Industri pangan menggunakan Resistant Starch (RS) untuk beberapa alasan: memanfaatkan sifat fungsionalnya, untuk meningkatkan kadar serat produk dan/atau untuk klaim manfaat khusus terhadap kesehatan. Dari aspek sensori, penggunaan RS sebagai ingridien produk pangan fungsional kaya serat pangan jauh lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan ingridien serat konvensional seperti biji-bijian, buah atau dedak. RS dapat meningkatkan kandungan serat produk dengan hanya sedikit mempengaruhi karakteristik sensori produk, dan memiliki sifat fungsional seperti kapasitas pembengkakan, viskositas, pembentukan gel dan kapasitas mengikat air, yang cocok untuk diaplikasikan pada beberapa produk tertentu. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari FOODREVIEW INDONESIA edisi Maret 2010.
RS adalah komponen alami yang terdapat didalam banyak bahan pangan. Walaupun beberapa bahan pangan secara alami menunjukkan kadar RS yang tinggi, tetapi keberadaan RS yang dikandungnya itu dapat berubah karena proses pengolahan. Beberapa metode pengolahan seperti proses retorting, baking, dan pengeringan pada suhu tinggi telah diketahui dapat sedikit meningkatkan kadar RS di dalam produk. Akan tetapi, proses pengolahan yang lain seperti proses perebusan berpotensi untuk menurunkan kadar RS. Hal ini mendorong industri ingridien untuk mengembangkan RS komersial yang bersifat tahan terhadap kondisi proses. Berbeda dengan RS alami, RS komersial tidak dipengaruhi oleh kondisi pengolahan dan penyimpanan (Sajilata et al. 2006)
Ingridien RS komersial dan pertimbangan penggunaanya
Penggunaan RS komersial sebagai ingridien dalam pembuatan produk kaya serat didasarkan pada pertimbangan karakteristik fungsionalnya, stabilitasnya terhadap proses pengolahan dan fungsi nutrisi/fisiologisnya. Karakteristik fungsional RS diperlukan untuk pembentukan karakteristik tekstur dan daya ikat air dari produk akhir. Stabilitas RS selama pengolahan penting untuk mempertahankan kandungan serat selama proses. Sifat daya cerna yang diharapkan adalah kemampuannya untuk bertahan terhadap proses pencernaan di usus halus dan atau ketahanan terhadap proses fermentasi di kolon (Fuentes-Zaragoza et al. 2010).
Ingridien dengan kandungan RS tinggi yang saat ini tersedia secara komersial dapat dibagi kedalam tiga kelompok (Champ, 2004), yaitu: 1). Pati alami yang mengandung amilosa tinggi (sebagian besar diekstrak dari pati jagung); 2). Pati beramilosa tinggi yang diretrogradasi (sebagian besar berasal dari pati jagung); dan 3). Maltodekstrin yang diretrogradasi (dari pati beramilosa tinggi atau dari pati tapioka). RS dari kelompok 1 merupakan RS tipe 2 (RS2), sementara RS komersial dari kelompok 2 dan tiga adalah RS tipe 3 (RS3). Secara umum, ketahanan panas dari RS3 lebih tinggi dari RS2.
Setiap jenis RS mempunyai sifat fungsional dan fisiologis yang berbeda seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Perbedaan sifat fungsional dan fisiologis mereka menyebabkan aplikasinya di dalam produk bersifat ‘unik’ dan menyebabkan perbedaan karakteristik fisikokimia dan gizi (termasuk klaim kesehatan) produk akhir. Jumlah RS yang digunakan untuk menggantikan tepung tergantung pada karakteristik pati yang digunakan, teknik aplikasi, kadar serat yang diinginkan dan dalam beberapa kasus terkait juga dengan klaim kesehatan dari produk tersebut (Fuentes-Zaragoza et al. 2010).
Menurut Sajilata et al (2006), toleransi terhadap proses perlu diperhatikan ketika memilih suatu ingridien RS. Sebagai contoh, Novelose 240 (RS2), 260 (RS2) dan 330 (RS3) memiliki suhu melting berturut-turut 99.7oC, 114.4oC dan 121.5oC (Sajilata et al. 2006). Hal ini berimplikasi pada toleransinya terhadap suhu proses. Toleransi Novelose 240, 260 dan 330 terhadap proses berturut-turut sedang/tinggi, tinggi dan sangat tinggi. Secara umum, RS komersial dapat mempertahankan kadar seratnya selama proses baking dan pada kondisi proses ekstrusi yang bersifat ‘ringan’. Tetapi, kondisi proses yang ekstrim mungkin merusak RS yang menyebabkan kadar serat berkurang. Oleh karena itu, disarankan untuk menganalisis kadar serat produk akhir jika proses pengolahan menggunakan kondisi suhu, tekanan dan/atau shear yang ekstrim untuk verifikasi kadar serat.
Tipe RS yang digunakan bisa memberikan pengaruh berbeda terhadap karakteristik produk. Pada produk muffin, penelitian Sanz et al (2008) menunjukkan bahwa perbedaan jenis RS komersial yang digunakan untuk substitusi parsial terigu akan mempengaruhi sifat reologi adonan maupun karakteristik produk muffin. Ketika dibandingkan dengan kontrol (tanpa RS), penggantian dengan RS tipe 3 (Novelose 330 and C*Actistar) meningkatkan viskositas dan viskoelastisitas adonan pada suhu 20 dan 80oC. Kondisi yang sebaliknya terjadi ketika menggunakan RS tipe 2 (Hi-maize 260 and Novelose 240). Perbedaan ini selanjutnya juga menyebabkan perbedaan pada performa baking. Muffin yang disubstitusi parsial dengan RS tipe 3 memiliki tinggi, volume dan jumlah gelembung udara dalam jumlah yang lebih besar daripada muffin yang disubstitusi dengan RS tipe 2. Peningkatan viskositas dan elastisitas adonan membantu mempertahankan dan menstabilkan gelembung udara sehingga performa baking menjadi lebih baik. Akan tetapi, secara umum performa baking dari muffin yang disubstitusi dengan RS masih lebih rendah dibandingkan kontrol. Faktor yang berperan dalam perbedaan ini adalah penundaan gelatinisasi pada adonan yang disubstitusi dengan RS.
Jumlah RS yang ditambahkan untuk memenuhi klaim zat gizi yang diinginkan juga dapat mempengaruhi karakteristik produk. Di Amerika Serikat, suatu produk didefinisikan sebagai sumber serat yang baik jika mengandung serat minimum 2.5 gram per-penyajian dan kaya serat jika mengandung serat minimum 5 gram per-penyajian. Satu hal yang penting diingat adalah bahwa 1 gram ingridien RS tidaklah setara dengan 1 gram serat makanan. Sebagai contoh, RS dalam suatu ingridien mungkin hanya setara dengan 30-40% serat makanan sehingga ingridien RS yang dibutuhkan menjadi 2,5 – 3,0 kali lebih besar untuk mencapai kadar serat makanan yang diinginkan.
Contoh Aplikasi RS Pada Produk Pangan
RS komersial memiliki kemampuan pengikatan air yang lebih rendah dibandingkan dengan sumber serat konvensional (selulosa, dedak, dan sebagainya) sehingga sampai saat ini aplikasinya di industri terutama untuk pangan berkadar air rendah sampai sedang. Produk-produk bakery (seperti roti, muffin, cake, biskuit dan sereal sarapan), produk ekstrusi dan pasta dapat diformulasi dengan penambahan RS sebagai sumber serat (Sanz et al, 2008). Karena kemampuan pembengkakan yang rendah, dan dengan suhu melting yang tinggi, RS biasanya tidak berkontribusi pada peningkatan viskositas selama proses pengolahan sehingga tidak bisa menggantikan fungsi pati sebagai pengental pada sistem pangan cair (Sajilata et al. 2006).
Kemampuan penyerapan air RS yang lebih rendah dibandingkan dengan serat konvensional, menyebabkan penyesuaian dalam formulasi dan prosesnya menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, roti yang disubstitusi dengan serat konvensional memiliki kapasitas pengikatan air yang besar sehingga menghasilkan adonan yang lebih basah dan mengubah karakter reologi adonan. Kondisi ini menyebabkan masalah pada saat pencetakan, pengirisan dan memerlukan waktu baking yang lebih lama.
Walaupun RS komersial diklaim dapat diaplikasikan tanpa atau hanya sedikit merubah karakteristik mutu akhir produk, pada kenyataannya terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kontrol. Perubahan karakteristik muffin mungkin bisa diambil sebagai contoh. Penelitian yang dilakukan oleh Baixauli et al. (2008) menunjukkan bahwa penambahan RS menyebabkan terjadinya perubahan persepsi terhadap kesan ‘basah’ dan kemanisan produk. Muffin yang ditambahkan dengan RS memberi kesan lebih ‘basah’ dan lebih manis dibandingkan kontrol. Selain itu muffin juga memberikan kesan berpasir (grittiness) yang bukan merupakan karakteristik sensori muffin. Selain itu, produk juga menjadi lebih lunak: pengukuran tekstur menunjukkan kekerasan, elastisitas dan kohesivitas produk yang ditambahkan RS lebih rendah dari kontrol mengindikasikan struktur yang lebih empuk. Walaupun demikian, perbedaan-perbedaan ini ternyata tidak mempengaruhi penerimaan sensori produk secara umum. Kadar air muffin menurun dengan penambahan RS. Diduga, RS berperan sebagai lubrikan dan dipersepsikan sebagai ‘basah’ oleh panelis. Selain itu, kesan ini juga mungkin disebabkan oleh terjadinya peningkatan rongga udara berukuran halus didalam produk walaupun rongga udara berukuran besar berkurang jumlahnya (Gambar 1). Kesan manis yang lebih kuat pada muffin yang ditambahkan dengan RS diduga karena adanya interaksi molekuler antara RS dan sukrosa. Kesan berpasir pada tekstur penting diperhatikan pada produk yang disubstitusi degan RS. Kesan ini tetap timbul walaupun ukuran partikel RS telah cukup halus (10-15µm) dan intensitasnya meningkat ketika konsentrasi RS ditingkatkan. Walaupun demikian, kesan berpasir yang ditimbulkan oleh RS masih lebih rendah dari yang disebabkan oleh sumber serat konvensional (Sajilata et al., 2006).
Roti yang disubstitusi dengan RS setara dengan 40% serat makanan menunjukkan pengembangan volume dan struktur sel yang lebih baik dibandingkan dengan roti yang disubstitusi dengan sumber serat konvensional. Pada produk wafel yang dipanggang (toasted waffle), kerenyahan awal, kerenyahan setelah 3 menit, kesan basah dan tekstur keseluruhan dari wafel yang disubstitusi dengan RS lebih baik dari wafel yang disubstitusi dengan serat pangan konvensional (Fuentes-Zaragoza et al. 2010).
Pada produk ekstrusi, penggunaan sumber serat konvensional menyebabkan efek merusak terhadap tekstur produk. Serat cenderung untuk memperkuat struktur fisik produk dan menghambat kemampuannya untuk mengembang. RS3 yang memiliki ketahanan panas yang sangat tinggi dapat diaplikasikan dalam proses ekstrusi dengan suhu die mencapai 160oC tanpa kehilangan sifatnya sebagai serat makanan jika kadar air proses tidak lebih dari 16%. Proses ekstrusi pada kondisi suhu die 160oC yang dilakukan pada pembuatan sereal sarapan berbasis jagung dengan substitusi RS3 sebesar 20% dengan kadar air formula sebesar 16% menunjukkan bahwa RS3 tidak menyebabkan pengaruh negatif pada tekstur dan pengembangan produk dan 100% RS3 dapat bertahan pada kondisi proses tersebut (Haralampu, 2000).
Pada produk pasta, spaghetti yang diperkaya dengan RS3 (10%) memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan dengan produk yang diperkaya dengan sumber serat konvensional (dedak, bran). Waktu pemasakan spaghetti yang ditambah RS3 sedikit lebih pendek dari kontrol sementara yang ditambahkan serat konvensional waktu pemasakannya sedikit lebih lama dari kontrol. Selama pemasakan, spaghetti yang ditambahkan RS3 mengabsorpsi air lebih besar dibandingkan kontrol ataupun yang ditambahkan serat konvensional. Sementara itu, susut selama pemasakan (jumlah bahan kering yang hilang ke dalam air pemasakan) tertinggi ditunjukkan oleh spaghetti yang ditambahkan serat konvensional, diduga karena lemahnya struktur matriks yang dibentuk protein karena adanya serat. Parameter tekstur penting dari spaghetti yaitu kekerasan dan sifat adehesif atau kelengketan dari spaghetti yang ditambahkan RS3 walaupun lebih tinggi tetapi tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol.
Substitusi terigu dengan RS3 sampai 20% pada adonan (battered) meningkatkan kadar serat produk goreng tepung (battered fried products) dari 5% (kontrol) menjadi 13.2%. Selain itu, substitusi juga menghasilkan crust dengan kadar air yang lebih tinggi dan kadar lemak yang lebih rendah daripada kontrol. Walaupun produk substitusi ini memiliki tekstur yang secara objektif lebih keras dibandingkan kontrol dan warna kuning keemasannya lebih baik dari kontrol, tetapi secara sensorik dapat diterima oleh konsumen (Sanz et al. 2008).
Referensi
Baixauli, R., T. Sanz, A. Salvador dan S.M. Fiszman. 2008. Muffins with resistant starch: Baking performance in relation to the rheological properties of the batter. Journal of Cereal Science 47:502–509
Champ, M. 2004. Resistant starch. Didalam: Eliasson, A-C (Ed). Starch In Food: Structure, Function and Applications (1st ed). Woodhead Publishing Limited. Cambridge.
Fuentes-Zaragoza, E., M.J. Riquelme-Navarrete, E. Sanchez-Zapata dan J.A. Perez-Alvarez. 2010. Resistant starch as functional ingredients: a review. Food Research International. Article in press
Haralampu, S.G. 2000. Resistant starch – a review of the physical properties and biological impact of RS3. Carbohydrate Polymers 41:285-292
Sajilata, M.G., R.S. Singhal, dan P.R. Kulkarni. 2006. Resistant starch – a review. Comprehensive reviews in food science and food safety. Vol. 5, 2006. Institute of Food Technologists.
Sanz, T., A. Salvador dan S.M. Fiszman. 2008. Evaluation of four types of resistant starch in muffin baking performance and relationship with batter rheology. European Food Research and Technology. 227(3):813-819