Pages

Thursday, May 10, 2012

Makan Kenyang dengan Beras Tiruan


Apa jadinya jika nasi yang kita makan bukan berasal dari beras? Tapi bentuknya sama seperti beras.  Peneliti Institut Pertanian Bogor baru-baru ini melahirkan produk pangan alternatif mirip beras, yang diberi nama 'beras analog'.   Apa Keunggulan dari beras tiruan ini? Direktur Technopark IPB, Slamet Budijanto, memaparkannya dalam perbincangan berikut ini.

Apakah sama dengan tepung-tepung yang sudah ada bahwa itu hasil kombinasi dari berbagai tepung terus dibuat seperti beras begitu? apa keistimewaan dari produk ini?

Jadi sebetulnya tepatnya produk pangan irit beras. Artinya bentuknya persis beras, kemudian rupanya saja yang tidak persis sama beras, karena bahannya dari tepung-tepung yang warnanya bisa macam-macam. Jadi benar-benar kita desain untuk menggunakan tepung selain beras dan selain tepung terigu.

Apakah produk ini sudah bisa diproduksi secara massal?

Jadi penelitiannya dalam skala pabrik kecil. Karena kebetulan kita mempunyai mesin yang skalanya besar, jadi penelitiannya dalam skala besar bukan skala lab yang 100 gram, kalau kita membuat formula ini skalanya 5 kilogram. Jadi belum diproduksi tapi bisa menuju ke arah sana.


Sudah layak konsumsi?

Sudah. Kemarin 20 orang wartawan datang kita sajikan, jadi kita masak  beras yang unik.

Kalau melihat komposisinya campuran-campuran begini apakah kadar-kadar kandungan dari vitamin dan protein juga menyusut?

Kalau berasnya cukup tidak masalah, yang jadi masalah karena kita menggantungkan pada beras, jadi beras itu menjadi komoditas. Jadi kurang sedikit saja sudah ribut, padahal kita punya sumber karbohidrat selain beras itu sangat banyak sekali dan itu bisa dibuat beras. Kalau masalah kekhawatiran gizi itu justru kita bisa membuat beras ini bisa lebih baik dari beras aslinya, misalkan protein kita bisa lebih banyak dari beras aslinya tidak masalah, itu gampang.

Kalau soal rasanya bagaimana?

Rasanya sama. Jadi kemarin yang kita sajikan itu yang pulen, tapi kalau misalkan untuk nasi goreng yang pera’ juga bisa dengan mengatur komposisinya kita bisa buat macam-macam.

Jadi kapan akan diproduksi massal?

Saya kemarin dari Surabaya, sebenarnya yang menghubungi saya sudah ada tiga calon investor tertarik untuk memproduksi ini. Kemudian kemarin saya meeting dengan salah satu investor di Surabaya, dia sangat tertarik dan dia mau siapkan pabriknya, kemudian kita lagi search seberapa banyak dukungan bahan baku yang bisa kita gunakan, rencananya tahun ini.

Bagaimana dengan harganya?

Jadi kita bidikan nanti beras sehat, jadi segmentasinya menengah dulu ke atas. Kenapa, karena kalau kita tarik ke menengah ke bawah, nanti takut kita gagal, dulu pada tahun 70-an kita pernah buat beras seperti ini tapi segmentasinya menengah bawah. Orang menengah bawah beras itu status sosial, jadi kalau sudah makan beras nanti pindah dianggapnya miskin lagi. Tapi kalau orang menengah atas beras itu bukan status sosial jadinya gampang, saya perkirakan harganya antara Rp 9 ribu sampai Rp 14 ribu dan itu untuk beras sehat jauh lebih murah daripada beras sehat yang tersedia sekarang. Katakanlah beras yang dari India yang untuk diabets itu harganya Rp 35 ribu atau berapa, ini kita bisa jauh lebih murah, nanti kalau sudah massal mestinya bisa turun lagi.

Apakah ada BUMN yang tertarik untuk mengembangkan ini?

Jadi kemarin itu Pak Menteri ceramah di IPB, waktu itu Pak Dahlan menantang siapa yang bisa membuat beras. Kebetulan yang kerjakan tiga mahasiswa S1 saya untuk tugas akhir, sebetulnya penelitiannya dari 2011, dananya dari Kementerian Riset dan Teknologi tapi 2011 belum jadi berasnya, bentuknya seperti pelet tidak runcing. Kemudian Februari kemarin titik kritisnya sudah sudah kita kuasai, ada tiga orang anak-anak saya ini pada waktu Pak Dahlan datang ada kesempatan bertanya, disampaikan oleh anak bimbing saya dan akhirnya tiga orang ini diberangkatkan ke luar negeri hadiahnya oleh Pak Dahlan.