Artikel di dalam Food Review Indonesia
Perhatian masyarakat terhadap produk pangan yang memberikan manfaat bagi kesehatan, semakin meningkat akhir-akhir ini. Pangan fungsional akan terus menjadi tren dalam beberapa tahun ke depan. Peningkatan jumlah penderita obesitas dan overweight merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian paling besar. Hal ini menyebabkan banyak produsen pangan mengembangkan produk pangan untuk pengaturan berat badan.
Penggunaan lupin dalam produk pangan merupakan salah satu topik penelitian yang banyak diteliti. Jonathan Hodgson dari University of Western Australia, baru-baru ini mencoba menggunakan lupin pada produk bakery. Hasilnya adalah, responden yang mengalami obesitas dan overweight -setelah mengkonsumsi lupin enriched bakery- mengalami penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 3,0 dan 0,6 mmHg (Y.P. Lee, et al., 2009).
Lupin merupakan grain legume yang sebenarnya telah digunakan cukup lama sebagai pangan. Namun, manfaat dan nilai gizinya baru diketahui beberapa dekade belakangan ini. Hal ini mungkin karena masih sedikitnya lupin enriched foods yang tersedia secara komersial.
Tim peneliti dari School of Public Health pada Curtin University of Technology Australia, di bawah supervisi Prof. Vijay Jayasena telah mengembangkan beberapa lupin enriched novel healthy foods, baik makanan Asia maupun Barat. Hasilnya adalah, penerimaan konsumen tidak menunjukkan perbedaan dengan produk reguler lainnya. Pengembangan produk tersebut meliputi pasta, roti, mi, tofu, tempe, biskuit, muffin, kue, dan lainnya. Bahkan beberapa produk di antaranya telah diproduksi secara komersial.
Selain memberikan manfaat bagi kesehatan, tepung lupin juga dapat membantu proses pengolahan pangan. Pada roti, tepung lupin dapat mengontrol kelembaban pada bread crumb, membentuk crumb yang lebih padat, mengurangi laju retrogradasi pati, dan memperbaiki struktur crust dan rasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pollard, et al. (2002), subtitusi 5% tepung lupin tidak memberikan pengaruh terhadap volume adonan dan struktur crumb, serta penerimaan oleh panelis. Sedangkan untuk cookies dan biskuit, tepung lupin dapat memperbaiki crispness dan meningkatkan shelf life.
Selama ini, lupin yang berada dalam golongan legumes, dianggap sebagai saingan kedelai di masa mendatang. Asia Tenggara, termasuk Indonesia merupakan negara pengimpor kedelai dan produk turunannya dalam jumlah besar. Sementara itu, sebenarnya ada sumber daya lain yang bisa dimanfaatkan dan cost effective untuk mensubtitusi kedelai dalam berbagai jenis produk pangan. Menurut Prof. Vijay Jayasena, peneliti dari Curtin University of Technology, Perth, Western Australia yang banyak meneliti tentang lupin, legumes ini memiliki karakteristik yang sebanding dengan kedelai, namun memiliki harga yang jauh lebih murah.
Lupin banyak dibudidayakan di Australia. Ada tiga jenis lupin yang cukup populer, yakni Lupinus angustifolius atau sering dikenal dengan sebutan Australian Sweet Lupin (ASL), Lupinus albus (lupin putih), serta Lupinus luteus (lupin kuning).
Komposisi lupin
Pada Tabel 1, ditunjukkan komposisi kimia lupin. Dibandingkan kedelai, lupin memiliki kandungan lemak yang lebih rendah, tetapi memiliki kandungan serat yang lebih tinggi. Protein. Seperti halnya legume yang lain, protein lupin memiliki kandungan asam amino metionin dan cystine yang rendah, dan kandungan lysine yang tinggi. Profil asam amino lupin hampir sama dengan kedelai.
Lemak. Dari segi pengolahan, rendahnya kandungan minyak lupin adalah suatu kekurangan, bila dibandingkan dengan kedelai. Kandungan minyak ASL berkisar 6%, bandingkan dengan kedelai yang mencapai 20%. Namun, dari segi nilai gizi, minyak pada lupin tergolong berkualitas baik. Hal ini dikarenakan tingginya proporsi asam lemak tidak jenuh (34% monounsaturated dan 44% polyunsaturated). Secara ekonomi, dengan jumlah kandungan tersebut tidak menarik untuk diekstraksi, seperti halnya kedelai.
Pengembangan varietas lupin dengan kandungan minyak tinggi merupakan peluang baru untuk masa depan di bidang industri. Pearl lupin (L. mutabilis) yang telah dibudi dayakan cukup lama sebenarnya menawarkan kandungan protein (+ 40%) dan minyak (+20%). Tapi, permasalahannya adalah produksi Pearl lupin secara komersial masih terbatas. Non starch polysaccharides. Karbohidrat pada lupin berada dalam bentuk non-starch polysaccharides (NSP). Tingginya level NSP merupakan salah satu keunggulan lupin jika dibandingkan dengan kedelai. Lupin NSP adalah sumber serat pangan yang baik bagi kesehatan, terutama untuk menurunkan kolesterol dan kadar glukosa darah, serta mengurangi risiko obesitas. Sifat lupin yang tidak berasa dan berbau memungkinkannya untuk digunakan secara luas dalam formula pangan.
Anti-nutritional factors. Seperi halnya legume yang lain, lupin juga memiliki faktor anti nutrisi. Namun, dibandingkan dengan kedelai, ASL memiliki factor anti nutrisi yang lebih rendah.
Komponen bioaktif. Grain legume diidentifikasi sebagai sumber komponen bioaktif yang baik, termasuk fitoestrogen dan fitosterol. Fitoestrogen selama ini diasosiasikan sebagai komponen bioaktif untuk melawan kanker, sedangkan fitosterol untuk mengurangi kadar kolesterol darah. Biji lupin mengandung fitosterol lebih tinggi dibandingkan kedelai, sedangkan kadar fitoestrogennya rendah. Namun, selama sprouting akan terjadi peningkatan baik fitoestrogen dan fitosterol secara signifikan. Selain itu juga terjadi peningkatan senyawa fenolik dan aktivitasnya sebagai antioksidan. Senyawa peptide yang mempunyai aktivitas antihypertensive juga meningkat dalam sprouting lupin (kecambah). Hal itu seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian Rumiyati (staf pengajar Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia) yang sedang menempuh program PhD di Food Science and Technology, Curtin University of Technology, Perth.
Karakteristik fungsional lupin protein isolate
Tepung lupin dapat difraksinasi ke dalam beberapa komponen, seperti Lupin Protein Concentrate (LPC) dengan kadar protein lebih dari 70% (dry basis), Lupin Protein Isolate (LPI) dengan kandungan lebih dari 90% protein (dry basis), dan serat pangan yang bisa diperoleh selama proses isolasi protein. Terdapat beberapa macam metode untuk mengisolasi protein. Namun, metode yang paling cocok untuk skala industri adalah alkali treatment yang diikuti dengan perlakuan isoelectric precipitation. Karakteristik fungsional yang utama dari protein yang penting dalam formulasi pangan antara lain emulsion activity, emulsion stability, foaming capacity, foam stability, water holding capacity, dan gel forming ability.
Emulsifying properties. Contoh dari emulsi pangan adalah es krim, mentega, margarine, saos, mayonnaise, salad dressing, dan frozen dessert.
Protein solubility. Kelarutan merupakan parameter terpenting untuk menentukan apakah protein bisa digunakan dalam produk pangan atau tidak. Kelarutan protein tergantung pada banyak faktor, terutama pH, suhu, dan ionic strength. Profil LPI dan SPI tampak memiliki kelarutan yang sama dengan kisaran pH yang luas.
Water Holding Capacity (WHC). Banyak faktor -seperti keseimbangan hidrofobik-hidrofilik asam amino, ukuran dan bentuk molekul protein- yang mempengaruhi WHC protein. Seringkali, industri pangan lebih suka menggunakan ingridien dengan WHC tinggi dalam formulasinya. Hal ini dikarenakan secara ekonomi akan menguntungkan dengan adanya penambahan air yang diserap, terutama pengaruhnya terhadap berat dan shelf life. Hasil penelitian Jayasena et al. (2004) menunjukkan bahwa WHC LPI lebih baik dari SPI.
Gel forming ability. Gel protein terbentuk akibat pengaruh panas, garam, asam, basa, dan perlakuan kimia. Pemanasan dan pendinginan protein-water systems merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam pembentukan gel di industri pangan. Jayasena et al., (2004) melaporkan, bahwa SPI dan LPI membentuk gel pada konsentrasi 12% dan 16%. Hal ini menunjukkan bahwa, kemampuan pembentukan gel SPI lebih baik dibandingkan LPI.
Selain bisa digunakan pada roti, lupin juga bisa digunakan pada berbagai macam produk pangan. Penelitian mengenai aplikasi lupin terus berkembang hingga saat ini. Salah satunya adalah penggunaan lupin pada pangan fermentasi, seperti tempe, miso, kecap, dan saos. Penelitian penggunaan lupin pada tempe juga melibatkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Proyek kerja sama antara Food Science and Tecnology pada Curtin University of Technology Australia dengan LIPI menginvestigasi kemungkinan penggunaan Lupin dalam produksi tempe. Metode pembuatan tempe lupi yang efektif dan efisien telah berhasil dikembangkan. Tempe lupin tersebut telah dapat diterima dari oleh konsumen.
Lupin juga telah digunakan pada minuman berbasis susu. Susu dengan tambahan lupin telah digunakan di Chili selama beberapa tahun. Susu UHT berbasis lupin tetap diterima selama penyimpanan dua tahun.
Keju, yoghurt, dan tofu dengan subtitusi lupin juga telah diproduksi. Kedelai dapat disubtitusi dengan lupin hingga 30% pada industri tofu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Feldheim (2004), subtitusi tepung lupin hingga 10% pada mi memberikan penampakan, cooking performance, dan daya terima yang lebih baik. Sedangkan pada pasta, penambahan serat lupin sebesar 6% tidak akan mempengaruhi daya terimanya.
Penelitian mengenai lupin saat ini masih terus berlanjut. Dengan sifat fungsionalnya yang unggul, ditambah lagi memiliki nilai gizi yang baik serta harga kompetitif, pemanfaatan lupin dapat memberikan alternatif baru bagi industri pangan, terutama untuk produk-produk berbasis kedelai.