Republika, Selasa, 22 Juli 2008
BOGOR - Sekitar 80 persen produk makanan Indonesia yang ditolak di pasar internasional dikarenakan faktor kebersihan, kata Kepala Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (Seafast) Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Purwiyatno Hariyadi.
"Sebanyak 80 persen yang ditolak karena jorok, baik untuk produk semi olahan maupun produk olahan," kata Purwiyatno usai open house Seafast IPB di Bogor, Selasa.
Jenis produk yang ditolak beragam mulai dari udang beku hingga sambal dalam botol. Oleh karena itulah, kata dia, perlu diterapkan good manufacturing practises atau proses produksi yang baik agar tidak terjadi penolakan.
Seringkali karyawan pabrik menyepelekan perlunya mengenakan sarung tangan, penutup mulut dan hidung atau penutup kepala saat proses produksi. "Akibatnya, ada produk-produk makanan yang ditolak karena ada rambut atau kuku di dalamnya," kata dia.
Faktor kurangnya kebersihan dalam proses produksi juga menyebabkan makanan cepat rusak serta keracunan bagi manusia. "Sebanyak 80 persen kasus akibat makanan disebabkan oleh penularan dari manusia," kata dia.
Ia mencontohkan, buruh pabrik pengolah makanan seringkali memaksakan diri untuk tetap bekerja meski sedang sakit, sehingga tanpa disadari ia juga menularkan penyakit melalui produk makanan tersebut. "Belum lagi kalau tangannya yang kotor ikut pegang makanan," kata dia.
Mengutip data Departemen Kesehatan, Purwiyatno mengatakan, rata-rata angka keracunan makanan di Indonesia mencapai 15.200 orang per tahun. Angka tersebut bisa lebih tinggi lagi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. "Dari satu kasus keracunan yang dilaporkan, angka riil (kasus keracunan) bisa mencapai 100 kasus karena yang 99 tidak dilaporkan. Ini seperti fenomena gunung es," jelas dia. ant/is
BOGOR - Sekitar 80 persen produk makanan Indonesia yang ditolak di pasar internasional dikarenakan faktor kebersihan, kata Kepala Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pertanian dan Pangan Asia Tenggara (Seafast) Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Purwiyatno Hariyadi.
"Sebanyak 80 persen yang ditolak karena jorok, baik untuk produk semi olahan maupun produk olahan," kata Purwiyatno usai open house Seafast IPB di Bogor, Selasa.
Jenis produk yang ditolak beragam mulai dari udang beku hingga sambal dalam botol. Oleh karena itulah, kata dia, perlu diterapkan good manufacturing practises atau proses produksi yang baik agar tidak terjadi penolakan.
Seringkali karyawan pabrik menyepelekan perlunya mengenakan sarung tangan, penutup mulut dan hidung atau penutup kepala saat proses produksi. "Akibatnya, ada produk-produk makanan yang ditolak karena ada rambut atau kuku di dalamnya," kata dia.
Faktor kurangnya kebersihan dalam proses produksi juga menyebabkan makanan cepat rusak serta keracunan bagi manusia. "Sebanyak 80 persen kasus akibat makanan disebabkan oleh penularan dari manusia," kata dia.
Ia mencontohkan, buruh pabrik pengolah makanan seringkali memaksakan diri untuk tetap bekerja meski sedang sakit, sehingga tanpa disadari ia juga menularkan penyakit melalui produk makanan tersebut. "Belum lagi kalau tangannya yang kotor ikut pegang makanan," kata dia.
Mengutip data Departemen Kesehatan, Purwiyatno mengatakan, rata-rata angka keracunan makanan di Indonesia mencapai 15.200 orang per tahun. Angka tersebut bisa lebih tinggi lagi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. "Dari satu kasus keracunan yang dilaporkan, angka riil (kasus keracunan) bisa mencapai 100 kasus karena yang 99 tidak dilaporkan. Ini seperti fenomena gunung es," jelas dia. ant/is