Total Pageviews

Thursday, December 24, 2009

Mengapa babi diharamkan?

Tulisan ini merupakan cuplikan dari artikel - wawancara di web LPPM IPB: Pertanyaan untuk Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor M.Rur.Sc., Ahli Genetika IPB.

Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan

Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor M.Rur.Sc., ahli genetika Institut Pertanian Bogor (IPB) telah menerbitkan buku terbarunya yang berjudul Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat (Ilmu Genetika dalam Al-Quran). Apa yang dibahas dalam buku tersebut dan apa latar belakang pemilik sapaan Ronny itu membuat buku tersebut? Berikut petikan wawancaranya kepada Hutami Pudya dari Jurnal Bogor.

Bisakah Anda menceritakan sekilas mengenai buku terbaru Anda?

Tahun ini saya bersama dengan Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc telah membuat buku yang berjudul Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat (Ilmu Genetika dalam Al-Quran). Buku ini membahas rahasia dan hikmah ilmu pewarisan sifat atau genetika yang berkaitan dengan berbagai teori yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Teori-teori tersebut selanjutnya dicarikan akar keilmuwannya di dalam Al-Quran.

Apa latarbelakang Anda membuat buku tersebut?

Kemajuan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS) saat ini seakan-akan telah menyihir umat manusia, termasuk umat Islam. Penemuan-penemuan seperti teknik rekayasa genetika dan teknologi reproduksi seperti bayi tabung serta clonning dianggap sebagai penemuan yang spektakuler. Kalau diperhatikan lebih dalam lagi, ternyata penemuan ini tak semulus seperti apa yang kita bayangkan. Kedua penemuan tersebut menunjukkan bahwa kemajuan IPTEKS yang telah dicapai oleh para ilmuwan saat ini, walaupun spektakuler, tetap tidak dapat dibandingkan dengan ilmu Allah SWT yang Maha Tinggi. Para ilmuwan harus sadar bahwa walaupun kemajuan IPTEKS sudah sangat cepati, tapi Allah SWT lah yang mengatur dan menundukkan semuanya. Saya ingin mengajak umat Islam memanfaatkan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan, disamping sebagai ilmu agama.

Apa yang mendorong Anda membuat buku itu untuk mengajak umat Islam memanfaatkan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan?

Tak sedikit umat Islam yang “menelantarkan” Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Berbagai teori yang kita kenal dalam ilmu pengetahuan yang kita pelajari seperti misalnya teori Mendel, sebenarnya tercantum di dalam Al-Quran. Meski ilmu, pengetahuan, dan teknologi sudah berkembang demikian pesat, namun masih banyak yang belum diketahui oleh umat manusia. Jadi, saya ingin mengajak umat Islam memanfaatkan Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan agar mereka lebih menambah keimanan kita kepada Allah ketika menggali ilmu pengetahuan. Karena semuanya terjadi atas izin Allah.

Dapatkah Anda menceritakan salah satu bagian menarik dari buku tersebut?

Ada salah satu bab yang cukup menarik, yakni diharamkannya umat Islam memakan babi. Dulu banyak yang mengatakan babi haram untuk dimakan lantaran hewan tersebut kotor atau jorok. Selain itu ada yang mengatakan pula babi rawan sekali mengandung cacing pita. Kecanggihan teknologi yang ada pada saat ini rasanya kedua alasan itu terbantahkan. Pasalnya di Jerman saja, peternakan babi sudah modern dan bersih. Kebetulan saya pernah melakukan penelitian ke peternakan babi tersebut.

Apa yang Anda dapat?

Sistem pemeliharaan babi di peternakan tersebut sudah sangat modern dan sangat bersih, sehingga tidak tercium bau yang biasanya kita jumpai di peternakan babi pada umumnya. Babi dikandangkan secara berkelompok dengan tingkat kepadatan kandang yang memadai, sehingga babi tampak dalam keadaan nyaman sekali. Lantai tempat babi berdiri dan berbaring terbuat dari karpet sejenis bahan karet yang agak keras dan dilengkapi dengan pemanas untuk kenyamanan babi pada saat musim dingin. Sistem pemberian pakan dan kebersihannya dilakukan secara otomatis. Pakan babi disusun sedemikian rupa kandungan nutrisinya, sehingga tidak menimbulkan bau pada kotorannya, termasuk di dalamnya memberikan ensim pitase yang dapat mengurangi bau pada feces. Sistem pembuangan limbah dilakukan secara terpadu dengan cara mengumpulkannya pada suatu tempat untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan mikroba. Setelah melalui proses ini, keluarnya produk kering dari kotoran yang siap dipasarkan menjadi pupuk yang sama sekali tidak mengeluarkan bau. Babi-babi tersebut pun dijaga kesehatannya, sehingga bisa dipastikan aman untuk dikonsumsi.

Lantas, bagaimana dengan pernyataan bahwa babi haram dikonsumsi lantaran babi mengandung lemak yang sangat tinggi sehingga berbahaya bagi orang yang mengonsumsinya?

Hal tersebut juga dipatahkan lantaran dalam peternakan modern, komposisi ransum babi dapat diatur sedemikian rupa sehingga lemak yang dihasilkan jauh berkurang. Di samping itu, dengan menggunakan teori seleksi modern, telah dihasilkan galur babi yang kandungan lemak dagingnya sudah jauh sangat berkurang.

Lalu apa yang membuatnya haram?

Dalam bidang transplantasi organ dari binatang atau ternak ke manusia, babi merupakan pilihan utama untuk dimodifikasi gennya agar organ yang dihasilkan seperti misalnya jantung dan ginjal dapat dicangkokkan pada manusia. Teknologi rekayasa genetik dengan cara mentransfer gen manusia ke babi dilakukan agar babi yang dihasilkan memiliki organ tubuh yang tidak ditolak oleh tubuh manusia. Penggunaan babi ini berhubungan dengan tingkat kesamaan yang tinggi baik ditinjau dari segi fisiologis maupun genetisnya. Dalam penelitian genetika molekuler ternyata ada untaian DNA yang disebut dengan Short Intersperse Nucleotide Elements (SINE) dan Long Interperse Nucleotide Elements (LINE), yang memiliki tingkat kesamaan yang sangat tinggi dengan manusia. Jadi, kemungkinan karena kesamaan yang sangat tinggi inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa babi diharamkan, sehingga dinilai sama seperti sifat kanibal, sifat yang nantinya dikhawatirkan akan mengakibatkan kelainan terhadap generasi berikutnya apabila mengonsumsi babi.


Tuesday, December 22, 2009

Gula Jawa (Gula Aren) Tidak Mengandung Formalin

Pernahkan anda menerima email yang menjelaskan bahwa semua pengrajin gula aren menggunakan formalin dalam membuat gula aren? Benarkah demikian? Penjelasan dari Prof. Dr. Mary Astuti berikut semoga bisa menenangkan anda...

Nampaknya demam formalin sudah melanda seluruh lapisan masyarakat, baik dengan info yang benar dan akurat maupun info yang kelabu dan info yang merah membara. Saya beserta tim UGM sudah lama membina perajin gula kelapa baik didaerah Kulon Progo maupun diwilayah Purworedjo kami bahkan membuat satu rumah processing sebagai percontohan bagi perajin. Perajin gula kelapa adalah masyarakat yang cukup miskin dan tidak ada pilihan lain untuk bekerja selain sebagai perajin untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Kalau ada pilihan lain mereka akan memilih pekerjaan lain yang lebih baik dan tidak berisiko tinggi. Mengapa? memanjat pohon kelapa yang tingginya diatas 10 m tentu berisiko apalagi tanpa alat pengaman. Saat ini pemanjat sudah semakin langka karena pemanjat yg sudah berumur tidak kuat lagi manjat sedangkan yang muda segan dan kurang bergairah untuk pekerjaan seperti itu.

Membuat gula kelapa atau aren tidak semudah mengkonsumsinya baik dalam bentuk yang sudah dicampurkan pada es dawet, pada kolak, pada sambel pecel, pada kecap dll. Pertama-tama perajin harus memanjat pohon kelapa dengan membawa alat penoreh (pisau) dan bumbung atau plastik untuk menampung nira kelapa. Cara menyanyat tandan bungakelapa yang berumur satu bulan atau baru mekar. Tidak mudah lho menyadap tandan karena perlu ketrampilan. Pertama bersihkan tandan bunga, tandan dipukul-pukul pelan dan ditekuk kesamping sehingga tandan yang tadinya tegak menjadi menunduk, kemudian iris pucuk tandan sekitar 5 cm kearah bawah dengan ketebalan sekitar 0,4 cm.. Pengirisan dilakukan pada pagi atau sore hari. Cairan yang menetes yg disebut nira ditampung dalam wadah bumbung bambu atau ember plastik ataupun jerigen plastik. Pekerjaan ini memerlukan keahlian karena para penyadap nira selain harus tahu bagaimana mempersiapkan tandan, bagaimana mengiris , bagaimana mereka harus manjat dengan membawa arit, bumbung, cairan pengawet atau pengatur pH dan bagaimana mereka harus menggelantung di pohon. bisa dibayangkan enggak ya?

Nira adalah cairan yang berasa manis karena mengandung gula sakarosa 10-15% mengandung gula reduksi (glukosa) 1,0-2,0%. Cairan yang mengandung gula ini pada saat keluar dari tandan mempunyai pH netral sekitar 7, baunya enak dan rasanya manis. Dalam kondisi seperti itu dg jumlah airnya sekitar 80-85%, yang dibiarkan terbuka dipohon (perlu waktu 8-12jam untuk mendapatkan 0,5-1 L nira per tandan) akan digemari mikroorganisme jenis yeast yang akan mengubah gula sukrosa dalam nira menjadi alkohol kemudian menjadi asam sehingga nira berasa asam dan tidak bisa dikristalkan membentuk gula yang padat apabila dimasak. Para perajin akan menambahkan air kapur sekitar 1-2sendok makan kedalam bumbung atau jerigen penampung nira. Gunanya air kapur untuk menaikkan pH nira sehingga nira tidak disukai yeast, sehingga nira tidak berubah menjadi masam dan pada saat dimasak masih bisa menjadi gula yang keras. Ada juga perajin yang menambahkan sayatan pohon manggis dengan tujuan yang sama yaitu mencegah aktivitas yeast. Ada pula perajin yang menggunakan sodium bisulfit yang berupa bubuk (mereka menyebut obat gula). Gunanya sodium bisulfit selain untuk mengawetkan juga untuk mempertahankan warna gula jawa menjadi kuning kecoklatan karena mempunyai sifat sebagai anti pencoklatan.

Kami tim UGM selain melakukan pembinaan di dua daerah tersebut juga melakukan survei untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan gula yang dilakukan di berbagai daerah mulai Banyuwangi, Blitar, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Bantul, Kulon Progo, Purworedjo, Kebumen, Banjarnegara, Cilacap, Pangandaran, Sukabumi, Banten dan Lampung. Survei tersebut juga untuk mengetahui zat apa yang digunakan para perajin serta permasalahan yang dihadapi perajin dalam melakukan proses pembuatan gula dan bagaimana kualitas gula kelapa mereka apa sudah memenuhi persyaratan SNI. Pemakaian sodium bisulfit memang dijinkan dengan residunya maksimum 300 ppm. Sodium bisulfit pada gula kelapa saat digunakan dalam masakan yang dipanaskan pada suhu tinggi akan hilang. Seperti yang digunakan pada kecap, akan hilang. Dari pengalaman kami tersebut tidak ada satupun perajin yang menggunakan formalin seperti yang anda informasikan. Kasihan sekali perajin kalau harus membawa formalin naik keatas pohon dengan risiko tumpah akan mengiritasi mata mereka, kulit teriritasi dan bila terhirup mengakibatkan sesak nafas, tenggorokan terasa terbakar.

Mungkin perlu kami sampaikan pula mengapa nira yang cair bisa menjadi gula yang padat . Proses pembuatan gula kelapa melalui tahapan penyaringan nira agar kotoran yang terikut termasuk semut tidak ikut diproses. Kalau semutnya ikut diproses bisa mengandung asam format (turunan formalin) karena secara alami semut mengeluarkan asam format.

Setelah disaring kemudian dimasak dalam wajan (besi atau tanah) atau dalam panci aluminium. Pemasakan nira harus dilakukan segera setelah nira disaring, kalau masih menunggu nira yang lain sebaiknya nira yang datang dulu didihkansaja kemudian akan dimasak bersama-sama. Pemasakan ini akan mengakibatkan air dalam nira menguap dan terjadi perubahan pada sukrosa yang disebut karamelisasi (warnanya coklat dan baunya khas karamel), dilakukan pengadukan agar terbentuk kristal gula (kadang-kadang perajin menambahkan sedikit parutan kelapa untuk memancing terbentuknya inti kristal). Kristalisasi dihentikan dengan cara menurunkan masakan dari api apabila diambil sedkit masakan diantara ibu jari dan telunjuk tidak putus pada rentang tertentu. Pengadukan tetap dilakukan dan segera masakan dicetak dalam cetakan yang sudah disiapkan. Maka akan diperoleh gula kelapa yang padat. Apabila jumlah gula reduksinya dalam nira banyak maka gulanya tidak bisa keras tetapi agak lembek. Gula kelapa ini bisa disimpan dalam suhu ruang dengan kelembaban 80 % sampai dua bulan masih bagus. Gula kelapa mudah menyerap air sehingga apabila disimpan pada ruangan yang lembab maka gula mudah melelh atau menjadi lembek. Gula kelapa yang tahan lama bila disimpan berbeda dengan tahu yang hanya tahan satu hari maka perajin tahu menambahkan formalin agar tahu lebih tahan lama. UGM juga punya binaan industri tahu tanpa formalin tapi daya simpannya hanya dua hari di almari pendingin.

OK itu sedikit info dari kami kalau masih belum jelas bisa langsung hubungi kami di UGM. Saya sangat kasihan apabila nanti para perajin yang sudah miskin tambah miskin karena rumor yang tidak pas. Mereka akan kehilangan pekerjaan yang jadi tumpuan hidupnya. Gula Jawa atau Gula aren sudah diproduksi di Indonesia sejak abad ke 7 atau sebelumnya dan cukup menghidupi banyak keluarga meskipun katagori mereka miskin dan hanya pengepulnya yang lumayan hidupnya.

(diambil dari tanggapan Prof Mary mengenai Isu formalin didalam gula aren)

Monday, December 21, 2009

Makanan Khas Daerah

Oleh: Elvira Syamsir

sumber: Elvira-Kompasiana

Coba anda sebutkan nama-nama makanan khas daerah di Indonesia. Pasti anda tidak lupa menyebutkan gudeg yang merupakan masakan khas Yogya, atau rendang yang merupakan masakan khas orang Minang. Gudeg dan rendang hanyalah dua dari banyak masakan khas daerah kita. Ya, Indonesia dengan beragam daerah dan suku bangsa sangat kaya dengan makanan dan minuman khas daerah yang membangkitkan selera. Selain dari kelompok masakan yang merupakan lauk dan biasa dimakan dengan nasi, makanan khas daerah juga ada yang masuk dalam kelompok makanan berat, makanan ringan (camilan, snack) dan minuman. Untuk kelompok makanan berat, kita kenal ada ketoprak, gado-gado, siomay, batagor, mie-bakso, soto, pempek, tinutuan dan masih banyak yang lainnya. Begitupun untuk makanan ringan. Colenak, kelepon, tahu brontak, bika ambon, suwar-suwir, getuk, wajik, lempok, kue karawang hanyalah sedikit dari jenis jajanan tradisional yang bisa saya sebutkan. Untuk minuman-pun, seperti halnya makanan, kita punya banyak jenis. Sebut saja beberapa diantaranya: es teler, bandrek, bajigur, es palubutung, dawet ayu, minuman beras kencur dan bir pletok. Dari banyak nama makanan dan minuman yang saya tadi, mungkin beberapa diantaranya ada yang anda kenal, dan saya yakin, lebih banyak nama jenis makanan khas daerah yang terdengar asing di telinga kita.

Kapan kita mencari makanan khas daerah? Biasanya kalau kita datang berkunjung ke daerah penghasil, atau kalau kita pulang kampung. Kita mencari makanan tersebut sebagai oleh-oleh atau sekedar sebagai penghubung dengan sejarah masa lalu. Bagaimana kalau kita ingin mencari makanan tersebut di luar daerah penghasilnya? Kecuali untuk yang benar-benar populer, barangkali kita jarang atau tidak bakal pernah menjumpainya! Mengapa demikian? Apa yang salah? Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkannya, dan akan saya coba menguraikannya disini.

1. Masalah persepsi dan pencitraan

Sampai saat ini, masih banyak masyarakat kita yang terjebak dengan pendapat bahwa apa yang berasal dari luar masih lebih baik dari yang berasal dari dalam negeri. Hal ini juga berlaku untuk makanan; pizza lebih baik daripada lontong sayur. Padahal, pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Banyak juga makanan asing yang masuk dalam kategori junk food, makanan sampah yang komposisi gizinya tidak seimbang.

2. Masalah penampilan makanan khas lokal yang ‘payah’

Dari mata turun ke hati. Peribahasa ini barangkali juga cocok kita tujukan pada konsumen yang akan membeli makanan. Makanan khas kita, sering kali tampil dalam bentuk yang tidak cantik. Ukuran yang tidak seragam; atau kadang potongannya yang tidak praktis: dikonsumsi sekali makan tidak habis, disimpan jumlahnya ‘nanggung’; atau masalah kemasannya yang terkesan murah dan apa adanya…. Dengan kondisi begini, bagaimana makanan khas daerah akan bersaing? Walaupun isinya luar biasa enak, tapi jika pada pandangan pertama memberi kesan tidak menarik, jangan berharap bahwa orang awam akan membeli produk ini.

3. Masalah kebersihan dan sanitasi.

Nah ini juga tidak kalah pentingnya. Produsen atau penjual makanan lokal khas daerah masih banyak yang mengabaikan faktor kebersihan dan sanitasinya. Sangat kontras dengan tempat-tempat yang menjual makanan luar. Bedanya seperti langit dan bumi. Dengan kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk, maka calon pembeli (terutama dari golongan berada) akan menjadi tidak berminat membeli makanan ini karena khawatir dengan faktor keamanannya

4. Masalah skala produksi

Nah, yang ini masalah lain lagi. Biasanya, kondisi usaha sudah cukup baik, populer, tetapi tetap tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Kenapa demikian? Selain faktor modal, hal ini juga terkait dengan masalah kemampuan produksi yang belum memadai. Teknik produksi makanan khas daerah sampai saat ini kebanyakan belum menerapkan prosedur operasional yang baku (sehingga mutu produk kadang tidak seragam) dan masih menerapkan sistim produksi yang diajarkan oleh generasi sebelumnyan dengan sedikit perbaikan proses. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa diharapkan untuk secara signifikan memperbesar skala produksi.

Mungkin masih ada kendala lain yang menyebabkan makanan tradisional khas daerah kita tidak populer di negeri sendiri (apalagi di negeri orang), tetapi menurut saya, empat masalah diatas mutlak dibenahi. Citra makanan khas daerah perlu diangkat dengan promosi yang dilakukan secara terus-menerus. Anda tentu masih ingat, mie instan diterima dan membudaya di masyarakat karena promosi yang terus-menerus selama bertahun-tahun lamanya. Acara-acara wisata kuliner yang marak di media massa sekarang ini, adalah salah satu contoh promosi makanan khas daerah yang sangat baik. Tetapi, promosi saja tidaklah cukup. Makanan lokal juga harus tampil cantik, seksi dan bersih. Pelaku usaha perlu diajarkan cara untuk membuat produk yang tidak saja enak, tapi penampilan dan kebersihannya juga mampu memikat orang sehingga mau mencoba mencicipinya. Lalu, pemerintah hendaknya juga mulai mengembangkan perbaikan dan modernisasi teknologi pengolahan produk khas daerah, sehingga diperoleh produk dengan kualitas produk yang baik dan kuantitas produksi yang tinggi.

Jika kita bisa melakukan hal diatas, barangkali bisalah kita bermimpi melihat produk-produk lokal kita seperti empek-empek palembang, sate, ikan pindang atau produk tradisional lainnya dicari oleh tidak saja masyarakat dari daerah lain, tetapi juga oleh orang asing. Jika tidak…? Bersiap-siaplah jika beberapa tahun kedepan anak cucu kita tidak lagi kenal dengan makanan nenek moyangnya…

Ada Staphylococcus aureus di tangan anda...

Tahukah anda, tangan bisa mengandung Staphylococcus aureus sebanyak 100-10000 unit koloni per-100 cm persegi? Jika tangan memegang makanan siap santap, maka S. aureus yang ada di tangan akan berpindah ke makanan. Lalu, ketika makanan disimpan selama beberapa jam di suhu ruang (di Rumah Makan barangkali bisa sampai lebih dari 11 jam), maka akan sangat banyak waktu bagi S. aureus tersebut untuk tumbuh dan memproduksi enterotoksin, yang menyebabkan keracunan pada orang yang mengkonsumsinya. Makanya, ayo dong, cuci tangan sebelum memegang makanan... (Elvira Syamsir)

Mono Sodium Glutamat (MSG)

Oleh: Elvira Syamsir

FDA menggolongkan MSG (Mono Sodium Glutamat atau vetsin) sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe, umumnya diakui sbg aman). Nilai ADI (Acceptable Daily Intake, asupan harian yang diperbolehkan sepanjang hidup tanpa menyebabkan efek buruk pada kesehatan) tidak ditentukan, yang artinya MSG bebas digunakan dalam jumlah yang wajar. Batas wajar pemakaian MSG pada konsentrasi sekitar 0.2-0.8%.

Walaupun demikian, sekitar 1.8% populasi sensitif terhadap MSG. Pada orang yang sensitif terhadap MSG, knsumsi MSG biasanya akan mengakibatkan terjadinya MSG Symptom Complex (terutama jika mengkonsumsi MSG dalam dosis besar dan penderita asma parah) yang ditandai dengan rasa sakit kepala; kebas; sensasi terbakar; wajah kesemutan dan terasa seperti tertarik; nyeri dada; mual; terjadinya percepatan detak jantung; merasa lemas dan mengantuk; dan kesulitan bernapas pada penderita asma. Masalah ini timbul 30 menit sampai beberapa jam setelah makan dan biasanya akan hilang dengan sendirinya. Karena masalah ini, maka dianjurkan agar orang-orang yang sensitif sebaiknya tidak menambahkan MSG kedalam makanannya.

Dangke

Tahukah anda? Indonesia juga memiliki keju lokal, yaitu dangke, yang dibuat oleh masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan. Keju ini dibuat denan menggunakan susu kerbau sebagai bahan bakunya. Proses penggumpalan susu (pembentukan curd) dilakukan dengan bantuan enzim protease dari daun dan buah pepaya. (Elvira Syamsir)

Saturday, December 19, 2009

Ternyata, Berpikir Juga Butuh Energi!

Oleh: Elvira Syamsir

Tahukah anda, otak membutuhkan 0.1 kkal per-menit, untuk tetap hidup. Jika otak digunakan untuk berpikir keras, maka otak membutuhkan energi sebesar 1.5 kkal per-menit. Tetapi, nilai ini jauh dibawah kalori yang dibutuhkan untuk berjalan (4 kkal/menit) apalagi kalau dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih berat lagi.... Sementara itu, kalori yang dihasilkan dari setiap gram karbohidrat (kecuali serat), protein dan lemak yang kita makan berturut-turut adalah 4 kkal, 4 kkal dan 9 kkal. Itulah sebabnya mengapa jika seseorang banyak makan tetapi kurang gerak dan lebih banyak melakukan aktivitas yang melibatkan pikiran akan menjadi gemuk karena energi yang digunakan tidak sebanding dengan energi yang masuk.

Manfaat Kacang Tanah

Oleh Elvira Syamsir

Tahukah anda, satu ounce (atau setara dengan 28 gram) kacang tanah sangrai memenuhi 10% kebutuhan harian folat dan 20% kebutuhan harian niasin?

Folat adalah vitamin B yang berperan untuk membantu mengurangi kejadian cacat lahir dan mengurangi risiko penyakit jantung. Folat tidak hanya dibutuhkan oleh ibu hamil untuk pertumbuhan janinnya, tetapi juga dibutuhkan oleh semua orang. Folat memiliki efek positif terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit-penyakit kardiovaskular, kanker, mood disorder atau gangguan gairah kejiwaan, serta mengurangi anemia. Sementara niasin dapat memperkecil proses ateroskerosis yang pada akhirnya akan menurunkan kemungkinan serangan jantung (menurunkan produksi kolesterol LDL dan trigliserida, serta meningkatkan kadar kolesterol HDL; juga merangsang pembentukan prostaglandin 12, yaitu hormon yang membantu mencegah penggumpalan agregasi trombosit).

Mengkonsumsi kacang sekitar 28 gr (kira2 segenggaman, atau sama dengan 1 sendok mentega kacang)minimal 4 kali seminggu baik untuk kesehatan jantung. Yang perlu diperhatikan justru adanya senyawa alergen didalam kacang, yang bisa jadi masalah bagi yang alergi kacang.

Monday, December 14, 2009

Kerusakan Ikan Asap

Oleh: Elvira Syamsir

Ikan asap yang bermutu baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Berwarna kuning keemasan atau kuning kecoklatan seperti tembaga, yang mengkilap.
  • Berbau segar, khas ikan asap.
  • Dagingnya keras atau kenyal.
  • Kulitnya kencang
Ikan asap yang mutunya rendah, menunjukkan ciri-ciri berikut ini:
  • Dagingnya lembek
  • Kulit kusam, rusak, berlendir, atau berkapang.
  • Berbau tidak segar (menyimpang).
  • Terdapat kristal garam, darah, noda-noda hitam atau kotoran lainnya.
Kerusakan ikan asap terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroba karena kondisi penyimpanan yang tidak tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan pangan. Jika yang tumbuh adalah mikroba pembusuk, maka akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan produk yang membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Tetapi, penting dipahami bahwa beberapa kondisi penyimpanan yang menyebabkan pertumbuhan mikroba pembusuk juga dapat menyebabkan tumbuhnya mikroba patogen penyebab keracunan pangan. 

Beberapa kerusakan ikan asap adalah sebagai berikut: 

Pembentukan bau asam
Bau asam timbul karena terjadinya pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) pada ikan asap, selama proses pengasapan atau selama penyimpanan. Pertumbuhan BAL relatif lambat dan menghasilkan asam organik yang merusak bau dan flavor produk ikan asap. 

Pembentukan spot-spot berwarna putih atau warna lain di permukaan ikan. 
Penyebab: terjadinya pertumbuhan kapang permukaan yang bersifat halofilik (tahan konsentrasi garam tinggi). 

Pembentukan lendir 
Diproduksi oleh beberapa Micrococcus spp. dan bakteri lainnya yang memproduksi lendir dipermukaan ikan asap. 

Pembentukan gas
Penyebab: pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang memproduksi gas 

Pembentukan flavor tengik 
Terutama pada ikan asap berkadar lemak tinggi. Garam meningkatkan reaksi oksidasi lemak selama penyimpanan dengan waktu yang lama sehingga terbentuk flavor tengik.

Sunday, December 13, 2009

Pro Cancer Antioxidants

Editor's Summary in Nature Journal


There is laboratory evidence from in vitro and animal studies to suggest that antioxidants may suppress the development of cancer, though there is little conclusive evidence as to their effect in clinical conditions. Nevertheless it comes as something of a surprise to find that in certain conditions antioxidants can help promote cancer cell survival and proliferation. Normal epithelial cells die if they become detached from the structurally supportive extracellular matrix, but in breast cancer, cancer-causing genes such as ERBB2 can provide survival signals to detached tumorigenic cells. Schafer et al. show that cell detachment also causes metabolic defects that can be rescued both by ERBB2 and by antioxidants, which appear to act by boosting cellular energy levels via fatty acid oxidation. The findings point to novel mechanisms that could be exploited by cancer cells to enhance their survival in altered matrix environments.

(kiriman link dari Puspo Edi Girinowo)

Antioksidan langsung dari buah dan sayur lebih baik daripada bentuk suplemennya

Oleh: Elvira Syamsir

Jika anda ingin mendapatkan manfaat antioksidan, konsumsilah langsung dari buah dan sayur...

Kandungan antioksidan didalam buah dan sayur menyebabkan peluang kanker akan lebih rendah pada orang yg mengkonsumsi lebih banyak buah dan sayur. Tetapi, ketika komponen antioksidan tersebut diekstrak dan dikonsumsi dalam bentuk suplemen, apakah juga akan menurunkan resiko kanker bagi yang mengkonsumsinya? Saat ini, penelitian mengenai hal tersebut masih terus berlangsung. Dari penelitian secara in vitro dan dengan menggunakan hewan uji (tikus) banyak indikasi bahwa antioksidan mempromosi apoptosis sel kanker. Tetapi, hasil uji klinis tidak menunjukkan hasil yang sama dan sampai saat ini belum bisa membuktikan bahwa konsumsi suplemen antioksidan dapat mengurangi resiko kanker. Beberapa uji in vitro malah menunjukkan bahwa efek samping dari suplementasi antioksidan tertentu justru dapat mempromosikan proliferasi sel kanker (baca juga: Pro Cancer Antioxidants)


Saturday, December 12, 2009

Berapa Ambang Batas Harian Akrilamida?

Oleh: Elvira Syamsir

Akrilamid adalah senyawa karsinogen yang terbentuk didalam pangan pada proses pemasakan di suhu tinggi (>120 drjt C) seperti pada penggorengan, baking & roasting, dengan prekursor utamanya adalah asparagin dan gula pereduksi. (lihat artikel Akrilamid)

Selama ini, belum ada data yang pasti tentang berapa persisnya asupan konsentrasi akrilamid yang beresiko menyebabkan kanker. Baru-baru ini, uji toksikologi yang dilakukan oleh suatu lembaga penelitian di AS menyarankan asupan harian akrilamida yang dapat ditolerir untuk mencegah resiko kanker adalah sebesar 2.6 mikrogram per-kg Berat Badan. Nilai ini lebih tinggi dari perkiraan eksposur harian rata-rata akrilamid yang berasal dari makanan pada orang dewasa (0,3 - 0,5 mikrogram per-kg Berat Badan).

Dengan adanya hasil penelitian ini, setidaknya kita bisa berlega hati karena ambang batas toleransi harian akrilamid ternyata masih lebih tinggi dari eksposur harian rata2 harian akrilamid dari makanan. Artinya, makan produk-produk gorengan, baking dan roasting dalam jumlah normal, tidak beresiko untuk menyebabkan kanker.

Sunday, December 6, 2009

Bahaya Aflatoksin

Oleh:  Elvira Syamsir


Aflatoksin adalah komponen metabolit sekunder kapang. Setelah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kalkun yang berakhir dengan kematian di Inggris pada tahun 1960 karena mengkonsumsi pakan mengandung kacang tanah dan biji kapas yang tercemar aflatoksin, maka toksin ini dikenal sebagai racun yang sangat toksik, karsionogenik, mutagenik dan menekan sistem kekebalan pada manusia dan hewan (Syarief, 2006).

Pada umumnya, aflatoksin dibentuk oleh 2 jenis kapang yaitu Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. A. flavus tersebar luas di alam dan paling umum ditemukan pada biji-bijian yang tumbuh pada kondisi tertekan misalnya pada musim kemarau. Kapang ini bisa ditemukan di tanah, tumbuh-tumbuhan yang mengalami pembusukan dan jerami. Studi yang lebih baru menyebutkan bahwa species kapang yang berkerabat dekat dengan A. flavus juga mampu memproduksi aflatoksin diantaranya A. nominus, A. tamari, A. bombycis dan A. pseudotamarii (Farombi, 2006; Thanaboripat et al, 2007).

Sedikitnya 13 jenis aflatoksin telah diketahui, dan aflatoksin B1 merupakan jenis aflatoksin yang paling berbahaya. Walaupun keberadaan A. flavus tidak selalu berkorelasi dengan level aflatoksin, tetapi keberadaan A. flavus di dalam suatu jenis pangan bisa menjadi indikasi adanya potensi pembentukan aflatoksin.

Dengan mempertimbangkan potensi bahaya aflatoksin terhadap kesehatan manusia, maka di banyak negara telah diberlakukan program regulasi dan pemantauan (monitoring) aflatoksin. Batasan antara 0 sampai 50 ppb saat ini telah digunakan sebagai kandungan aflatoksin yang diijinkan di dalam pangan dan pakan (Patterson, 1983 disitasi oleh Farombi, 2006). Sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat menetapkan 20 ppb sebagai batas maksimal kandungan aflatoksin di dalam pangan, sementara masyarakat ekonomi Eropa (European Economic Community, EEC) pada 1999 menetapkan kandungan aflatoksin total adalah 4.0 ppb dan AFB1 sebesar 2.0 ppb (Mishra dan Chitrangada, 2003 di dalam Farombi, 2006).

Data dari negara berkembang menunjukkan banyak bahan pangan pokok dan produk agriculture terkontaminasi oleh aflatoksin terutama AFB1 dalam jumlah yang cukup signifikan. Kontaminasi disebabkan oleh kondisi lingkungan, proses pengolahan yang buruk dan kurangnya fasilitas penyimpanan. Jagung  dan kacang tanah merupakan komoditas yang paling banyak terkontaminasi oleh aflatoksin.  

Bahaya aflatoksin terdiri dari bahaya akut  dan subkronik letal. Bahaya akut meliputi sirosis hati dan kematian, sedangkan bahaya subkronik letal meliputi kanker, peningkatan toksisitas virus hepatitis B, dan penekanan sistim imun serta berbagai gangguan gizi. Bahaya akut terjadi apabila terpapar aflatoksin dosis tinggi (minimal 1 ppm); bahaya kronik kanker terjadi apabila terpapar aflatoksin dengan dosis berapa pun.  Peningkatan toksisitas pada kondisi virus hepatitis B positif tidak diketahui dosis spesifiknya sementara itu, penghambatan imunitas dan berbagai gangguan gizi pada manusia terjadi apabila tjd paparan aflatoksin berdosis rendah (minimal 0,2 ppm).

Saturday, December 5, 2009

Mengantisipasi Bahaya Mikotoksin


Oleh: Prof. Dr. Endang S. Rahayu (FTP - UGM)


Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur benang (kapang). Sebagai contoh adalah jagung yang terkontaminasi oleh Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan.

Penanganan pasca panen pada bahan pertanian seperti halnya serealia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air >12%), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin. Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin pada bahan pangan. Kedua jamur ini banyak menyerang hasil pertanian kacang-kacangan, biji-bijian, serealia, bahkan bumbu-bumbu yang memiliki kadar air tinggi (di atas 12%). Senyawa bifuran ini bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif.

Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Tahun 2004. Di sana disebutkan bahwa batas maksimum cemaran aflatoksin B1 (AFB1) dan total aflatoksin produk pangan berbasis kacang tanah dan jagung masing masing adalah 20 ppb dan total aflatoksin 35 ppb. Produk susu memiliki batas maksimum aflatoksin M1 (AFM1) 0.5 ppb. Aflatoksin yang mencemari susu berasal dari perubahan aflatoksin B1 pada pakan menjadi aflatoksin M1.

Draft SNI tentang batasan cemaran mikotoksin, meliputi 5 jenis yaitu aflatoksin, deoksinivalenol, fumonisisn, okratoksin A, dan patulin sedang dibuat. Khusus untuk cemaran aflatoksin, batas maksimum yang ditetapkan pada berbagai produk pangan adalah sama seperti halnya pada Keputusan Kepala Badan POM (2004), yaitu pada kacang tanah dan produk olahannya serta jagung dan produk olahannya, adalah 20 ppb untuk AFB1 dan 35 ppb untuk total aflatoksin, dan pada susu dan produk olahannya adalah 0.5 ppb untuk AFM1. Namun demikian pada kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia, yaitu kacang tanah dan jagung banyak tercemar oleh aflatoksin, bahkan cemaran aflatoksin pada kedua komoditi yang beredar di pasar banyak melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (> 20 ppb).

Cemaran pada jagung

Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain jagung, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi jagung. Total sampel jagung yang diuji adalah 139, dari sampel yang ada 84 sampel diambil dari level petani daerah Malang, Tuban, Kediri, Madura, dan Purbalingga dan 55 sampel diambil dari level pengumpul dan pedagang di daerah-daerah tersebut.

Dari hasil mapping diketahui bahwa pada level petani pun sekitar 30% sampel telah tercemar dengan aflatoksin B1 di atas 20 ppb, bahkan 10% sampel telah tercemar aflatoksin di atas 100 ppb, dengan nilai tertinggi 470 ppb. Sedang pada level pengepul dan pedagang jumlah cemaran yang melebihi 20 ppb meningkat menjadi 45% dan yang diatas 100 ppb sekitar 18%. Cemaran di tingkat petani yang sudah tinggi adalah sangat memprihatinkan, karena cemaran ini diperkirakan masih akan meningkat apabila saat disimpan sebelum dipasarkan jagung tidak mendapatkan perlakuan yang tepat. Dari pengamatan di lapangan diperoleh informasi bahwa petani pada umumnya melakukan praktek-praktek produksi jagung yang kurang tepat. Kurang optimalnya masukan pupuk dan tidak adanya pengendalian hama dan penyakit menyebabkan jagung tidak tumbuh dengan optimal dan mudah terserang penyakit, akibatnya jagung juga lebih mudah terinfeksi oleh jamur. Biji jagung hibrida dengan klobot yang tidak menutupi seluruh tongkol jagung merupakan peluang pertama infeksi jamur yang terjadi di lapangan, khususnya apabila biji yang tidak tertutup seluruhnya ini terserang hama. Pengeringan di tingkat petani juga pada umumnya kurang memenuhi persyaratan, mereka hanya menjemur jagung yang masih dalam tongkol ataupun yang sudah dipipil di tempat yang seadanya saja, misalnya dipinggir jalan atau di halaman rumah. Penyimpanan jagung yang dilakukan oleh beberapa pengepul maupun pedagang juga dilakukan dengan amat sederhana, kadang-kadang hanya ditimbun saja di ruang kosong di dalam rumah. Dengan kondisi ini akan terjadi pertumbuhan jamur dan berlanjut pada produksi toksin. Namun demikian, juga diketahui bahwa 55% jagung yang terdapat pada pengepul dan pedagang memiliki level AFB1 <20 ppb. Rendahnya cemaran ini karena proses pengeringan dan penyimpanan yang lebih baik, serta pada umumnya telah dilakukan sortasi. 

Cemaran pada produk berbasis jagung.  

Pada kajian ini juga telah dilakukan analisa aflatoksin B1 terhadap 65 sampel makanan berbasis jagung berupa marning (41 sampel), emping jagung (15 sampel), dan beras jagung (9 sampel). Sampel makanan ini diambil dari sentra produksi jagung (Malang, Tuban, Kediri dan Madura). Dari hasil diketahui bahwa pada umumnya marning dan emping jagung memiliki cemaran aflatoksin yang rendah, walaupun ada pula sampel yang memiliki cemaran  >20 ppb.

Cemaran aflatoksin pada marning dan jagung pada umumnya rendah diperkirakan karena efek perendaman dengan air kapur (saat pengolahan) dapat menurunkan kandungan aflatoksin cukup signifikan dari bahan dasar (Nugroho, 2005). Namun demikian, dengan ditemukannya 7 sampel dengan cemaran >20 ppb, menunjukkan bahwa bahan dasar jagung yang diolah telah memiliki cemaran yang cukup tinggi, hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan pada jagung level petani maupun pedagang yang ternyata ditemukan aflatoksin dengan cemaran sangat tinggi, yaitu >400 ppb. Hal ini juga memberikan kenyataan bahwa tingginya cemaran aflatoksin pada bahan dasar jagung tetap terikut pada produk olahannya.

Pada kajian ini cemaran aflatoksin B1 pada beras jagung yang dibeli di beberapa pasar di Madura juga telah dianalisa. Dari hasil diperoleh bahwa 8 dari 9 sampel yang diuji memiliki cemaran di atas 20 ppb, dengan angka tertinggi sekitar 82 ppb. Hasil ini cukup memprihatinkan karena pada umumnya beras jagung ini dikonsumsi dengan jumlah yang cukup banyak (sebagai nasi) dibandingkan dengan mengkonsumsi marning atau emping jagung (sebagai camilan).

Cemaran pada kacang tanah

Untuk mengetahui level cemaran aflatoksin pada supply chain kacang tanah, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM bekerjasama Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Tengah, telah melakukan mapping aflatoksin di daerah sentra produksi kacang tanah yaitu Pati, Rembang, Klaten, dan Wonogiri. Total sampel kacang tanah yang diuji adalah 91, dari petani sebanyak 58 sampel dan dari penebas dan pedagang 33 sampel. Secara umum, level aflatoksin pada petani adalah rendah, apalagi kacang tanah yang langsung diterima oleh industri pada umumnya masih berkulit dan setelah di panen langsung dibawa ke pabrik. Walaupun demikian di daerah Rembang ditemukan 4 sampel (dari 20 sampel petani) yang memiliki cemaran >20 ppb.

Cemaran pada produk berbasis kacang tanah

Untuk mengetahui cemaran aflatoksin pada produk pangan berbasis kacang, telah dianalisa AFB1 terhadap 35 sampel, yang terdiri dari ampyang, peyek, kacang telor, kacang goreng, enting-enting gepuk dan sambel pecel. Dari data yang diperoleh nampak bahwa pada bumbu pecel ternyata ditemukan cemaran AFB1 yang melebihi 20 ppb bahkan ada yang mencapai 100 ppb.

Peneliti yang lain (Lilieanny et al, 2005) juga telah mempublikasikan bahwa 25 % dari sampel enting-enting gepuk dan bumbu pecel yang dianalisa memiliki cemaran total aflatoksin melebihi dari batas maksimum (35 ppb).

Dari hasil survei supply chain kacang tanah menunjukkan bahwa di daerah sentra produksi kacang, kacang yang kualitasnya jelek dan kadang-kadang merupakan sisa kacang yang tidak diterima di pabrik masih dipasarkan. Istilah yang diberikan pada kacang jenis ini adalah minyikan. Empat sampel kacang minyikan yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bumbu pecel juga telah disampling dari daerah Pati dan telah dianalisa AFB1, yaitu berkisar antara 60 – 85 ppb. Kacang minyikan secara fisik memang tidak menarik untuk diperdagangkan, karena bentuknya yang kecil, keriput, tidak utuh, dan kadang rasanya pahit. Namun untuk pembuatan bumbu pecel, karena dicampur dengan berbagai bumbu termasuk gula jawa, rasa pahit ini tidak terasa lagi. Aflatoksin yang stabil terhadap suhu tinggi, ternyata juga tidak hilang selama pembuatan bumbu pecel, sehingga masih banyak ditemukan bumbu pecel dengan cemaran AFB1 melebihi batas.

Strategi pengendalian cemaran aflatoksin

Melihat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh cemaran aflatoksin, perlu dilakukan langkah strategis mulai dari sejak pra panen hingga pada penyimpanannya, juga langkah dekontaminasi dan detoksifikasi.

Strategi pra-panen. Kontaminasi jamur yang cukup signifikan dapat terjadi pada jagung sejak perkembangannya di lahan. Kekeringan, kurangnya nutrisi, serangan insekta, kontaminasi jamur, dan penundaan panen merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur dan terbentuknya aflatoksin di lahan. Beberapa faktor tersebut sangat tergantung dari lingkungan dan diperlukan pengendalian dengan baik. Praktek budidaya yang baik akan meminimalkan terjadinya kontaminasi jamur di lahan. Beberapa langkah yang dipandang sebagai langkah efektif antara lain: (i) mengurangi stress tanaman melalui irigasi, pemupukan yang sesuai, dan pengendalian terhadap hama dan penyakit; (ii) menghindari kondisi lingkungan yang dapat mendukung infeksi di lahan; dan (iii) meminimalkan residu dan titik sumber kontaminan lainnya.

Saat panen. Pemanenan dapat mengakibatkan kerusakan fisik pada komoditas. Apabila kerusakan dijaga serendah mungkin pada tahap ini, kontaminasi lanjutan dapat dikurangi cukup signifikan. Sejumlah cara dipandang sebagai langkah efektif: (i) Panen jagung sebaiknya dilakukan sedini mungkin (saat kadar air sekitar 20 – 25%) dilanjutkan dengan pengeringan yang cepat (1-2 hari) agar kadar air jagung segera mencapai 14 % untuk pencegahan perkembangan jamur toksigenik; (ii) dilakukan pemisahan jagung yang rusak; (iii) kadar air dan suhu dijaga pada kisaran yang tepat; (vi) dilakukan pengendalian terhadap aktivitas insekta dan rodensia.

Prosedur pasca panen. Pencegahan melalui manajemen pra-panen merupakan metode paling baik dalam mengendalikan kontaminasi aflatoksin, namun demikian, jika kontaminasi telah terjadi pada tahapan tersebut, potensi bahaya yang berkaitan dengan toksin harus dikendalikan melalui prosedur pasca-panen terutama apabila produk tersebut ditujukan untuk konsumsi manusia dan pakan hewan. Pada tahap pasca-panen, pengeringan, penyimpanan dan pengolahan jagung merupakan tahapan penting agar kontaminasi dapat dicegah. Pengeringan harus dilakukan dengan dengan kondisi yang baik, sinar cukup, tempat yang bersih, terhindar dari debu yang bertebaran (karena dapat meningkatkan penyebaran spora jamur), dan dijauhkan dari segala serangan insekta dan rodensia.

Penyimpanan. Penyimpanan, baik di tingkat petani, pengumpul, pengecer atau pedagang merupakan tahapan pasca-panen paling kritis dalam penanganan jagung. Fasilitas penyimpanan yang kurang, pengemasan yang tidak tepat dan kondisi produk saat disimpan dapat menyebabkan kontaminasi mikotoksin selama penyimpanan. Akumulasi kadar air dan panas, dan kerusakan fisik produk dapat memicu tumbuhnya jamur yang kemudian menghasilkan mikotoksin. Harus dipastikan bahwa jagung yang disimpan tetap kering (kadar air < 12 %) untuk mencegah tumbuhnya jamur. Demikian juga hewan-hewan kecil seperti tikus, serangga jangan sampai terdapat di sekitar area penyimpanan untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada produk. Pengemasan yang baik dapat mencegah serangan hewan-hewan tersebut, dan jika tidak terdapat kemasan yang baik maka praktek hygiene dan penggunaan pestisida juga dapat meminimalkan kontaminasi.

Dekontaminasi /detoksifikasi. Untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku untuk pengolahan produk pangan maka bisa dilakukan dengan cara dekontaminasi, detoksifikasi, atau kombinasi keduanya. Sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya maka hal-hal berikut ini bisa dilakukan untuk mengendalikan cemaran aflatoksin pada jagung :

Dekontaminasi dapat dilakukan dengan : (1) Pengupasan kulit karena komponen kulit bisa menjadi sumber pencemar, (2) Pemisahan biji cacat ukuran atau bentuk, karena biji cacat cenderung tercemar; (3) Sortasi warna atau kenampakan; (4) Pemisahan berdasarkan densitas biji, karena biji yang berdensitas rendah cenderung tercemar; (5) Pemisahan komponen yang dikehendaki (misal: minyak atau pati) untuk pengolahan lanjut.

Detoksifikasi dilakukan dengan : (1) Panas bertekanan tinggi, pemanasan basah lebih efektif dari pada pemanasan kering, dan bisa dikombinasikan dengan lama pemanasan. (2) Air kapur untuk menaikkan pH cairan perendam atau perebus yang diikuti dengan pencucian; (3) Amoniak dalam bentuk gas maupun cairan, namun bentuk gas lebih lazim dan lebih mudah pelaksanaannya dan efektif, (4) Penyinaran dengan sinar ultraviolet maupun sinar tampak, namun hanya efektif untuk bahan yang tembus cahaya, (5) Kultur jamur atoksigenik pada proses fermentasi produk untuk menghambat pertumbuhan jamur aflatoksigenik; (6) Enzim ataupun metabolit dari mikroorganisme lain yang mampu mendetoksifikasi aflatoksin.