Total Pageviews

Friday, May 22, 2009

Keracunan Pangan Tak Hanya Sebabkan Diare

Dr Ratih Dewanti-Hariyadi

PENYAKIT karena pangan (foodborne diseases) yang lebih dikenal sebagai keracunan makanan, dapat disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, protozoa, cacing) maupun bahan kimia (residu pestisida, logam berat, bahan tambahan ilegal, mikotoksin, dan sebagainya). Meskipun di Indonesia kasus-kasus penyakit asal pangan belum lengkap datanya, kasus keracunan pangan bisa disebut fenomena gunung es karena pangan dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari.

Apa penyebab utama penyakit asal pangan di Indonesia? Mengingat di negara maju yang bersanitasi tinggi masih melaporkan patogen sebagai penyebab utama kasus penyakit asal pangan, bisa diasumsikan bahwa kemungkinan besar di Indonesia pun didominasi patogen asal pangan (foodborne pathogen).

Penyakit akibat makanan tercemar patogen umumnya ditandai dengan terganggunya fungsi-fungsi saluran pencernaan. Gejala yang lazim muncul adalah diare. Di Indonesia banyak kasus diare ringan tidak dilaporkan, bahkan oleh sekelompok masyarakat diare tidak dianggap sebagai penyakit. Diare pada anak-anak misalnya, sering diartikan sebagai "tanda-tanda" anak mau tumbuh.

Padahal diare juga bisa bersifat fatal, kolera misalnya. Jadi diare sebenarnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Diare yang berlebihan menguras cairan tubuh dan beberapa di antaranya diikuti sekuelae atau gejala ikutan lainnya yang fatal.

Beberapa patogen menimbulkan penyakit di organ tubuh lain di samping saluran pencernaan. Gagal ginjal, keguguran kandungan, dan bayi lahir mati (stillbirth) misalnya, dapat disebabkan oleh patogen asal pangan.

Salah satu contoh adalah virus polio, lazim ditemukan dalam susu mentah dan banyak menyebabkan penyakit sebelum konsep pasteurisasi (pengawetan dengan panas) dikenal.

Saat ini, virus asal pangan yang paling dominan di negara-negara maju adalah virus Norwalk-like yang sering menyebabkan diare melalui konsumsi salad maupun kerang-kerangan.

***

SECARA umum penyakit karena patogen asal pangan digolongkan dalam dua kelompok yaitu infeksi dan intoksikasi.

Infeksi adalah penyakit asal pangan yang paling banyak diketahui dan telah lama dipelajari. Infeksi terjadi karena masuknya patogen hidup seperti virus, bakteri, protozoa, dan cacing melalui bahan pangan. Patogen yang bertahan melalui asam lambung dan mencapai usus akan berusaha memulai komunitas baru.

Beberapa bakteri sebenarnya tidak tahan pH lambung. Namun, jika terdapat dalam jumlah besar atau terlindung oleh kandungan lemak yang tinggi pada makanan, bakteri yang berhasil mencapai usus akan berusaha hidup dan mengganggu kesehatan manusia sebagai inangnya.

Begitu masuk tubuh, virus akan mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam DNA sel manusia. Jika berhasil mengekspresikan gen, membuat cukup kopi, serta selubung protein, virus dapat memperbanyak diri dan melumpuhkan sel manusia yang ditumpanginya.

Bakteri umumnya berusaha menempel dan memperbanyak diri pada usus sebelum mengganggu sistem saluran usus. Sebagian bakteri menempel melalui fimbriae spesifik pada usus manusia (juga hewan) dan kemudian mengganggu sistem pencernaan. Hal ini terjadi pada bakteri-bakteri kelompok Escherichia coli Enteropatogenik, Campylobacter jejuni, Yersinia enterocolitica, dan lain-lain.

Beberapa bakteri mengganggu sistem absorbsi cairan dalam usus melalui toksin yang dibentuk dalam saluran usus. Inilah yang disebut toksoinfeksi dan contohnya adalah diare oleh Escherichia coli Enterotoksigenik (ECET) maupun kolera oleh Vibrio cholerae.

Salah satu toksin ECET dan toksin kolera bahkan memiliki kesamaan secara imunokimia, sehingga antibodi yang dihasilkan saling menetralisir satu sama lain. Toksin LT dari ECET dan toksin kolera bekerja mengganggu keluar masuknya air dan mineral pada usus.

Beberapa jenis bakteri dan toksin bakteri lain tidak hanya beroperasi di usus, tetapi masuk aliran darah dan mengganggu fungsi organ tubuh lainnya.

Salmonella typhi, bakteri penyebab demam tifoid (tifus) misalnya, mampu menembus dinding usus dan dapat ikut aliran darah, bahkan "bersembunyi" dalam sel makrofag manusia yang mestinya bertugas menelan dan membunuhnya. Karena sifatnya ini, gejala tifus dapat bersifat sistemik, menjalar di berbagai organ tubuh. Keberadaan S typhi dalam makanan hampir dapat dipastikan berasal dari kontaminasi makanan oleh pekerja atau air yang mengandung cemaran kotoran manusia.

Listeria monocytogenes juga demikian. Bakteri yang suka suhu dingin ini bahkan dapat menembus plasenta sehingga bisa terjadi keguguran maupun bayi lahir mati.

***

KASUS keracunan dengan tingkat fatalitas 33,3% banyak dilaporkan di Kanada dan Amerika. Bahan pangan yang diduga menjadi penyebabnya adalah keju lunak (soft cheese) dari susu tak dipasteurisasi.

Kasus pertama yang dilaporkan banyak merenggut nyawa ibu dan bayi terjadi di California karena konsumsi keju lunak Jalisco, sejenis keju ala Meksiko. Karena itu, di beberapa negara maju ibu hamil disarankan tidak mengonsumsi keju lunak.

Kasus listeriosis di Kanada yang memakan banyak korban juga pernah diakibatkan oleh konsumsi coleslaw (salad kubis) yang bahan bakunya tercemar bakteri L monocytogenes.

Mekanisme lain bakteri mengganggu kesehatan adalah dengan tidak meninggalkan usus, tetapi menghasilkan toksin yang dapat menembus usus dan mengganggu fungsi organ lainnya. Contohnya adalah Escherichia coli golongan Escherichia coli Enterohemoragik (ECEH). Kelompok bakteri ini menghasilkan toksin Shiga yang menyerupai toksin Shigella dysenteriae, yang juga disebut Verotoxin karena membunuh sel kultur jaringan ginjal kera hijau afrika (Vero).

Keracunan bakteri ini menyebabkan gejala diare berdarah tanpa atau dengan demam ringan. Pada anak balita, gejala dapat diikuti gagal ginjal karena toksin Shiga dapat merusak organ ginjal. Beberapa korban dilaporkan mengalami gagal ginjal dan seumur hidupnya harus menjalani cuci darah.

Awal tahun 80-an, keracunan oleh kelompok bakteri ini dikaitkan dengan konsumsi hamburger yang tidak cukup diolah (dipanaskan), namun belakangan banyak dilaporkan keracunan ECEH melalui air, susu, bahkan cider apel. Keracunan ECEH juga terjadi pada ratusan anak sekolah di Jepang yang makan siangnya tercemar bakteri ini.

Infeksi parasit seperti protozoa dan cacing umumnya karena tertelannya cyst (bentuk dorman) patogen melalui makanan. Kondisi usus yang relatif ideal dengan nutrien, pH maupun suhu, merangsang cyst membentuk sel utuhnya. Beberapa cacing dapat menginfeksi dan sekaligus hidup pada organ selain usus seperti hati.

Cyst protozoa maupun cacing tidak tampak mata dan dapat mencemari makanan asal tumbuhan maupun hewan. Di dalam makanan, cyst bisa dihilangkan melalui pemanasan maupun pembekuan. Membekukan daging selama lima hari pada suhu -20oC misalnya, dapat menghilangkan cyst protozoa dan cacing.

***

INTOKSIKASI adalah penyakit akibat masuknya toksin melalui bahan pangan ke dalam tubuh. Ada toksin alami dari bahan pangan tersebut, dari bakteri atau kapang, lingkungan, atau pestisida.

Peristiwa intoksikasi toksin bakteri berbeda dengan mekanisme infeksi. Dalam hal intoksikasi pangan oleh toksin bakteri, bakterinya tidak harus ada di bahan pangan. Beberapa jenis bakteri yang tumbuh dan berkembang biak dalam makanan dapat membentuk toksin. Bila makanan ditelan, toksin dapat mengganggu kesehatan.

Berbeda dengan peristiwa infeksi di mana sel bakteri harus berkembang biak lebih dahulu, intoksikasi tidak memerlukan tumbuhnya bakteri dalam tubuh manusia. Karena itu, onset time (jarak waktu konsumsi dan timbulnya gejala penyakit) intoksikasi umumnya lebih singkat daripada infeksi.

Toksin yang dihasilkan bakteri dapat berupa toksin emetik (dihasilkan bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus), toksin penyebab diare (B cereus), sampai toksin penyerang sistem saraf seperti botulin dari Clostridium botulinum.

Meskipun toksin emetik S aureus dan B cereus sama-sama protein dan membuat muntah yang mengonsumsinya, kedua toksin dilaporkan sebagai dua protein berbeda.

Toksin emetik S aureus terdiri dari berbagai jenis dan umumnya tahan pemanasan. Sekali terbentuk dalam makanan, sukar dihilangkan. Kasus keracunan karena toksin ini banyak diakibatkan oleh konsumsi sandwich isi daging olahan saat piknik, karena daging dipersiapkan beberapa jam sebelum dikonsumsi. Sumber S aureus terbesar adalah tangan dan rongga hidung, sehingga kebiasaan buruk seperti menyentuh hidung, batuk, atau menggaruk muka saat mengolah makanan harus dihindarkan.

Botulin, juga dikenal sebagai botox, adalah toksin bakteri paling mematikan yang dapat terbentuk pada makanan kaleng yang tidak diproses dengan benar atau cukup dipanasi. Bakteri penghasil botulin, C botulinum, banyak terdapat di tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun peternakan. Sifatnya yang anaerob obligat (hanya tumbuh dalam kondisi bebas oksigen) membuatnya tumbuh dan berkembang biak dalam makanan kaleng.

Intoksikasi dapat pula disebabkan oleh berbagai toksin kapang atau jamur (mikotoksin) yang terbentuk dalam bahan pangan. Biji-bijian yang tidak dipanen pada saat tepat, dikeringkan asal-asalan atau tidak disimpan dengan baik bisa menumbuhkan kapang.

Jika tersedia gizi, air, dan suhu yang tepat, maka kapang dapat membentuk metabolit sekunder berupa toksin. Toksin kapang, yang umumnya bukan protein, sangat tahan panas dan perlu suhu amat tinggi 150-2000C untuk memusnahkannya. Artinya, adanya mikotoksin dalam bahan baku tidak dapat dihilangkan melalui proses pengolahan apa pun.

Salah satu mikotoksin yang paling banyak diketahui karakteristiknya adalah aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus flavus. Aflatoksin dapat mengakibatkan kanker hati sehingga kadarnya dalam makanan harus diupayakan serendah mungkin.

Peraturan internasional menurut Codex, mengharuskan kandungan aflatoksin maksimal 15 ppb pada biji-bijian. Aflatoksin bisa ditemukan pada kacang-kacangan, biji jagung, dan produk olahannya. Aflatoksin juga mungkin terdapat pada susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin.

Kompas 15 Des 2002

Virus dalam Bahan Pangan

Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi

WABAH flu unggas telah memorakporandakan bisnis peternakan di Indonesia dan juga di Asia dalam beberapa bulan terakhir. Tak terhitung berapa besar kerugian yang harus ditanggung para peternak karena pemusnahan yang memang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran. Selain itu, muncul isu-isu dan ketakutan luar biasa untuk mengonsumsi daging unggas sehingga perlu dilakukan acara-acara di mana para pemuka masyarakat diabadikan sedang mengonsumsi daging ayam agar masyarakat tidak khawatir berlebihan tertular oleh virus flu melalui makanan dari daging unggas.

Dari para korban sakit ataupun meninggal karena terinfeksi oleh virus penyebab flu burung ini, ternyata semuanya tertular melalui kontak langsung dengan unggas. Sampai saat ini belum ada laporan tentang adanya korban manusia yang tertular melalui makanan. Agaknya saat ini kasus infeksi virus ini pada manusia lebih banyak merupakan occupational hazard bagi pekerja pengelola ternak unggas ketimbang sebagai kasus food borne illness melalui makanan. Artikel ini mengulas tentang virus, bagaimana bisa ditemukan dalam bahan pangan, dan cara-cara penanganan serta inaktivasinya dalam bahan pangan agar tidak menyebabkan sakit pada manusia.

Apakah virus?

Virus adalah makhluk hidup terkecil yang ditemukan saat ini dengan ukuran 25-250 nanometer (1 nanometer = sepersejuta milimeter). Dikarenakan ukurannya yang amat kecil, virus tidak dapat terlihat dengan mikroskop cahaya dan hanya dapat diamati dengan mikroskop beresolusi tinggi, seperti mikroskop elektron.

Struktur virus lebih sederhana jika dibandingkan dengan makhluk mikroskopis lainnya, seperti bakteri, kapang, ataupun kamir. Virus umumnya mengandung materi genetika berupa DNA (asam deoksiribonukleat) atau RNA (asam ribonukleat) dan tidak pernah keduanya, yang terbungkus dalam suatu protein serta kadang-kadang lipida. Virus tidak memiliki organ atau struktur untuk metabolisme. Oleh karena itu, virus harus meminjam dengan cara hidup menumpang pada makhluk hidup lainnya.

Dikarenakan harus menumpang pada makhluk hidup lainnya, virus dikatakan bersifat parasit mutlak (obligate parasite), yang artinya hanya dapat hidup pada jaringan atau sel yang hidup. Jadi, virus hidup dengan baik pada daun tanaman hidup, misalnya. Akan tetapi, jika daun tersebut dipetik dan kemudian mati, virus akan sukar bertahan. Hal yang sama diketahui untuk virus dalam jaringan sel hewan, yang akan hidup dengan baik pada hewan hidup, tetapi akan sukar bertahan jika hewan tersebut mati.

Virus pada umumnya memiliki sifat spesifik pada inang tertentu (host specific). Artinya, virus yang menyerang hewan tertentu tidak menyerang manusia dan sebaliknya. Meskipun demikian, beberapa virus ditemukan bersifat zoonosis, artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus menyerang semua makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan bakteri. Ketika menyerang, virus menginjeksikan DNA atau RNA-nya untuk kemudian diinkorporasikan ke dalam DNA inang. Dalam kondisi tersebut, metabolisme virus dapat berlangsung.

Sifat penting virus lainnya adalah kemampuannya untuk bermutasi sehingga sering kali terdapat berbagai serotipe pada satu jenis virus. Mekanisme ini digunakan oleh virus sebagai sarana pertahanan terhadap sistem kekebalan manusia atau hewan sehingga kekebalan terhadap virus sukar dicapai.

Virus dalam bahan pangan

Berbagai jenis virus telah dilaporkan dapat bertahan dalam bahan pangan dalam rentang waktu relatif lama dan menyebabkan penyakit pada manusia yang mengonsumsinya. Virus asal pangan (food borne viruses) umumnya berukuran 25-30 nanometer (nm) dan yang paling besar mencapai 75 nm. Kebanyakan virus yang ditularkan melalui makanan mengandung materi genetika berupa RNA. Virus pada bahan pangan jika menyebabkan penyakit pada manusia umumnya memerlukan waktu inkubasi yang panjang. Artinya, jarak waktu konsumsi dan waktu timbulnya gejala penyakit cukup lama sehingga pelacakan terhadap makanan penyebab penyakit ini cukup sulit ditelusuri.

Sebelum ditemukan proses pasteurisasi (pemanasan pada suhu rendah untuk melenyapkan bakteri Coxiella burnetti) serta penerapan sanitasi yang baik, manusia bisa terjangkit penyakit polio melalui virus polio yang terdapat pada susu mentah. Susu mentah pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat (AS) sebagai pembawa virus polio pada tahun 1914.

Salah satu virus asal pangan lainnya yang penting adalah virus hepatitis A. Virus yang umumnya berasal dari kotoran manusia ini dapat mencemari air. Jika praktik higiene sanitasi tidak dilakukan dengan baik, virus ini dapat mencemari makanan, khususnya yang tidak diolah dengan pemanasan atau perlakuan pemasakan lainnya. Waktu inkubasi penyakit hepatitis A adalah 15-50 hari dengan rata-rata 28 hari. Kerang adalah jenis makanan yang paling sering dihubungkan dengan virus hepatitis A. Kerang dapat mengandung virus ini karena: (1) perairan tempat tumbuhnya tercemar feses manusia, (2) cara makannya dengan cara filter feeder (menyaring) menyebabkan virus terkonsentrasi dalam kerang, (3) saluran pencernaannya selalu ikut dimakan, (4) sering kali tidak dimasak dengan sempurna, dan (5) kerang melindungi virus selama pemanasan.

Virus Norwalk-like saat ini dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan pangan akibat virus di AS. Virus yang terdiri atas beberapa serotipe ini mengakibatkan gastroenteritis dengan ciri diare dan muntah dengan waktu inkubasi 18-36 jam. Di negara AS dan Inggris, salad adalah makanan yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab keracunan pangan oleh Norwalk-like.

Beberapa virus bersifat zoonosis. Virus penyebab ensefalitis, misalnya, dapat disebabkan oleh konsumsi susu mentah yang diperah dari kambing, sapi, atau domba yang memperoleh virus tersebut dari gigitan serangga. Karena itu, penyakitnya disebut tick-borne encephalitis. Berbeda dengan mikroba lain, seperti bakteri, virus tidak dapat berkembang biak di dalam bahan pangan. Oleh karena itu, jumlah virus dalam makanan tidak akan bertambah, bahkan mungkin menurun jika rentang waktu antara saat pencemaran terjadi dan saat makanan tersebut dikonsumsi cukup besar. Hal ini disebabkan bahan pangan bukanlah benda hidup yang dapat mendukung pertumbuhan virus.

Inaktivasi virus

Virus adalah mikroorganisme yang tidak tahan pemanasan dan ketahanannya sebanding dengan sel vegetatif bakteri. Ketahanan virus dalam makanan lebih tinggi jika makanan disimpan pada suhu refrigerasi maupun pembekuan. Meskipun demikian, tidak ada virus yang tahan untuk rentang waktu yang lama jika disimpan pada suhu ruang atau suhu yang lebih rendah.

Inaktivasi virus dapat dilakukan dengan pemanasan, pengeringan, ataupun pemberian radiasi elektromagnetik. Pemanasan pada suhu 55 derajat Celsius selama 30 menit dilaporkan dapat membunuh berbagai jenis virus dalam susu. Meskipun demikian, ada laporan yang bertentangan yang menunjukkan bahwa virus hepatitis A, Norwalk-like, serta virus mulut dan kuku dapat bertahan pada suhu dan waktu tersebut. Perbedaan hasil penelitian sering kali disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan dalam penghitungan virus. Inaktivasi virus karena panas diperkirakan terjadi akibat kerusakan asam nukleat maupun protein virus.

Pengeringan dengan udara juga dapat menginaktifkan virus. Di samping itu, proses pengeringan beku (freeze drying) yang kadang-kadang diterapkan pada pengolahan pangan untuk menghindari kerusakan flavor juga dilaporkan dapat menginaktifkan 99 persen virus.

Sinar ultraviolet, baik yang berasal dari sinar Matahari maupun lampu sumber sinar ultraviolet, juga efektif dalam menginaktivasi virus, khususnya virus yang ada di permukaan. Radiasi ionisasi, misalnya dengan menggunakan Cobalt 60, dapat memenetrasi bahan pangan dan menginaktifkan virus. Dosis radiasi beberapa virus adalah sekitar 4.3 kGray (0.43 Mrad). Radiasi gelombang mikro (microwave) juga dapat menginaktifkan virus meskipun tidak jelas diketahui apakah inaktivasi disebabkan oleh pengaruh sinar elektromagnetik, osilasi molekul air, atau panas yang dihasilkan.

Virus yang terdapat pada permukaan bahan pangan juga dapat diinaktifkan dengan perlakuan desinfektan, misalnya oksidator kuat seperti ozon ataupun klorin. Desinfektan dari kelompok senyawa amonium kuaterner dan fenol umumnya tidak efektif dalam menginaktifkan virus.

Masaklah, bersihkan, dan pisahkan

Bahan pangan yang dipanaskan dengan cukup seharusnya tidak mengandung virus yang dapat mengakibatkan penyakit pada manusia. Bahan pangan yang berpeluang besar mengandung virus adalah bahan pangan yang tidak diolah, misalnya sayur-mayur mentah, daging (sapi ataupun unggas) yang tidak dimasak dengan cukup (rare, medium), dan susu mentah. Beberapa jenis pangan olahan di Indonesia diolah dengan proses pemanasan yang panjang, seperti rendang, balado, dan opor, tetapi beberapa jenis lainnya rawan kurang pemasakan (undercooked), misalnya sate, daging/ayam/ikan bakar, serta jenis makanan mentah, seperti lalap, karedok, dan sebagainya.

Di samping pemasakan yang tidak mencukupi, cara penanganan makanan yang buruk dapat meningkatkan kemungkinan berpindahnya virus dari satu sumber ke bahan pangan atau bahan pangan ke bahan pangan lainnya. Praktik sanitasi pekerja pengolah makanan yang buruk sangat berpotensi menularkan virus dari tubuh pekerja ke makanan. Penggunaan peralatan (talenan, pisau, dan alat dapur lainnya) yang sama untuk menangani bahan pangan mentah dan bahan pangan yang telah dimasak dapat menyebabkan pencemaran silang yang mengakibatkan berpindahnya virus dari bahan mentah ke bahan matang. Akibat yang sama juga terjadi ketika bahan mentah dan bahan matang disimpan di dalam wadah yang sama meski secara bergantian. Pencemaran ini makin menimbulkan potensi bahaya penyakit pada manusia jika bahan pangan mentah tidak diolah lebih lanjut.

Oleh karena itu, untuk menghindari keracunan akibat virus dalam bahan pangan, dianjurkan tiga praktik pengolahan makanan yang baik, yaitu cook, clean, dan separate (masaklah, bersihkan, dan pisahkan). Masaklah semua bahan pangan sampai benar-benar matang, bersihkan tangan dan semua peralatan yang digunakan untuk memasak, kemudian pisahkan bahan mentah dengan bahan matang. Selamat mengolah makanan dengan aman!

Kompas, 15 Maret 2004

Saturday, May 16, 2009

Foodborne diseases, emerging

Some foodborne diseases are well recognized, but are considered emerging because they have recently become more common. For example, outbreaks of salmonellosis have been reported for decades, but within the past 25 years the disease has increased in incidence on many continents. In the Western hemisphere and in Europe, Salmonella serotype Enteritidis (SE) has become the predominant strain. Investigations of SE outbreaks indicate that its emergence is largely related to consumption of poultry or eggs.
While cholera has devastated much of Asia and Africa for years, its introduction for the first time in almost a century on the South American continent in 1991 makes it another example of an infectious disease that is both well-recognized and emerging. While cholera is often waterborne, many foods also transmit infection. In Latin America, ice and raw or underprocessed seafood are important epidemiological pathways for cholera transmission.
Other foodborne pathogens are considered emerging because they are new microorganisms or because the role of food in their transmission has been recognized only recently. Infection with Escherichia coli serotype O157:H7 (E. coli) was first described in 1982. Subsequently, it has emerged rapidly as a major cause of bloody diarrhoea and acute renal failure. The infection is sometimes fatal, particularly in children. Outbreaks of infection, generally associated with beef, have been reported in Australia, Canada, Japan, United States, in various European countries, and in southern Africa. Outbreaks have also implicated alfalfa sprouts, unpasteurized fruit juice, lettuce, game meat and cheese curd.
In 1996, an outbreak of Escherichia coli O157:H7 in Japan affected over 6,300 school children and resulted in 2 deaths. This is the largest outbreak ever recorded for this pathogen.
Listeria monocytogenes (Lm) is considered emerging because the role of food in its transmission has only recently been recognized. In pregnant women, infections with Lm can cause abortion and stillbirth, and in infants and persons with a weakened immune system it may lead to septicemia (blood poisoning) and meningitis. The disease is most often associated with consumption of foods such as soft cheese and processed meat products that are kept refrigerated for a long time because Lm can grow at low temperatures. Outbreaks of listeriosis have been reported from many countries, including Australia, Switzerland, France and the United States. Two recent outbreaks of Listeria monocytogenes in France in 2000 and in the USA in 1999 were caused by contaminated pork tongue and hot dogs respectively.
Foodborne trematodes are also emerging as a serious public health problem, especially in south-east Asia but also in Latin America, in part due to a combination of increased aquaculture production, often under unsanitary conditions, and of consumption of raw and lightly processed fresh water fish and fishery products. Foodborne trematodes can cause acute liver disease, and may lead to liver cancer. An estimated 40 million people world wide are affected.
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), a fatal, transmissible, neurodegenerative disease of cattle, was first discovered in the United Kingdom in 1985. The cause of the disease was traced to an agent related to scrapie in sheep, which contaminated recycled bovine carcasses used to make meat and bone meal additives for cattle feed. Recycling of the BSE agent led to a distributed common source epidemic of more than 180,000 diseased animals in the UK alone. The agent affects the brain and spinal cord of cattle and lesions are characterized by sponge-like changes visible in a microscope. At this time, 19 countries have reported endemic BSE cases and the disease is no longer confined to the European Community: a case of BSE has been reported in the cattle herd of Japan.
In human populations, exposure to the BSE agent (probably in contaminated bovine-based food products) has been strongly linked to the appearance in 1996 of a new transmissible spongiform encephalopathy of humans called variant Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD). As of January 2002, 119 people have developed vCJD, most are from the UK but five cases have been reported from France.
Why do foodborne diseases emerge?
New foodborne disease threats occur for a number of reasons. These include increase in international travel and trade, microbial adaptation and changes in the food production system, as well as human demographics and behaviour:
* The globalization of the food supply: A large outbreak of cyclosporiasis occurred in North America in 1996-7 linked to contaminated raspberries imported from South America.
* The inadvertant introduction of pathogens into new geographic areas: Vibrio cholerae was introduced into waters off the coast of southern United States when a cargo ship discharged contaminated ballast water in 1991. It is likely that a similar mechanism led to the introduction of cholera for the first time this century into South America in 1991.
* Travellers, refugees, and immigrants exposed to unfamiliar foodborne hazards while abroad: International travellers may become infected by foodborne pathogens that are uncommon in their countries. It is estimated that about 90% of all cases of salmonellosis in Sweden are imported.
* Changes in microorganisms: Changes in microbial populations can lead to the evolution of new pathogens, development of new virulent strains in old pathogens, development of antibiotic resistance that might make a disease more difficult to treat, or to changes in the ability to survive in adverse environmental conditions.
* Change in the human population: The population of highly susceptible persons is expanding world-wide because of ageing, malnutrition, HIV infections and other underlying medical conditions. Age is an important factor in susceptibility to foodborne infections because those at the extremes of age have either not developed or have partially lost protection from infection. Particularly for the elderly, foodborne infections are likely to invade their blood stream and lead to severe illness with high mortality rates. People with a weakened immune system also become infected with foodborne pathogens at lower doses which may not produce an adverse reaction in healthier persons. Seriously ill persons, suffering, for example, from cancer or AIDS, are more likely to succumb to infections with Salmonella, Campylobacter, Listeria, Toxoplasma, Cryptosporidium, and other foodborne pathogens. In developing countries reduced immunity due to poor nutritional status render people, particularly infants and children, more susceptible to foodborne infections.
* Changes in lifestyle: Greater numbers of people go out and eat meals prepared in restaurants, canteens, fast food outlets, and by street food vendors. In many countries, the boom in food service establishments is not matched by effective food safety education and control. Unhygienic preparation of food provides ample opportunities for contamination, growth, or survival of foodborne pathogens.
Food-borne diseases pose a considerable threat to human health and the economy of individuals, families and nations. Their control requires a concerted effort on the part of the three principal partners, namely governments, the food industry and consumers. As part of its food safety education campaign, WHO issued the 5 Keys to Safer Food and a guide on Safe Food for Travellers.
from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs124/en/


Why does food get stale over time?

When we think of food going stale, we typically think of products such as bread. You might think that bread starts to stale days after it is made. But the process of staling actually begins as soon as the loaf leaves the oven and begins to cool. How quickly bread goes stale depends on what ingredients are in it, how it was baked, and the storage conditions.

Breads are essentially networks of wheat flour protein (gluten) molecules and starch molecules. Suspended inside this scaffolding are pockets of carbon dioxide gas that are produced during fermentation by yeast. This creates a foamlike texture.

The most important event in the process of staling is when starch molecules crystallize. The starch molecules need water molecules to form their crystal structure. They get the water molecules from the gluten. As a result, the network changes, becoming rigid at room temperature and below. This state, however, is reversed with the introduction of heat; stale bread can be freshened by warming it—as in toasting.

Although scientists have made considerable progress in dissecting the staling process, it remains poorly understood. Yet progress has been made in slowing staling through the addition of certain ingredients so that bread from large commercial bakeries in the U.S. seldom goes stale. On the other hand, the process of staling has also been sped up by other methods in order to make croutons in a relatively short time.

by James BeMiller, emeritus professor of food science at Purdue University

Breakfast Cereal: How Products are Made?

Background

Breakfast cereal is a processed food manufactured from grain and intended to be eaten as a main course served with milk during the morning meal. Some breakfast cereals require brief cooking, but these hot cereals are less popular than cold, ready-to-eat cereals.

Prehistoric peoples ground whole grains and cooked them with water to form gruels and porridges similar to today’s hot cereals. Cold cereals did not develop until the second half of the nineteenth century.

Ready-to-eat breakfast cereals were invented because of religious beliefs. The first step in this direction was taken by the American clergyman Sylvester Graham, who advocated a vegetarian diet. He used unsifted, coarsely ground flour to invent the Graham cracker in 1829. Influenced by Graham, Seventh-Day Adventists, who also believed in vegetarianism, founded the Western Health Reform Institute in Battle Creek, Michigan, in the 1860s. At this institute, later known as the Battle Creek Sanitarium, physician John Harvey Kellogg invented several grain-based meat substitutes.

In 1876 or 1877, Kellogg invented a food he called granola from wheat, oats, and corn that had been mixed, baked, and coarsely ground. In 1894, Kellogg and his brother W. K. Kellogg invented the first precooked flaked cereal. They cooked ground wheat into a dough, then flattened it between metal rollers and scraped it off with a knife. The resulting flakes were then cooked again and allowed to stand for several hours. This product was sold by mail order as Granose for 15 cents per 10-ounce (284 g) package.

Both W. K. Kellogg and C. W. Post, a patient at the sanitarium, founded businesses to sell such products as health foods. Their success led dozens of imitators to open factories in Battle Creek between 1900 and 1905. These businesses quickly failed, while Kellogg and Post still survive as thriving manufacturers of breakfast cereals.

Their success can be partially attributed to advertising campaigns, which transformed the image of their products from health foods to quick, convenient, and tasty breakfast foods. Another factor was the fact that Kellogg and Post both manufactured corn flakes, which turned out to be much more popular than wheat flakes. Breakfast cereals have continued to increase in popularity in the twentieth century. Ready-to-eat breakfast cereals are served in nine out of 10 American households.

Raw Materials

The most important raw material in any breakfast cereal is grain. The grains most commonly used are corn, wheat, oats, rice, and barley. Some hot cereals, such as plain oatmeal, and a few cold cereals, such as plain shredded wheat, contain no other ingredients. Most breakfast cereals contain other ingredients, such as salt, yeast, sweeteners, flavoring agents, coloring agents, vitamins, minerals, and preservatives.

The sweeteners used in breakfast cereals include malt (obtained from barley), white sugar, brown sugar, and corn syrup. Some natural cereals are sweetened with concentrated fruit juice. A wide variety of flavors may be added to breakfast cereals, including chocolate, cinnamon and other spices, and fruit flavors. Other ingredients added to improve flavor include nuts, dried fruit, and marshmallows.

Vitamins and minerals are often added to breakfast cereals to replace those lost during cooking. The most important of these is vitamin B-i, 90 % of which is destroyed by heat. The antioxidants BHA and BHT are the preservatives most often added to breakfast cereals to prevent them from becoming stale and rancid.

The Manufacturing Process

Preparing the grain

  • 1 Grain is received at the cereal factory, inspected, and cleaned. It may be used in the form of whole grains or it may require further processing. Often the whole grain is crushed between large metal rollers to remove the outer layer of bran. It may then be ground more finely into flour.
  • 2 Whole grains or partial grains (such as corn grits) are mixed with flavoring agents, vitamins, minerals, sweeteners, salt, and water in a large rotating pressure cooker. The time, temperature, and speed of rotation vary with the type of grain being cooked.
  • 3 The cooked grain is moved to a conveyor belt, which passes through a drying oven. Enough of the water remains in the cooked grain to result in a soft, solid mass which can be shaped as needed.
  • 4 If flour is used instead of grains, it is cooked in a cooking extruder. This device consists of a long screw within a heated housing. The motion of the screw mixes the flour with water, flavorings, salt, sweeteners, vitamins, minerals, and sometimes food coloring. The screw moves this mixture through the extruder, cooking it as it moves along. At the end of the extruder, the cooked dough emerges as a ribbon. A rotating knife cuts the ribbon into pellets. These pellets are then processed in much the same way as cooked grains.

Making flaked cereals

  • 5 The cooked grains are allowed to cool for several hours, stabilizing the moisture content of each grain. This process is known as tempering. The tempered grains are flattened between large metal rollers under tons of pressure. The resulting flakes are conveyed to ovens where they are tossed in a blast of very hot air to remove remaining moisture and to toast them to a desirable color and flavor. Instead of cooked grains, flakes may also be made from extruded pellets in a similar manner.

Making puffed cereals

  • 6 Cereals may be puffed in ovens or in so-called “guns.” Oven-puffed cereals are usually made from rice. The rice is cooked, cooled, and dried. It is then rolled between metal rollers like flaked cereals, but it is only partially flattened. This process is known as bumping. The bumped rice is dried again and placed in a very hot oven which causes it to swell.
  • 7 Gun-puffed cereals may be made from rice or wheat. The rice grains require no pretreatment, but the wheat grains must be treated to partially remove the outer layer of bran. This may be done by abrading it off between grindstones, a process known as pearling. It may also be done by soaking the wheat grains in salt water. The salt water toughens the bran, which allows it to break off in large pieces during puffing. The grain is placed in the gun, a small vessel which can hold very hot steam and very high pressure. The gun is opened quickly to reduce the pressure suddenly, which puffs the grain. Extruded pellets can also be used to make gun-puffed cereals in the same way as grains.

Making shredded cereals

  • 8 Shredded cereals are usually made from wheat. The wheat is cooked in boiling water to allow moisture to fully penetrate the grain. The cooked grain is cooled and allowed to temper. It is then rolled between two metal rollers. One roller is smooth and the other is grooved. A metal comb is positioned against the grooved roll with a tooth inside each groove. The cooked grain is shredded by the teeth of the comb and drops off the rollers in a continuous ribbon. A conveyor belt catches the ribbons from several pairs of rollers and piles them up in layers. The layers of shredded wheat are cut to the proper size, then baked to the desired color and dryness. Shredded cereals may also be made in a similar way from extruded pellets.

Making other cereals

  • 9 Cereals can be made in a wide variety of special shapes (circles, letters of the alphabet, etc.) with a cooking extruder. A die is added to the end of the extruder which forms a ribbon of cooked dough with the desired cross-section shape. A rotating knife cuts the ribbon into small pieces with the proper shape. These shaped pieces of dough are processed in a manner similar to puffing. Instead of completely puffing, however, the pieces expand only partially in order to maintain the special shape.
  • 10 Granolas and similar products are made by mixing grain (usually oats) and other ingredients (nuts, fruits, flavors, etc.) and cooking them on a conveyor belt which moves through an oven. The cooked mixture is then crumbled to the desired size. Hot cereals are made by processing the grain as necessary (rolling or cutting oats, cracking wheat, or milling corn into grits) and partly cooking it so the consumer can cook it quickly in hot water. Salt, sweeteners, flavors, and other ingredients may or may not be added to the partly cooked mixture.

Adding coatings

  • 11 After shaping, the cereal may be coated with vitamins, minerals, sweeteners, flavors such as fruit juices, food colors, or preservatives. Frosting is applied by spraying a thick, hot syrup of sugar on the cereal in a rotating drum. As it cools the syrup dries into a white layer of frosting.

Packaging

  • 12 Some cereals, such as shredded wheat, are fairly resistant to damage from moisture. They may be placed directly into cardboard boxes or in cardboard boxes lined with plastic. Most cereals must be packaged in airtight, waterproof plastic bags within cardboard boxes to protect them from spoiling.
  • 13 An automated machine packages the cereal at a rate of about 40 boxes per minute. The box is assembled from a flat sheet of cardboard, which has been previously printed with the desired pattern for the outside of the box. The bottom and sides of the box are sealed with a strong glue. The bag is formed from moisture-proof plastic and inserted into the box. The cereal fills the bag and the bag is tightly sealed by heat. The top of the box is sealed with a weak glue which allows the consumer to open it easily. The completed boxes of cereal are packed into cartons which usually hold 12, 24, or 36 boxes and shipped to the retailer.

Quality Control

Every step in the manufacturing of breakfast cereal is carefully monitored for quality. Since cereal is a food intended for human consumption, sanitation is essential. The machines used are made from stainless steel, which can be thoroughly cleaned and sterilized with hot steam. Grain is inspected for any foreign matter when it arrives at the factory, when it is cooked, and when it is shaped.

To ensure proper cooking and shaping, the temperature and moisture content of the cereal is constantly monitored. The content of vitamins and minerals is measured to ensure accurate nutrition information. Filled packages are weighed to ensure that the contents of each box is consistent.

In order to label boxes with an accurate shelf life, the quality of stored cereal is tested over time. In order to be able to monitor freshness over a reasonable period of time, the cereals are subjected to higher than normal temperatures and humidities in order to speed up the spoiling process.

The Future

Breakfast cereal technology has advanced greatly since its origins in the late nineteenth century. The latest innovation in the industry is the twin-screw cooking extruder. The two rotating screws scrape each other clean as they rotate. This allows the dough to move more smoothly than in an extruder with only one screw. By using a twin-screw extruder, along with computers to precisely control temperature and pressure, cereals that usually require about 24 hours to make may be made in as little as 20 minutes.

from: http://www.enotes.com/how-products-encyclopedia/

Monday, May 11, 2009

Peluang Usaha Yoghurt

Elvira Syamsir, Konsultasi Pangan di Tabloid Peluang Usaha

Yoghurt adalah susu asam yang merupakan hasil fermentasi susu oleh bakteri asam laktat (BAL). Yoghurt biasanya dibuat dengan menggunakan dua jenis BAL yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii ssp bulgaricus sebagai starter. Selain itu, ada juga yoghurt yang ditambahkan dengan BAL yang bersifat probiotik, misalnya Lactobacillus acidophillus, Lactobacillus casei, dan Bifidobacterium. Bakteri probiotik bisa hidup dan melakukan proses metabolisme didalam usus, sedangkan S. thermophilus dan L. delbrueckii ssp bulgaricus tidak bisa hidup dalam saluran pencernaan.

Bagaimana prospek usaha yogurt kedepannya?

Prospek usaha yoghurt kedepan akan semakin baik. Hal ini terkait nilai plus yoghurt dibandingkan dengan susu biasa dan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang peduli dengan kesehatan. Aspek positif yoghurt bagi kesehatan adalah:
  • Memberikan energi. Proses fermentasi hanya sedikit menurunkan kandungan energi yoghurt jika dibandingkan dengan susu segar.
  • Menyehatkan pencernaan. Berdasarkan hasil penelitian, yoghurt dapat mengatasi berbagai masalah pencernaan seperti diare, radang usus dan intoleransi laktosa. Minuman yoghurt yang mengandung probiotik akan memberikan efek kesehatan yang lebih baik terhadap saluran cerna.
Sebenarnya yogurt itu ada berapa varian, selain berbahan utama susu , apakah ada bahan utama lain selain susu?

Varian yogurt sangat banyak. Dari jenis susu, ada yogurt yang dibuat dari susu sapi (seperti yang umum ditemui di pasaran), ada yang dibuat dari susu kerbau (dadih di Sumatera Barat) dan dari susu kambing. Dari kadar lemaknya, produk yogurt tersedia mulai dari yang kadar lemaknya rendah sampai yang kadar lemaknya cukup tinggi. Dari proses pengolahannya dikenal yogurt natural dan produk olahan yogurt. Natural yogurt terbagi lagi menjadi set yogurt (tekstur yogurt berbentuk padat seperti jely) dan stirred yogurt (yogurt kental tapi masih bisa dituang). Produk olahan yogurt adalah yogurt yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi minuman yogurt, es krim yogurt dan yogurt buah.

Bahan diluar susu bisa dibuat menjadi susu fermentasi, tapi nama bahan baku harus disertakan pada nama produk (misalnya yogurt kedelai - soyghurt, yogurt ubi jalar, dan sebagainya).

Bagaimana dengan susu kedelai, apakah bisa dibuat yogurt?

Susu kedelai bisa dibuat soygurt. Proses pembuatan dan starter yang digunakan pada dasarnya sama dengan yogurt. Kelemahannya, jenis karbohidrat susu kedelai tidak dapat digunakan oleh starter. Sehingga, agar fermentasi susu kedelai dapat dilakukan, maka perlu penambahan sumber gula (4 – 5%) kedalam susu kedelai sebelum ditambahkan starter. Sumber gula yang bisa ditambahkan misalnya sukrosa (gula pasir), glukosa, laktosa, fruktosa atau laktosa (ada didalam susu bubuk skim).

Cara pembuatan yogurt buah yang baik itu bagaimana?
  • Yogurt buah berbentuk semipadat dengan tekstur creamy yang halus, rasa asam-manis dengan karakteristik warna dan rasa seperti buah yang ditambahkan.
  • Buah yang akan digunakan dicuci bersih, kupas dan dihancurkan lalu dipasteurisasi (70-80°C selama 15-20 menit) dan didinginkan (sampai suhu ruang). Selanjutnya dilakukan pencampuran hancuran buah dengan yogurt (misalnya 1 bagian hancuran buah dengan 3 bagian yogurt), masukkan kedalam kemasan dan simpan di tempat dingin (lebih disukai di refrigerator) dan hindari dari sinar matahari langsung.
  • Buah yang digunakan sebaiknya yang sudah matang, tidak rusak (lepuh, benyek, luka dan sebagainya) serta bebas dari serangan serangga ataupun pertumbuhan mikroorganisme.
  • Sortasi, pembersihan dan pengupasan buah harus dilakukan dengan benar untuk menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan; proses pulping hendaknya menghasilkan hancuran buah dengan ukuran seragam sehingga semua potongan buah mendapat proses pasteurisasi yang seragam; suhu dan waktu pasteurisasi hancuran buah harus cukup untuk menghancurkan mikroorganisme terutama kamir yang tumbuh pada kondisi asam yogurt; pencampuran dari hancuran buah dan yogurt harus diperhatikan untuk mempertahankan konsistensi yogurt tetap berbentuk cream kental dengan rasa dan flavor yang baik.
  • Untuk pembuatan yogurtnya sendiri, perhatikan cara pembuatan yogurt yang baik.
Apakah butuh proses sterilisasi dalam pengemasan atau cukup dengan proses pasteurisasi?

Untuk yoghurt natural (set maupun yang stirred) dan yogurt buah, biasanya dilakukan pasteurisasi bahan baku susu sebelum ditambahkan starter. Tujuan proses pasteurisasi disini adalah untuk membunuh mikroba patogen dan mereduksi sebagian besar mikroba pembusuk dan enzim yang dapat mengganggu proses fermentasi. Produk ini biasanya tidak diproses panas lagi setelah proses fermentasi selesai, tetapi disimpan dingin (suhu 6oC).

Untuk minuman yogurt, biasanya setelah difermentasi diproses lagi dengan panas (pasteurisasi atau sterilisasi). Jika dipasteurisasi, untuk memperpanjang umur simpannya maka produk harus disimpan di refrigerator; sementara jika di sterilisasi dapat disimpan di suhu ruang. Perlu diingat, proses pasteurisasi/sterilisasi setelah fermentasi hanya dilakukan untuk produk olahan yoghurt yang tidak mengandung probiotik.

Bagaimana cara pengemasan yang baik dan tahan lama? Manakah yang paling baik, apakah dikemas dengan plastic, dicup, botol plastik atau dalam botol beling?

Pengemasan dapat dilakukan dengan plastik, cup, botol plastik ataupun botol kaca. Yang penting diperhatikan kemasan harus bersih, tahan panas (jika susu fermentasi yang telah dikemas akan dipasteurisasi/disterilisasi setelah proses fermentasi), dan dapat melindungi produk dari sinar matahari langsung. Untuk penyimpanan dalam jangka waktu yang lebih lama, kemasan yang sealnya baik lebih dianjurkan.

Sebenarnya daya tahan yogurt itu berapa lama? Bagaimana cara penyimpanan yogurt yang baik supaya tahan lama? Disimpan pada suhu berapa?

Umur simpan yogurt sangat tergantung pada proses produksi, kondisi suhu penyimpanan dan ada tidaknya kontaminasi. Pada yogurt yang tidak disterilisasi setelah fermentasi selesai, aktivitas bakteri starter biasanya tetap berlangsung sehingga semakin lama rasa asam produk akan meningkat dan selanjutnya juga terbentuk cita rasa pahit karena proses proteolisis.

Kontaminasi mikroba terutama kapang dan kamir bisa memperpendek umur simpan. Penyimpangan flavor karena kontaminasi biasanya berbau seperti kamir, keju, buah, apek, pahit dan kadang-kadang seperti berbau sabun. Kondisi ini terjadi jika konsentrasi kapang kamir didalam produk sekitar 10000/ml. Pertumbuhan kontaminan ini dapat dihambat dengan meminimalkan jumlah oksigen didalam produk. Caranya dengan mengatur agar headspace didalam wadah tidak terlalu besar, dan menggunakan kemasan dengan permeabilitas terhadap oksigen yang rendah.

Untuk umur simpan yang lebih lama, dianjurkan untuk menyimpan produk di suhu rendah (6 derj C). Idealnya, pada suhu rendah (4-6 derjC), yogurt bisa disimpan selama 35-40 hari. Jika produk disterilisasi setelah proses fermentasi, maka umur simpan akan lebih lama dan dapat disimpan di suhu ruang.

Apakah antara yogurt buah asli dengan yogurt ber-essence memiliki daya tahan simpan yang berbeda?

Berbeda. Pada yogurt dengan buah asli, penambahan buah akan berpengaruh pada kondisi tekstur yogurt buah yang dihasilkan sehingga perlu dicari formulasi yang tepat agar diperoleh yogurt buah dengan tekstur, warna dan flavor yang diinginkan. Sementara itu, penambahan essence hanya dilakukan dalam jumlah kecil untuk memberikan citarasa buah tertentu didalam buah, dan tidak terlalu berpengaruh terhadap tekstur produk akhir. Hanya saja perlu diingat, yogurt dengan penambahan essence bukan yogurt buah tetapi yogurt dengan rasa buah.

Tips survive usaha yogurt?

Karena produk ini juga banyak dibuat oleh industri besar, maka industri kecil sebaiknya berusaha mengembangkan formula sendiri dengan citarasa yang berbeda dengan yang sudah ada dipasaran. Suhu penyimpanan penting diperhatikan karena sangat mempengaruhi citarasa selama penyimpanan.

Manakah yang lebih tahan lama, apakah lebih tahan lama yogurt yang dibekukan (yogurt mambo), yogurt cair atau es krim yogurt?

Yogurt beku dan es krim mempunyai umur simpan yang lebih lama dari produk cair, asalkan selama pemasarannya selalu berada dalam kondisi beku. Perbedaan yogurt beku dan es krim lebih terletak pada perbedaan tekstur, karena perbedaan teknik pembekuannya.

Apakah butuh bahan pengawet supaya yogurt tahan lama?

Walaupun penambahan pengawet pangan untuk menghambat kapang dan kamir diijinkan, tetapi akan lebih sehat jika tidak menggunakan pengawet. Yang penting, gunakan 3 prinsip berikut untuk mempertahankan umur simpan optimum yogurt:
  • Pasteurisasi bahan baku susu (susu segar maupun susu bubuk yang dicairkan lagi) dan hancuran buah (jika menggunakan) untuk membunuh mikroba patogen dan pembusuk.
  • Proses fermentasi berlangsung baik sehingga kondisi didalam susu cukup asam (4.1 – 4.6) dan menghambat pertumbuhan patogen dan sebagian besar pembusuk.
  • Simpan yogurt disuhu rendah (4-6oC) untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

Mengenal Sosis

Oleh: Elvira Syamsir


SOSIS DAN JENIS-JENISNYA


Sosis adalah salah satu produk olahan daging yang sekarang mulai populer di masyarakat, terutama anak-anak. Pengolahan sosis ini pada awalnya dikembangkan oleh negara empat musim, yang bertujuan untuk mengawetkan, sehingga mereka tidak kekurangan daging selama musim dingin.

Istilah sosis sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu salsus yang berarti asin, merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan dengan penggaraman. Dari teknologi produksinya, sosis dibuat dari daging yang digiling (dihaluskan), diberi bumbu lalu dimasukan kedalam selonsong (casing) berbentuk bulat panjang simetris yang kemudian diolah lebih lanjut.

Berdasarkan proses pengolahannya, sosis umum dapat dibagi 5 yaitu:
  • Sosis mentah (fresh sausage) yaitu sosis yang diolah tanpa pemanasan, contohnya polish sausage.
  • Sosis yang dimasak dan diasap, contohnya frankfuter, bologna, knackwurst
  • Sosis yang dimasak tanpa diasap, contohnya beer salami, liver sausage
  • Sosis kering, semikering (atau sosis fermentasi), misalnya summer sausage, cervelat, dry salami, pepperoni
  • Produk sejenis sosis yang dimasak, contohnya meat loaves
Dari lima jenis sosis ini, yang umum dijumpai di Indonesia adalah dari jenis yang dimasak dan diasap.

Jika sosis mentah (fresh sausage) harus dimasak hingga matang sebelum dikonsumsi maka sosis fermentasi dapat langsung dimakan tanpa proses pemasakan atau pemanasan. Sosis masak dengan atau tanpa diasap, karena sudah mengalami proses pemasakan pada proses pembuatannya, cukup dipanaskan sebelum dikonsumsi.

Saat ini juga dapat dijumpai sosis yang dapat langsung dikonsumsi tanpa pemanasan. Hal ini dimungkinkan karena sosis dikemas dalam selongsong yang hermetis dan disterilisasi. Berbeda dengan 5 kelompok sosis diatas, kandungan pati didalam sosis steril ini lebih tinggi karena berfungsi sebagai pembentuk tekstur produk.


KANDUNGAN GIZI SOSIS

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. Jika standar ini terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sosis merupakan makanan sumber protein. Hanya saja, karena kadar lemak dan kolesterol sosis yang cukup tinggi, sosis sebaiknya tidak dijadikan menu rutin bagi anak-anak guna mencegah masalah obesitas dan penyakit-penyakit yang mengikutinya, dikemudian hari. Jika anak anda suka makan sosis, sebaiknya anda memilih produk sosis dengan kandungan lemak yang tidak terlalu tinggi (kurang dari 10%). Untuk itu, anda harus jeli membaca kandungan nutrisi pada label.


PENTING DIPERHATIKAN

Jika sosis produksi dalam negeri umumnya diolah dari satu jenis daging (misalnya sosis sapi, sosis ayam), maka sosis dari luar negeri biasanya diformulasikan dari campuran beberapa jenis daging. Hal ini harus diwaspadai bagi yang muslim, karena biasanya dibuat dengan campuran daging babi. Untuk itu, jika anda akan membeli sosis impor, jangan lupa membaca label kemasannya untuk mengetahui jenis daging yang digunakan.

Konsumsi sosis sebaiknya juga dibatasi pada orang-orang yang beresiko mengalami hipetensi. Hal ini karena sosis mengandung sodium yang cukup tinggi.

Produk sosis mengandung nitrit yang berfungsi sebagai pengawet untuk menghambat pertumbuhan spora Clostridium botulinum, membentuk warna merah dan flavor khas pada produk, dan memperpanjang umur simpan. Nitrit harus digunakan dalam jumlah terkontrol (konsentrasi residu nitrit didalam produk maksimum 200 ppm). Kelebihan nitrit didalam produk dapat bereaksi dengan asam amino dari protein selama proses pemanasan, menghasilkan komponen nitrosamin yang bersifat karsinogenik. Oleh karena itu, jika anda ingin membeli produk, belilah yang sudah memiliki ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.


KIAT MENGOLAH SOSIS UNTUK BATITA

Pada dasarnya sosis dapat diolah dengan cara apa saja. Tetapi, untuk balita disarankan tidak digoreng terlalu lama. Suhu yang tinggi dengan waktu penggorengan yang lama tidak dianjurkan karena beresiko membentuk komponen nitrosamin.


CARA MEMILIH SOSIS YANG BAIK
  • Pilih yang masa kadaluwarsanya masih lama dan dipajang di suhu dingin (refrigerator).
  • Pilih sosis yang bebas pewarna atau yang mengandung pewarna yang aman untuk pangan (food grade). Jika anda membeli sosis ternyata daging sosisnya berwarna merah terang, hindari membeli kembali merk tersebut karena bisa jadi produsen menggunakan pewarna dalam jumlah berlebihan atau menggunakan pewarna non pangan.
  • Amati penampakan sosis yang dikemas. Jika terlihat selaput atau lendir tipis seperti susu disekitar sosis, sebaiknya jangan membeli sosis tersebut karena kondisi ini mencirikan sosis yang mulai rusak.
  • Pilih sosis yang aromanya khas daging, tidak ada bau asam atau bau menyimpang lainnya.

CARA MENYIMPAN SOSIS YANG BAIK

Sosis mentah
Simpan di refrigerator (dalam kemasan utuh). Masak sempurna sebelum dikonsumsi. Habiskan dalam waktu 3 hari, atau simpan beku

Sosis masak
Simpan di refrigerator. Habiskan dalam waktu 7 hari setelah kemasan dibuka, atau simpan beku.

Sosis kering
Bisa disimpan di suhu ruang sampai 3 minggu

Sosis semikering
Untuk mutu terbaik, simpan di refrigerasi (tahan sampai 3 minggu)
Produk sejenis yang dimasak Simpan di refrigerator. Habiskan dalam waktu 3 hari setelah kemasan dibuka, atau simpan beku.

Untuk diperhatikan, suhu refrigerasi hendaknya kurang dari 4oC.


CARA PRAKTIS MEMBUAT SOSIS SENDIRI


Anda bisa membuat sosis sendiri yang bebas pengawet (nitrit) dan pewarna. Formula dasar adonan sosis adalah daging bebas lemak, minyak kelapa dan es dengan rasio 2:1:1. Bahan tambahan yang digunakan adalah garam (2% dari berat adonan), Sodium tripoli fosfat (STPP, 0.3% dari total daging dan minyak), bumbu secukupnya (sesuai selera).

Prosedur pengolahannya adalah sebagai berikut:
  • Daging dipotong sekepal-sekepal dan didinginkan di kulkas (2oC) selama semalam, lalu digiling dengan gilingan daging.
  • Daging dimasukan dalam food processor, tambahkan garam, STPP dan ½ bagian hancuran es, lalu dikutter. Selanjutnya, tambahkan es yang tersisa, sambil meneruskan pengkuteran sehingga suhu mencapai sekitar 8oC.
  • Bumbu dan minyak dimasukan belakangan, diikuti dengan pengkuteran cepat. Untuk memperoleh sosis dengan tekstur yang baik penting diperhatikan agar daging segar bermutu baik dan suhu pengkuteran tidak melebihi 12oC.
  • Adonan bisa diwadahi dalam selongsong (sosis) atau loyang cetakan roti (meat loaf)
  • Sosis dimasak dengan cara perebusan atau pengukusan sampai matang (suhu bagian tengah mencapai 70oC). Agar selongsong tidak pecah, maka suhu air atau uap air tidak lebih dari 85oC.
  • Meat loaf dimasak dengan cara pemanggangan di oven pada suhu 150 – 200oC sampai matang (suhu bagian tengah mencapai 70oC).
  • Angkat dan didinginkan