandengan tangan, berbagi tugas, untuk suatu pencapaian yang lebih baik. Urusan SH bukan hanya urusan horizonyal, tapi adalah urusan vertikal, yang pasti tanggungjawabnya bukan main-main.
Pertanyaan mendasar yang harus mereka jawab adalah apakah mereka paham dan mengerti betul esensi dari pangan halal? Semestinya kita tidak boleh terjebak dalam isu ini, karena esensi utama dari re(i)but ini adalah bagaimana memberikan keamanan dan ketentraman pada umat.
Urgensi mengkonsumsi pangan halal bagi konsumen muslim telah dicantumkan dalam Al-Qur’an-sebagai rujukan tertinggi, yang tertuang dalam Al-Baqarah: 172, yaitu : “Wahai orang yang beriman! Makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah.” Ironisnya, sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, mayoritas konsumennya masih belum memiliki kesadaran yang baik soal makanan halal.
Kesadaran menjadi harapan yang disandarkan pada konsumen muslim di Indonesia. Karena dengan kesadaran konsumen yang tinggi-lah, diharapkan akan mendorong produsen untuk lebih peduli akan pangan halal. Dimana pada akhirnya diharapkan kehalalan menjadi hal yang mutlak bagi produsen untuk semua jenis produk yang ditujukan bagi konsumen muslim. Produsen harus lebih hati-hati, lebih terbuka, dan jujur akan produknya. Sekali saja produsen berbuat kealpaan akan berdampak terhadap produk yang dihasilkan, hilangnya kepercayaan konsumen. Dampak lebih jauh dapat terjadi boikot produk yang diragukan kehalalannya.
Label dan iklan pangan
Saat kita memutuskan makanan apa yang akan kita konsumsi, kita akan memastikan terlebih dahulu informasi dasar yang tertera pada label kemasan pangan, apakah baik, aman, dan boleh dikonsumsi atau tidak. Pernahkan kita memperhatikan dengan teliti labelnya secara keseluruhan, terutama daftar ingredients-nya sebelum kita konsumsi?
Dengan membaca label dan iklan produk pangan, kita dapat memutuskan apakah pangan tersebut dapat kita konsumsi atau tidak. Jika tercantum lambang SH didalam labelnya, artinya memang sudah aman, dan konsumen dimudahkan dalam hal ini. Tapi jika belum ada, karena masih menjadi samar, artinya walaupun belum ada label SH tapi masih mungkin halal, maka konsumen harus melihat dan meneliti informasi ingredient-nya, apakah ada bahan yang meragukan kehalalannya atau tidak? Hal ini tentu tidak mudah, karena tidak semua konsumen paham arti dari bahan-bahan tersebut. Maka hal sebaiknya dilakukan jika ragu adalah meninggalkannya, artinya tidak membeli produk tersebut. Hal ini tentunya merugikan produsen.
Pasal 30 ayat 2 ketentuan Label dan Iklan Pangan pada Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar ingredient yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
Terlepas dari kontroversi badan apakah yang berhak memberikan SH, penulis berpendapat bahwa informasi ingredient sangat mutlak diperlukan agar konsumen muslim bisa menentukan produk yang bisa dikonsumsinya. Implikasi lain bagi konsumen adalah jika terdapat bahan mencurigakan kehalalannya, konsumen dapat membuat pengaduan dan pelaporan produk-produk makanan yang diduga mengandung bahan haram dan jika terbukti bersalah maka produsen dapat dihukum dengan hukuman yang layak.
Negara-negara maju misalnya Jepang-dimana saat ini penulis tinggal, label atau iklan pangan ditulis lengkap dan jelas sehingga konsumen dengan mudah mendapatkan informasi produk yang dikonsumsinya. Konsumen muslim dengan mudah dapat menghubungi nomor bebas pulsa yang tertera pada label, seandainya konsumen ingin menanyakan status ingredient yang digunakan. Dalam waktu yang singkat, diperoleh informasi apakah produk pangan mengandung bahan yang mencurigakan kehalalannya atau tidak.
Pertanyaan muncul, mengapa Indonesia tidak melaksanakan aturan pelabelan yang ketat, kemudian diikuti dengan pengawasan yang yang optimal dari lembaga yang memberitkan perijinan tentang label pangan.
Penyempurnaan sistem label dan iklan pangan yang sudah ada sehingga setiap konsumen dengan mudah membaca dan membedakan mana produk yang dapat dikonsumsinya. Kejujuran pedagang dan pengelola jasa makanan dalam menjelaskan ke konsumen jika ada yang bertanya. Jika sistem ini bisa dilaksanakan dengan baik, kita tidak perlu lagi mempermasalahkan label halal/ haram pada produk makanan.
Jaminan kehalalan
Sampai saat ini jaminan kehalalan yang sudah dilakukan oleh LP POM MUI-sebagai lembaga pengayom umat muslim di Indonesia, perlu tetap didukung agar konsumen muslim terhindar dari pengusaha tidak jujur.
Menurut penulis, jika ada lembaga pemeriksa lain yang kredibel juga tidak menjadi masalah, sepanjang lembaga tersebut telah melalui audit sebagai lembaga sertifikasi yang profesional. MUI membatasi hanya bekerja secara profesional pada komisi fatwa, lembaga sertifikasi mana saja silakan meminta fatwa MUI apakah suatu produk layak diberikan sertifikat halal atau tidak.
Selanjutnya ormas, LSM, MUI, dan dapat bertindak jauh yaitu bagaimana upaya penyadaran konsumen muslim agar tidak "buta" tentang pentingnya konsumsi pangan halal. Tugas substansi ini lebih utama dan mulia dilakukan ketimbang mere(i)butkan siapa yang berhak tentang SH. Tugas pendidikan ini dapat pula melibatkan berbagai komponen masyarakat agar sosialisasi pangan halal benar-benar dapat dirasakan oleh konsumen muslim.
*Peneliti di Tohoku University, Sendai, Jepang dan Departemen Gizi Masyarakat, FEMA-IPB.