Total Pageviews

Thursday, May 7, 2015

Deep Fat Frying - Penggorengan Dalam Minyak Banyak

Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli di dalam Kulinologi Indonesia, Mei 2015)


Penggorengan pada dasarnya merupakan proses pemanasan dengan menggunakan minyak goreng sebagai media penghantar panas. Ada berbagai teknik penggorengan dan deep fat frying merupakan satu teknik yang paling umum digunakan baik di rumah tangga, jasa boga maupun industri pangan. Produk gorengan sendiri sangat disukai konsumen karena tekstur dan citarasanya. Artikel ini akan mencoba membahas mengenai deep fat frying.

Proses penggorengan dengan sistim deep fat frying

Deep fat frying (DFF) merupakan teknik penggorengan yang menggunakan minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak, selama proses penggorengan berlangsung. Minyak goreng berfungsi sebagai media pemanas. Proses penggorengan berlangsung pada suhu di atas titik didih air, biasanya antara 170°C sampai 190°C. Panas yang dipindahkan dari minyak goreng ke makanan akan membantu dalam pembentukan warna dan flavor. Selama proses penggorengan, terjadi beberapa tahapan berikut:
  1. Penurunan suhu minyak goreng akibat dari masuknya makanan, sementara panas tambahan akan dipasok oleh sumber panas;
  2. Peningkatan suhu makanan yang digoreng;
  3. Perubahan air dipermukaan dan di bagian dalam makanan menjadi uap air;
  4. Pengeringan permukaan (pada produk tebal) atau seluruh bagian produk (pada produk tipis) karena penguapan air yang terjadi secara bersamaan dengan penyerapan minyak;
  5. Terjadinya reaksi antar komponen pangan yang bersama-sama dengan minyak akan membentuk warna, citarasa dan tekstur yang diinginkan.

Suhu proses penggorengan terutama ditentukan oleh karakteristik produk yang diinginkan disamping pertimbangan ekonomis. Suhu tinggi dapat digunakan jika ingin membuat produk gorengan dengan karakteristik permukaan yang kering sementara bagian dalamnya basah. Sebaliknya, jika seluruh bagian produk diinginkan kering selama proses penggorengan, maka suhu penggorengan harus lebih rendah agar air dapat diuapkan secara sempurna sebelum bagian permukaan kering dan membentuk kulit (crust). Sementara itu, jika menggoreng makanan basah yang berpotensi untuk ditumbuhi mikroba patogen, suhu perlu diatur agar bagian pusat (tengah) produk telah memperoleh panas yang cukup untuk membunuh mikroba patogen tanpa merubah karakteristik sensori yang diinginkan. Dari aspek ekonomis, frekuensi penggantian minyak akan meningkat pada penggorengan dengan suhu tinggi. Hal ini karena suhu tinggi mempercepat kerusakan minyak goreng yang ditandai oleh perubahan warna, flavor dan kekentalan minyak.

Lama waktu penggorengan bervariasi antar makanan. Beberapa faktor penentu lamanya waktu penggorengan adalah jenis makanan yang digoreng, suhu proses penggorengan yang digunakan, ketebalan makanan yang digoreng dan karakteristik produk akhir yang diinginkan.

Perubahan produk selama proses penggorengan

Makanan yang digoreng akan mengalami beberapa perubahan baik perubahan kimia ataupun fisik, diantaranya pembentukan kulit (crust), perubahan citarasa, aroma, tekstur, warna, pengurangan kadar air, penyerapan minyak, kerusakan vitamin, gelatinisasi dan denaturasi/koagulasi protein. Secara sensori, produk gorengan bermutu baik akan memiliki warna kuning keemasan, aroma dan citarasa khas produk goreng dan tekstur yang renyah.

Lapisan kulit biasanya terbentuk dipermukaan produk gorengan berukuran tebal, yang disebabkan oleh penguapan air dan pengeringan di permukaan makanan. Lapisan kering tersebut akan membentuk tekstur renyah di permukaan produk gorengan. Sementara itu, pada produk yang tipis, penggorengan akan mengeringkan seluruh bagian produk sehingga didapatkan produk yang renyah.

Warna kuning keemasan pada produk gorengan disebabkan oleh reaksi pencoklatan non enzimatis yang berlangsung secara cepat di permukaan produk. Tekstur produk gorengan sangat dipengaruhi oleh reaksi gelatinisasi pati dan/atau denaturasi/koagulasi protein. Sementara itu, penyerapan minyak goreng yang berlangsung selama proses penggorengan menyebabkan kadar lemak produk akan lebih tinggi dibandingkan bahan awalnya. Penurunan kadar air produk gorengan sangat tergantung pada kadar air awal bahan dan ketebalan produk. Pada produk yang diiris tipis, kadar air produk gorengan bisa turun menjadi 2%. Pada produk yang relatif tebal, penurunan kadar air terutama terjadi di bagian permukaan sementara kadar air di bagian dalam masih relatif tinggi.

Kandungan zat gizi produk akan berubah karena proses penggorengan. Zat gizi yang tidak tahan panas seperti vitamin B1 (tiamin), vitamin C, vitamin E dan lain-lain akan rusak dan jumlahnya menurun akibat proses penggorengan. Walaupun demikian, perubahan ini sangat tergantung pada tebal produk dan laju penggorengan. Potongan yang tebal dan proses penggorengan cepat pada suhu tinggi akan menghambat perubahan pada bagian dalam sehingga akan lebih banyak zat gizi yang dapat dipertahankan.

Secara teori, penggorengan dalam minyak banyak akan menghasilkan produk dengan warna, aroma dan penampakan yang seragam karena menerima panas secara merata. Akan tetapi, ukuran produk perlu diperhatikan agar produk menerima panas secara seragam dan masak secara bersamaan. Keragaman dari ukuran makanan yang digoreng secara bersama-sama akan menyebabkan sebagian makanan mengalami over cooking, sebagian masak sempurna dan sebagiannya under cooking. Bentuk makanan yang digoreng juga perlu diperhatikan. Bentuk yang tidak merata cenderung untuk memerangkap minyak lebih banyak pada saat mereka diangkat dari penggorengan.

Perubahan minyak selama proses penggorengan

Ada banyak hal yang dialami oleh minyak goreng selama proses penggorengan diantaranya pemanasan yang dialami oleh minyak selama proses penggorengan, masuknya uap air, komponen larut lemak dan remah dari makanan ke dalam minyak, dan terjadinya kontak antara minyak dengan oksigen dari udara. Semua kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan pada minyak goreng. Kontak dengan oksigen pada suhu tinggi menyebabkan minyak goreng teroksidasi. Uap air dari makanan yang masuk ke dalam minyak selama proses penggorengan juga akan memicu rentetan reaksi kimiawi lemak. Begitupun dengan komponen larut lemak dan remah yang berasal dari makanan, akan berkontribusi terhadap kerusakan minyak goreng. Seberapa cepat terjadinya proses perubahan minyak sangat tergantung pada frekuensi penggunaan, jenis bahan yang digoreng dan suhu serta waktu penggorengan yang digunakan.

Beberapa komponen di dalam makanan yang digoreng akan berkontribusi pada laju kerusakan minyak goreng. Vitamin larut lemak yang lisis ke dalam minyak goreng akan menghambat atau mempercepat kerusakan minyak goreng tergantung pada sifat antioksidan atau prooksidannya. Kolesterol yang ada didalam bahan pangan hewani dapat lisis ke dalam minyak goreng selama proses penggorengan dan masuk ke dalam produk lain yang digoreng sesudahnya. Komponen pigmen dan atau hasil reaksi pencoklatan Maillard dapat memodifikasi ketahanan minyak terhadap oksidasi dan berkontribusi terhadap pencoklatan minyak. Komponen fenolik yang ada di dalam makanan atau di dalam rempah akan meningkatkan stabilitas minyak goreng selama penggorengan. Komponen volatil dari makanan dengan flavor yang kuat seperti ikan dan bawang akan berkontribusi terhadap pembentukan aroma menyimpang.

Secara fisik, minyak yang telah dipakai menggoreng atau minyak jelantah akan memiliki warna yang lebih gelap, kekentalan yang lebih tinggi dan kadang-kadang dengan flavor yang tidak menyenangkan. Perubahan warna, kekentalan dan flavor minyak pada akhirnya akan memberi efek negatif terhadap karakteristik makanan yang digoreng. Warna, penampilan dan aroma produk menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Minyak yang kental juga akan menurun kemampuannya untuk memanaskan produk dan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah minyak di permukaan maupun yang masuk ke dalam produk goreng. Selain itu, beberapa komponen hasil degradasi minyak selama pemanasan juga memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan. Karena itu, sangat dianjurkan untuk tidak menggunakan minyak yang telah mengalami perubahan fisik.

Mutu produk gorengan

Dengan penggunaan suhu yang tinggi, proses penggorengan tidak hanya memanaskan dan memasak makanan yang digoreng tetapi juga mengeringkannya. Proses pemanasan pada suhu tinggi akan membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim yang ada di dalam makanan. Tergantung pada tebal tipisnya makanan yang digoreng, pengeringan dapat mengeringkan bagian permukaan (untuk produk yang tebal) atau seluruh bagian produk (untuk produk yang tipis). Pada bagian yang kering, akan terjadi penurunan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (dinyatakan sebagai nilai aw atau aktivitas air) dan kondisi ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mikroba.

Faktor pembatas untuk penyimpanan produk gorengan adalah kadar air produk setelah proses penggorengan. Penyerapan air kembali setelah proses penggorengan akan menyebabkan kadar air produk meningkat dan produk kehilangan sifat renyahnya. Untuk memperpanjang umur simpannya, diperlukan kemasan yang dapat menghambat migrasi uap air ke dalam produk sehingga kadar air dapat dipertahankan.

Produk berukuran tebal yang digoreng tidak dapat bertahan lama jika disimpan di suhu ruang karena kadar air rendah hanya di permukaan produk sementara bagian dalam masih basah. Kondisi ini dapat memicu pertumbuhan bakteri patogen dan/atau pembusuk di bagian dalam produk. Untuk memperpanjang umur simpan dari produk gorengan seperti ini, maka penyimpanan dilakukan pada suhu tinggi (65°C) atau suhu rendah (suhu dingin (4°C) atau suhu beku (-18°C) jika diinginkan umur simpan yang lebih panjang).

Oksidasi lemak menjadi masalah lain selama penyimpanan produk gorengan. Masalah ini biasanya muncul pada produk snack (irisan tipis) atau produk gorengan yang disimpan beku. Pengemasan dengan menggunakan kemasan vakum dan/atau kemasan yang diisi gas inert seperti nitrogen dapat menghambat reaksi oksidasi lemak dan memperpanjang umur simpan produk.