Elvira
Syamsir (dimuat dalam Food Review Indonesia, edisi 1 Jan 2013)
Resistant
starch (RS) is not accessible to digestive enzymes and positively influences the
functioning of the digestive tract, microbial flora, the blood cholesterol level
and the glycemic index. Compared with traditional sources of fibre, RS has lower
impact on the sensory properties of food.
Processing may affect in the RS content.
Karbohidrat memiliki
banyak fungsi di dalam suatu produk pangan: anti kempal, pengisi, pengemulsi, pembentuk
gel, humektan, penstabil, pemanis dan pengental. Disamping itu, karbohidrat juga berfungsi
sebagai pengkelat, krioprotektan, drying
aid, fat replacer, flavor carrier,
prekursor flavor dan warna melalui reaksi Maillard serta substrat
fermentasi. Sifat fisiologi karbohidrat
diantaranya sebagai sumber energi dengan beragam fungsi dietetik, dan sebagai
sumber dari substrat fermentasi di dalam kolon.
Pada dekade terakhir,
sejumlah karbohidrat baru telah dikembangkan untuk aplikasi dalam produk pangan,
salah satunya adalah pati resisten (resistant starch). Pati resisten mempunyai keunikan tersendiri
karena walaupun pati, tetapi mereka teranalisis sebagai total dietary fiber
jika dianalisis dengan metode analisis serat metode AOAC.
Meningkatnya
kesadaran konsumen terhadap hubungan antara pangan, gaya hidup dan kesehatan
menjadi salah satu faktor meningkatnya popularitas produk kaya serat. Dan dengan keunikannya, pati resisten menjadi
salah satu ingredien yang mulai banyak digunakan oleh industri pangan untuk mendukung
klaim kadar serat di dalam produk.
Jenis-Jenis Pati Resisten
Secara
fisiologis, pati resisten tidak bisa dihidrolisis menjadi D-glukosa di dalam
usus halus dalam waktu 120 menit setelah dikonsumsi. Kenapa
pati resisten tidak bisa dicerna? Ada empat
alasan sebagai penyebabnya, yaitu:
- Memiliki struktur molekuler yang kompak sehingga secara fisik membatasi akses dari enzim pencernaan. Hal ini ditunjukkan oleh pati biji-bijian dan serealia.
- Struktur molekuler dari granula patinya sendiri yang sedemikian rupa sehingga mencegah pemecahannya oleh enzim pencernaan. Contohnya granula pati kentang mentah, pisang mengkal dan pati jagung tinggi amilosa.
- Granula pati dirusak selama proses gelatinisasi menghasilkan molekul yang sangat mudah diakses oleh enzim pencernaan. Akan tetapi, ketika gel pati ini didinginkan, mereka akan membentuk kristal pati yang resisten terhadap enzim pencernaan. Bentuk dari pati retrogradasi ini dalam jumlah kecil (sekitar 5%) ditemukan pada beberapa produk seperti corn-flakes, atau pada produk kentang yang digunakan dalam potato-salad (telah mengalami proses pemasakan lalu pendinginan).
- Pati tertentu dimodifikasi secara kimiawi dengan teknik eterisasi, esterisasi atau ikatan silang sehingga tidak bisa dipecah oleh enzim pencernaan.
Pati resisten alami seringkali rusak ketika mengalami proses
pengolahan. Pembuatan pati resisten
biasanya melewati tahapan proses hidrolisis parsial dan perlakuan hidrotermal,
pemanasan, retrogradasi, pemasakan ekstrusi, modifikasi kimia dan repolimerisasi. Terdapat empat kelompok klasifikasi pati
resisten yaitu pati resisten tipe 1 (Resistant Starch/RS1) sampai RS4. Perbedaan, resistensi terhadap proses pencernaan
di usus halus dan sumber dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Tipe pati resisten, resistensi terhadap proses
pencernaan dan sumbernya
Jenis pati resisten
|
Deskripsi
|
Kecernaan di usus halus
|
Resistensi direduksi oleh
|
Sumber pangan
|
RS1
|
Secara fisik tidak dicerna karena
terperangkap di dalam matriks yang tidak bisa dicerna
|
Kecepatan lambat, dicerna parsial;
dicerna sempurna jika digiling secara sempurna
|
Penggilingan, pengunyahan
|
Biji dan sereal utuh atau yang
digiling parsial, pasta
|
RS2
|
Granula yang resisten dalam bentuk
tidak digelatinisasi, memiliki kristalinitas tipe B, terhidrolisis secara
lambat oleh ɑ-amilase
|
Kecepatan sangat lambat, dicerna dalam
jumlah yang sangat sedikit, dicerna sempurna jika pati dimasak
|
Pemasakan dan pengolahan pangan
|
Kentang mentah, pisang mengkal,
beberapa kacang-kacangan, pati amilosa tinggi
|
RS3
|
Pati retrogradasi, terbentuk ketika
pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan
|
Kecepatan lambat, dicerna parsial,
ketercernaan meningkat jika dipanaskan ulang
|
Kondisi proses pengolahan
|
Kentang yang dimasak dan didinginkan,
roti, flake jagung, produk pangan dengan moist heat treatment yang panjang
dan/atau berulang
|
RS4
|
Pati resisten hasil modifikasi kimia
|
Tahan terhadap hidrolisis
|
Kurang rentan terhadap kecernaan in vitro
|
Dalam minuman atau makanan yang telah
ditambahkan pati resisten tipe 4
|
Efek Fisiologis Pati Resisten
Secara
analitik, pati resisten bersifat sebagai serat tak larut. Tetapi, secara fisiologis pati resisten
memiliki sifat-sifat fisiologis serat larut.
Beberapa efek fisiologis potensial dari pati resisten adalah menjaga
kesehatan usus besar; sebagai prebiotik yang membantu menjaga kesehatan kolon; mengontrol
gilkemik dan respon insulin; memberi rasa kenyang dan menurunkan intake energi;
serta memperbaiki profil lipid darah.
Seperti serat larut, pati
resisten merupakan substrat untuk mikroflora kolon. Pati resisten bersifat prebiotik yang secara selektif akan meningkatkan
populasi bakteri kolonik yang menguntungkan yaitu bifidobacteria dan
lactobacilli. Bifidobacteria dan
lactobacilli adalah bakteri kolonik yang paling menguntungkan pada manusia
sebagai inangnya. Peningkatan jumlah bifidobacteria dan lactobacilli di
dalam saluran cerna bisa menekan kanker kolorektal dengan cara meningkatkan
kecepatan produksi SCFA (terutama asetat, propionat dan butirat), menurunkan pH
lingkungan usus, bersifat proapotopsis dan menekan pertumbuhan patogen dengan
meningkatkan kemampuan kompetisinya terhadap ketersediaan nutrisi, reseptor dan
faktor pertumbuhan lainnya.
Pati resisten meningkatkan kesehatan usus dengan efek laksatif (pencahar) yang lebih
rendah daripada serat pangan. Di dalam
kolon, fermentasi pati resisten meningkatkan kekambaan fekal (fecal bulk) dan menurunkan pH kolon.
Pati resisten juga meningkatkan kesehatan kolon dengan meningkatkan kecepatan
produksi sel crypt, atau juga menurunkan
atropi epitelial kolon dibandingkan makanan yang tidak berserat. Juga ditemukan indikasi bahwa pati resisten
dapat mempengaruhi tumorigenesis.
SCFA
hasil fermentasi mikroflora kolon memiliki proporsi asam butirat yang
tinggi. Produksi butirat dari fermentasi
pati resisten dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan serat gandum dan
empat kali lebih tinggi dari pektin. Butirat digunakan sebagai energi oleh colonocyte dan growth factor bagi sel epithel yang sehat di dalam usus besar.
Butirat telah dilaporkan bersifat
anti-karsinogenik. Tiga mekanisme yang
diyakini terlibat dalam proteksi terhadap perkembangan dan pertumbuhan sel-sel
kanker adalah inisiasi, diferensiasi dan apoptosis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa butirat melindungi sel-sel kolon dari kerusakan DNA dengan
cara menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel-sel tumor, meningkatkan
diferensiasi (normalisasi) sel-sel tumor/kanker, memproduksi fenotip yang
serupa dengan sel normal dewasa, dan meningkatkan apoptosis (program kematian
sel) sel-sel kanker kolorektal pada manusia.
Fermentasi
pati resisten dilaporkan akan menekan proses fermentasi protein dan komponen
bernitrogen lainnya sehingga menekan peningkatan jumlah amonia yang bersifat
karsinogenesis terhadap epitelium kolonik (Govers et al, 1999). Selain itu,
fermentasi pati resisten juga menurunkan produksi asam empedu sekunder. Asam empedu diketahui dapat
meningkatkan resiko kanker kolorektal.
Menurut Bingham (1990), konversi asam empedu primer menjadi asam empedu
sekunder merupakan penyebab awal munculnya kanker usus besar. Penurunan
pH karena produksi SCFA menyebabkan inaktivasi enzim 7α-dehidroksilase sehingga
konversi asam empedu primer menjadi asam empedu sekunder terhambat. Selain itu, penurunan konsentrasi asam empedu
sekunder diduga juga disebabkan oleh faktor pengenceran karena
peningkatan volume tinja.
Pati
resisten juga memiliki kemampuan untuk mengurangi respon glikemik dan respon
insulin sehingga bisa memberi proteksi terhadap diabetes. Penambahan pati resisten di dalam produk akan
memperlambat proses pencernaan. Berbeda
dengan pati normal yang dicerna segera setelah dikonsumsi, metabolisme pati
resisten berlangsung 5 – 7 jam setelah konsumsi sehingga menurunkan glikemia
postprandial dan respon insulin serta berpotensi untuk memperpanjang periode
‘kenyang’. Karena pati resisten memiliki
indeks glikemik yang rendah, maka penambahannya di dalam produk menggantikan
pati konvensional akan membantu menurunkan nilai indeks glikemiks produk. Agar bisa memberi efek terhadap penurunan
indeks glikemiks dan respon insulin, maka jumlah pati resisten setidaknya 14%
dari total pati yang digunakan di dalam formula. Walaupun demikian, tidak semua pati resisten
menunjukkan respon hipoglikemik. Pati
resisten tipe 4 (acetylated potato starch) dilaporkan tidak menurunkan glukosa
darah.
Penelitian
pada tikus menunjukkan bahwa pati resisten mempengaruhi metabolisme lemak:
menurunkan total lipid, kolesterol total, low density lipoprotein (LDL), high
density lipoprotein (HDL), very low density lipoprotein (VLDL), intermediate
density lipoprotein (IDL), trigliserida dan trigliserida kaya lipoprotein. Pada beberapa penelitian dengan menggunakan
tikus uji, penurunan koleterol dan trigliserida plasma ditunjukkan oleh tikus
yang diberi ransum pati resisten (25% kentang mentah atau juga yang diberi pati
kacang). Penggantian 5.4% dari dietary
carbohydrates dengan pati resisten di dalam menu makanan secara signifikan juga
dilaporkan meningkatkan oksidasi lipid postprandial sehingga dalam jangka panjang
dapat menurunkan akumulasi lemak.
Pengaruh Pengolahan Terhadap Pati Resisten
Aplikasi
pati resisten di dalam suatu produk pangan secara teknis jauh lebih
menguntungkan dibandingkan jika menggunakan serat pangan konvensional seperti
biji-bijian, buah atau dedak. Tidak
seperti serat makanan konvensional, pati resisten dapat meningkatkan kandungan
serat produk dengan hanya sedikit mempengaruhi karakteristik sensori produk,
dan memiliki sifat fungsional seperti kapasitas pembengkakan, viskositas,
pembentukan gel dan kapasitas mengikat air, yang cocok untuk diaplikasikan pada
beberapa produk tertentu.
Pemanfaatan
pati resisten sebagai serat pangan perlu memperhatikan stabilitasnya selama pengolahan
untuk mempertahankan kandungan serat selama proses. Pada pati resisten tipe 1, akses enzim
dihambat oleh matriks pangan yang melindungi pati. oleh karena itu, kadar pati resisten tipe 1
akan lebih tinggi di dalam biji-bijian dan sereal bentuk utuh dibandingkan
dalam bentuk tepungnya. Proses penepungan
akan merusak granula pati dan memperbesar peluang kontak enzim dengan pati. Makin halus ukuran partikel karena
penggilingan akan meningkatkan ketercernaan pati resisten tipe 1.
Toleransi
terhadap proses perlu dipertimbangkan ketika memilih dan menggunakan pati
resisten. Pada pati resisten tipe 2,
sifat resisten disebabkan oleh kristalinitas granula yang tidak mudah dicerna
oleh enzim amilolitik. Akan tetapi, pada
kadar amilosa sekitar 30% karakter pati resistennya dapat hilang karena
pemasakan (Tabel 2).
Beberapa
metode pengolahan seperti proses retorting, baking, dan pengeringan pada suhu
tinggi telah diketahui dapat sedikit meningkatkan kadar pati resisten di dalam
produk. penyimpanan pada suhu dingin
juga diketahui dapat sedikit meningkatkan kadar pati resisten produk. Sementara itu, proses pengolahan yang lain
seperti proses perebusan berpotensi untuk menurunkan kadar pati resisten.
Tabel 2. Amilosa dan kadar
pati resisten dari beberapa jenis pati (Themeier et al., 2005 di dalam
Alsaffar, 2011)
Jenis pati
|
Amilosa (%, bk)
|
Pati resisten (%, bk)
|
Maizena
|
66.5
|
54.4
|
Maizena
|
65.8
|
49.1
|
Maizena
|
30.0
|
0.7
|
Maizena
|
7.6
|
0.5
|
Gandum
|
30.2
|
0.3
|
Gandum
|
33.7
|
0.2
|
Rye
|
31.1
|
0.2
|
*RS = resistant *ditentukan dengan metode
AOAC (2002.02)
Stabilitas
terhadap proses pengolahan menjadi syarat penting jika penambahannya ditujukan
sebagai sumber serat pangan. Pati
resisten tipe 3 dan tipe 4 yang dikembangkan sebagai pati resisten komersial secara
umum, akan mempertahankan kandungan serat pangannya selama proses baking
dan/atau ekstrusi. Akan tetapi, kondisi
proses yang ekstrim dapat merusak pati resisten sehingga menurunkan atau bahkan
menghilangkan kandungan serat pangannya.
Oleh karena itu, kandungan serat pangan produk akhir haruslah tetap
dianalisis terutama untuk produk-produk yang diolah dengan kondisi suhu,
tekanan dan/atau shear yang ekstrim.
Daftar Pustaka
Alsaffar,
A.A. 2011. Effect of food processing on the resistant
starch content of cereals and cereal products – a review. International Journal of Food Science and
Technology 46:455–462
Bingham, S.A. 1990.
Mechanism and experimental and epidemiological evidence relative dietary
fibre (non starch polysaccharides) and starch to protection against large bowel
cancer. Proceeding of the Nutrition
Society 49:153-171
Fuentes-Zaragoza,
E., M.J. Riquelme-Navarrete, E. Sanchez-Zapata dan J.A. Perez-Alvarez. 2010.
Resistant starch as functional ingredients: a review. Food Research International. Food Research International 43: 931–942
Govers, M.J.A.P., N.J. Gannon, F.R. Dunshea, P.R. Gibson dan J.G.
Muir. 1999. Wheat bran affects the site of fermentation
of resistant starch and luminal indexes related to cancer colon risk: a study
in pigs. Gut 45:840-847
Sajilata, M.G.,
R.S. Singhal, dan P.R. Kulkarni.
2006. Resistant starch – a
review. Comprehensive reviews in food
science and food safety. Vol. 5,
2006. Institute of Food Technologists.
Voragen AGJ. 1998. Technological aspects of functional food-related
carbohydrates – review. Trends in Food
Science & Technology 9:328–335.