Total Pageviews

Friday, May 22, 2009

Keracunan Pangan Tak Hanya Sebabkan Diare

Dr Ratih Dewanti-Hariyadi

PENYAKIT karena pangan (foodborne diseases) yang lebih dikenal sebagai keracunan makanan, dapat disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, protozoa, cacing) maupun bahan kimia (residu pestisida, logam berat, bahan tambahan ilegal, mikotoksin, dan sebagainya). Meskipun di Indonesia kasus-kasus penyakit asal pangan belum lengkap datanya, kasus keracunan pangan bisa disebut fenomena gunung es karena pangan dikonsumsi setidaknya tiga kali sehari.

Apa penyebab utama penyakit asal pangan di Indonesia? Mengingat di negara maju yang bersanitasi tinggi masih melaporkan patogen sebagai penyebab utama kasus penyakit asal pangan, bisa diasumsikan bahwa kemungkinan besar di Indonesia pun didominasi patogen asal pangan (foodborne pathogen).

Penyakit akibat makanan tercemar patogen umumnya ditandai dengan terganggunya fungsi-fungsi saluran pencernaan. Gejala yang lazim muncul adalah diare. Di Indonesia banyak kasus diare ringan tidak dilaporkan, bahkan oleh sekelompok masyarakat diare tidak dianggap sebagai penyakit. Diare pada anak-anak misalnya, sering diartikan sebagai "tanda-tanda" anak mau tumbuh.

Padahal diare juga bisa bersifat fatal, kolera misalnya. Jadi diare sebenarnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Diare yang berlebihan menguras cairan tubuh dan beberapa di antaranya diikuti sekuelae atau gejala ikutan lainnya yang fatal.

Beberapa patogen menimbulkan penyakit di organ tubuh lain di samping saluran pencernaan. Gagal ginjal, keguguran kandungan, dan bayi lahir mati (stillbirth) misalnya, dapat disebabkan oleh patogen asal pangan.

Salah satu contoh adalah virus polio, lazim ditemukan dalam susu mentah dan banyak menyebabkan penyakit sebelum konsep pasteurisasi (pengawetan dengan panas) dikenal.

Saat ini, virus asal pangan yang paling dominan di negara-negara maju adalah virus Norwalk-like yang sering menyebabkan diare melalui konsumsi salad maupun kerang-kerangan.

***

SECARA umum penyakit karena patogen asal pangan digolongkan dalam dua kelompok yaitu infeksi dan intoksikasi.

Infeksi adalah penyakit asal pangan yang paling banyak diketahui dan telah lama dipelajari. Infeksi terjadi karena masuknya patogen hidup seperti virus, bakteri, protozoa, dan cacing melalui bahan pangan. Patogen yang bertahan melalui asam lambung dan mencapai usus akan berusaha memulai komunitas baru.

Beberapa bakteri sebenarnya tidak tahan pH lambung. Namun, jika terdapat dalam jumlah besar atau terlindung oleh kandungan lemak yang tinggi pada makanan, bakteri yang berhasil mencapai usus akan berusaha hidup dan mengganggu kesehatan manusia sebagai inangnya.

Begitu masuk tubuh, virus akan mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam DNA sel manusia. Jika berhasil mengekspresikan gen, membuat cukup kopi, serta selubung protein, virus dapat memperbanyak diri dan melumpuhkan sel manusia yang ditumpanginya.

Bakteri umumnya berusaha menempel dan memperbanyak diri pada usus sebelum mengganggu sistem saluran usus. Sebagian bakteri menempel melalui fimbriae spesifik pada usus manusia (juga hewan) dan kemudian mengganggu sistem pencernaan. Hal ini terjadi pada bakteri-bakteri kelompok Escherichia coli Enteropatogenik, Campylobacter jejuni, Yersinia enterocolitica, dan lain-lain.

Beberapa bakteri mengganggu sistem absorbsi cairan dalam usus melalui toksin yang dibentuk dalam saluran usus. Inilah yang disebut toksoinfeksi dan contohnya adalah diare oleh Escherichia coli Enterotoksigenik (ECET) maupun kolera oleh Vibrio cholerae.

Salah satu toksin ECET dan toksin kolera bahkan memiliki kesamaan secara imunokimia, sehingga antibodi yang dihasilkan saling menetralisir satu sama lain. Toksin LT dari ECET dan toksin kolera bekerja mengganggu keluar masuknya air dan mineral pada usus.

Beberapa jenis bakteri dan toksin bakteri lain tidak hanya beroperasi di usus, tetapi masuk aliran darah dan mengganggu fungsi organ tubuh lainnya.

Salmonella typhi, bakteri penyebab demam tifoid (tifus) misalnya, mampu menembus dinding usus dan dapat ikut aliran darah, bahkan "bersembunyi" dalam sel makrofag manusia yang mestinya bertugas menelan dan membunuhnya. Karena sifatnya ini, gejala tifus dapat bersifat sistemik, menjalar di berbagai organ tubuh. Keberadaan S typhi dalam makanan hampir dapat dipastikan berasal dari kontaminasi makanan oleh pekerja atau air yang mengandung cemaran kotoran manusia.

Listeria monocytogenes juga demikian. Bakteri yang suka suhu dingin ini bahkan dapat menembus plasenta sehingga bisa terjadi keguguran maupun bayi lahir mati.

***

KASUS keracunan dengan tingkat fatalitas 33,3% banyak dilaporkan di Kanada dan Amerika. Bahan pangan yang diduga menjadi penyebabnya adalah keju lunak (soft cheese) dari susu tak dipasteurisasi.

Kasus pertama yang dilaporkan banyak merenggut nyawa ibu dan bayi terjadi di California karena konsumsi keju lunak Jalisco, sejenis keju ala Meksiko. Karena itu, di beberapa negara maju ibu hamil disarankan tidak mengonsumsi keju lunak.

Kasus listeriosis di Kanada yang memakan banyak korban juga pernah diakibatkan oleh konsumsi coleslaw (salad kubis) yang bahan bakunya tercemar bakteri L monocytogenes.

Mekanisme lain bakteri mengganggu kesehatan adalah dengan tidak meninggalkan usus, tetapi menghasilkan toksin yang dapat menembus usus dan mengganggu fungsi organ lainnya. Contohnya adalah Escherichia coli golongan Escherichia coli Enterohemoragik (ECEH). Kelompok bakteri ini menghasilkan toksin Shiga yang menyerupai toksin Shigella dysenteriae, yang juga disebut Verotoxin karena membunuh sel kultur jaringan ginjal kera hijau afrika (Vero).

Keracunan bakteri ini menyebabkan gejala diare berdarah tanpa atau dengan demam ringan. Pada anak balita, gejala dapat diikuti gagal ginjal karena toksin Shiga dapat merusak organ ginjal. Beberapa korban dilaporkan mengalami gagal ginjal dan seumur hidupnya harus menjalani cuci darah.

Awal tahun 80-an, keracunan oleh kelompok bakteri ini dikaitkan dengan konsumsi hamburger yang tidak cukup diolah (dipanaskan), namun belakangan banyak dilaporkan keracunan ECEH melalui air, susu, bahkan cider apel. Keracunan ECEH juga terjadi pada ratusan anak sekolah di Jepang yang makan siangnya tercemar bakteri ini.

Infeksi parasit seperti protozoa dan cacing umumnya karena tertelannya cyst (bentuk dorman) patogen melalui makanan. Kondisi usus yang relatif ideal dengan nutrien, pH maupun suhu, merangsang cyst membentuk sel utuhnya. Beberapa cacing dapat menginfeksi dan sekaligus hidup pada organ selain usus seperti hati.

Cyst protozoa maupun cacing tidak tampak mata dan dapat mencemari makanan asal tumbuhan maupun hewan. Di dalam makanan, cyst bisa dihilangkan melalui pemanasan maupun pembekuan. Membekukan daging selama lima hari pada suhu -20oC misalnya, dapat menghilangkan cyst protozoa dan cacing.

***

INTOKSIKASI adalah penyakit akibat masuknya toksin melalui bahan pangan ke dalam tubuh. Ada toksin alami dari bahan pangan tersebut, dari bakteri atau kapang, lingkungan, atau pestisida.

Peristiwa intoksikasi toksin bakteri berbeda dengan mekanisme infeksi. Dalam hal intoksikasi pangan oleh toksin bakteri, bakterinya tidak harus ada di bahan pangan. Beberapa jenis bakteri yang tumbuh dan berkembang biak dalam makanan dapat membentuk toksin. Bila makanan ditelan, toksin dapat mengganggu kesehatan.

Berbeda dengan peristiwa infeksi di mana sel bakteri harus berkembang biak lebih dahulu, intoksikasi tidak memerlukan tumbuhnya bakteri dalam tubuh manusia. Karena itu, onset time (jarak waktu konsumsi dan timbulnya gejala penyakit) intoksikasi umumnya lebih singkat daripada infeksi.

Toksin yang dihasilkan bakteri dapat berupa toksin emetik (dihasilkan bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus), toksin penyebab diare (B cereus), sampai toksin penyerang sistem saraf seperti botulin dari Clostridium botulinum.

Meskipun toksin emetik S aureus dan B cereus sama-sama protein dan membuat muntah yang mengonsumsinya, kedua toksin dilaporkan sebagai dua protein berbeda.

Toksin emetik S aureus terdiri dari berbagai jenis dan umumnya tahan pemanasan. Sekali terbentuk dalam makanan, sukar dihilangkan. Kasus keracunan karena toksin ini banyak diakibatkan oleh konsumsi sandwich isi daging olahan saat piknik, karena daging dipersiapkan beberapa jam sebelum dikonsumsi. Sumber S aureus terbesar adalah tangan dan rongga hidung, sehingga kebiasaan buruk seperti menyentuh hidung, batuk, atau menggaruk muka saat mengolah makanan harus dihindarkan.

Botulin, juga dikenal sebagai botox, adalah toksin bakteri paling mematikan yang dapat terbentuk pada makanan kaleng yang tidak diproses dengan benar atau cukup dipanasi. Bakteri penghasil botulin, C botulinum, banyak terdapat di tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun peternakan. Sifatnya yang anaerob obligat (hanya tumbuh dalam kondisi bebas oksigen) membuatnya tumbuh dan berkembang biak dalam makanan kaleng.

Intoksikasi dapat pula disebabkan oleh berbagai toksin kapang atau jamur (mikotoksin) yang terbentuk dalam bahan pangan. Biji-bijian yang tidak dipanen pada saat tepat, dikeringkan asal-asalan atau tidak disimpan dengan baik bisa menumbuhkan kapang.

Jika tersedia gizi, air, dan suhu yang tepat, maka kapang dapat membentuk metabolit sekunder berupa toksin. Toksin kapang, yang umumnya bukan protein, sangat tahan panas dan perlu suhu amat tinggi 150-2000C untuk memusnahkannya. Artinya, adanya mikotoksin dalam bahan baku tidak dapat dihilangkan melalui proses pengolahan apa pun.

Salah satu mikotoksin yang paling banyak diketahui karakteristiknya adalah aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus flavus. Aflatoksin dapat mengakibatkan kanker hati sehingga kadarnya dalam makanan harus diupayakan serendah mungkin.

Peraturan internasional menurut Codex, mengharuskan kandungan aflatoksin maksimal 15 ppb pada biji-bijian. Aflatoksin bisa ditemukan pada kacang-kacangan, biji jagung, dan produk olahannya. Aflatoksin juga mungkin terdapat pada susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin.

Kompas 15 Des 2002