Sebenarnya, masalah penggunaan bahan tambahan ilegal didalam pangan telah sejak lama didengungkan oleh banyak pihak, baik dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Perguruan Tinggi maupun oleh Yayasan Lembaga Konsumen. Tetapi, karena masyarakat konsumen belum memahami bahaya kegunaan bahan ilegal ini, ditambah dengan hukum yang tidak secara tegas menjerat produsen bermasalah, maka produsen bermasalah tetap bisa menggunakan bahan ilegal ini karena konsumen toh tidak mempermasalahkannya.
Heboh di seputar penggunaan formalin pada bahan pangan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh konsumen pangan di Indonesia. Tingkat kesadaran akan pentingnya kesehatan dijaman serba mahal ini, ditambah dengan publikasi yang terus-menerus dari media massa mengenai bahaya penggunaan bahan ilegal, menyebabkan konsumen beramai-ramai menolak makanan yang diduga sering ditambahkan dengan bahan ilegal termasuk formalin yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Hal ini memberi pukulan sangat hebat untuk industri-industri yang ditenggarai sering menggunakan formalin dalam produknya.
Seiring dengan ramainya publikasi mengenai bahaya formalin, saat juga ramai dibicarakan atau dipromosikan bahan-bahan pengawet alternatif pengganti formalin. Sebagian besar alternatif yang disodorkan merupakan pengawet alami. Tetapi, sebetulnya ada banyak pertanyaan diseputar bahan-bahan pengawet ini, seperti: benarkah bahan-bahan pengawet yang disodorkan ini mampu memperpanjang umur simpan bahan pangan segar seperti halnya formalin? Seperti diketahui, formalin dapat memperpanjang umur simpan bahan pangan mentah sampai berhari-hari pada suhu ruang. Sesuatu hal yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh pengawet legal yang diijinkan penggunaannya didalam makanan. Pertanyaan berikutnya, apakah pengawet tersebut efektif untuk semua bahan pangan? Apakah bahan ini tidak menyebabkan perubahan citarasa bahan makanan yang diawetkannya? Dan yang penting lagi, apa komponen aktif didalamnya? Apakah sudah teruji keamanannya terhadap manusia? Sehingga, jangan sampai penggunaannya dikemudian hari malah memicu masalah baru.
PENGAWET: SENYAWA ANTIMIKROBA
Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Sejarah penggunaan pengawet didalam bahan pangan sendiri bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan).
Penggunaan antimikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan. Pemilihan dan penggunaan antimikroba perlu mempertimbangkan banyak faktor, dan semua kembali pada keseimbangan dari resiko dan keuntungan. Faktor-faktor pertimbangan untuk memilih antimikroba yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain antimikroba; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba didalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk.
Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa antimikroba yang diinginkan adalah yang luas, meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroba, tetapi penghambatan suatu mikroba kadang-kadang menyebabkan mikroba lain didalam produk tersebut menjadi dominan. Karenanya, senyawa antimikroba untuk suatu produk sebaiknya aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam produk itu.
Antimikroba mengawetkan produk pangan dengan cara menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba target. Penggunaan pengawet untuk jangka waktu yang lama didalam suatu produk pangan, dapat menyebabkan kematian mikroba atau bisa juga menyebabkan mikroba tumbuh kembali. Cara kerja senyawa antimikroba sendiri bermacam-macam, yaitu: menghambat sintesa dinding sel bakteri; bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan bahan-bahan penyusun seluler; inaktifasi enzim esensial serta merusak sintesa protein dan asam nukleat. Mengetahui mekanisme kerja dari antimikroba dan bagaimana pengaruhnya terhadap mikroba akan sangat membantu dalam menilai efisiensi dan kegunaan dari suatu antimikroba. Umumnya, antimikroba yang bereaksi dengan membran sel mempunyai spektrum antimikroba yang luas.
Spektrum antimikroba, cara kerja dan efisiensi senyawa sangat tergantung kepada sifat fisikokimia senyawa tersebut. Polaritas senyawa merupakan sifat fisik yang penting. Sifat hidrolik diperlukan untuk menjamin senyawa larut didalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel yang hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik; sehingga senyawa memerlukan keseimbangan hidrofilik-hidrofobik untuk mencapai aktifitas yang optimal. Sifat-sifat lain yang perlu diketahui misalnya titik didih senyawa, kemampuan terionisasi dan reaktifitasnya dengan komponen makanan.
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba didalam bahan pangan sangat tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas, komposisi nutrisi didalam bahan pangan, juga tergantung pada faktor lainnya seperti kondisi suhu dan proses pengolahan, pengemasan serta penanganan pasca pengolahan.
ANTIMIKROBA ALAMI
Pengawet kimia selama ini umum digunakan sebagai barier tambahan untuk membatasi jumlah mikroorganisme yang hidup didalam pangan. Kekhawatiran konsumen terhadap bahaya keracunan yang mungkin terjadi karena penggunaan pengawet kimia yang berlebihan, memaksa industri pangan untuk menghindari penggunaan pengawet kimia pada produknya, atau mencari alternatif lain yang lebih alami untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan produk.
Sejak lama telah disadari, bahwa banyak bahan alami memiliki aktivitas menghambat mikroba, yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya. Laporan tertua tahun 1550 SM menyebutkan bahwa masyarakat Mesir kuno telah menggunakan rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi.
Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah (seperti jahe, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya) maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa hasil penelitian in vitro terhadap efek anti bakteri dan anti kapang bahan alam yang dilakukan dibeberapa perguruan tinggi Indonesia.
BAGAIMANA PELUANG APLIKASI ANTIMIKROBA ALAMI KE DALAM PANGAN?
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada umumnya menunjukkan bahwa secara in vitro, beberapa bahan alam berpotensi menjadi antimikroba masa depan. Tetapi, jalan untuk aplikasi bahan tersebut ke dalam pangan masih sangat panjang. Dibutuhkan banyak penelitian lanjutan sebelum menyimpulkan bahwa bahan antimikroba atau pengawet alami ini dapat diproduksi secara komersial dan aman terhadap konsumen jika diaplikasikan kedalam bahan pangan.
Tabel 1. Bahan alami di Indonesia yang mempunyai efek antimikrobaa)
No | Bahan | Bagianb) | Efekc) |
1 | Andalehat (Chrysophyllum roxburghii G. Don) | Buah | 1 |
2 | Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C) | Buah | 1 |
3 | Antarasa (Litsea cubeba) | Buah | 1 |
4 | Atung (Parinarium glaberimum Hask.) | Buah | 1, 2 |
5 | Bawang putih (Allium sativum L.) | Umbi | |
6 | Belimbing (Averrhoea carambola L) | Daun | 1 |
7 | Cendana wangi (Santalum album L.) | Kayu | 2 |
8 | Delima (Punica granatum L.) | Buah | 1 |
Getah | 1 | ||
9 | Jambu biji (Psidium guajaya L.) | Daun | 1 |
10 | Jambu mede (Anacardium occidentale L) | Daun | 1 |
Biji | 1 | ||
11 | Kantil (Michelia champaca L.) | - | 1 |
12 | Kecombrang | Bunga | 1 |
13 | Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) | Kulit batang | 1 |
14 | Kelor (Horinga oleifera Lamk.) | Akar | 1 |
15 | Kemukus (Piper cubeba L.) | Buah | 1 |
16 | Kitosan, hasil deasetilasi kitin yang terdapat pada cangkang udang | - | 1, 2 |
17 | Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) | Daun | 1 |
18 | Kunyit (Curcuma domestica Val.) | Akar | 1, 2 |
19 | Lengkuas (Languas galanga Stunz.) | Akar | 1, 2 |
20 | Lengkuas malaka (Alpinia galanga L) | Akar | 1, 2 |
21 | Mobe (Ficus sp.) | Buah | 1 |
22 | Salam (Syzigiym polyanthum(Wight) Walp) | Daun | 1 |
23 | Sirih (Piper betle L.) | Daun | 1, 2 |
24 | Suji (Pleomale angustifolia M.E Brown) | Daun | 1 |
25 | Temu giring (Dysoxylum ammoroides Mig) | Akar | 2 |
Daun | 1 | ||
26 | Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza) | Akar | 1, 2 |
a) Dari berbagai sumber
b) Bisa dalam bentuk hancuran, atau ekstrak atau keduanya
c) 1 = anti bakteri ; 2 = anti kapang
Pada bahan yang menunjukkan aktivitas antimikroba dibutuhkan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui komponen aktif antimikrobanya. Harus dianalisis pula spektrum antimikroba bahan tersebut, apakah luas (untuk banyak mikroba) atau sempit (hanya untuk mikroba tertentu); lalu bagaimana mekanisme pengawetan-nya, apakah sekedar menghambat atau sampai membunuh mikroba target serta berapa besar konsentrasi komponen ini yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroba targetnya.
Jika suatu bahan mempunyai aktivitas antimikroba, biasanya komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat antimikroba tersebut terdapat didalam bahan dalam jumlah relatif kecil. Hal ini menyebabkan bahan tersebut tidak efektif untuk digunakan sebagai pengawet pangan jika digunakan dalam bentuk hancuran segarnya, karena jumlah yang dibutuhkan akan sangat banyak untuk bisa bekerja efektif sebagai pengawet. Selain sukar mencari bahan tersebut dalam jumlah besar, faktor biaya, kesukaran dalam penggunaan dan penanganannya serta perubahan rasa bahan pangan karena berinteraksi dengan aroma dan flavor bahan tersebut akan menjadi kendala lain dalam pemanfaatannya.
Agar pengawet alami bisa dimanfaatkan secara komersial, maka perlu dicari cara ekstraksi yang bisa mengoptimumkan pengambilan komponen aktif tersebut. Dalam bentuk ekstraksi, akan memudahkan produsen mengaplikasikan pengawet tersebut pada produk mereka. Disini, faktor biaya ekstraksi akan menjadi faktor penentu harga dari ekstrak pengawet tersebut. Jika biaya ekstraksi mahal, tentu akan berimbas ke harga jual pengawet dan selanjutnya akan mempengaruhi pangsa pasar pengawet itu sendiri: apakah akan dijual ke produsen kelas menengah ke bawah atau kelas atas.
Selanjutnya, jika komponen antimikroba ini diaplikasikan ke bahan pangan, apakah dia efektif untuk semua bahan pangan? Bagaimana interaksinya dengan komponen yang ada di dalam bahan pangan? Adakah komponen pangan yang dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan aktivitasnya? Bagaimana pengaruh kondisi proses pengolahan, pengemasan dan suhu penyimpanan produk terhadap aktivitas antimikroba? Apakah dia tahan terhadap kondisi-kondisi proses tersebut atau jangan-jangan aktivitasnya malah hilang? Berapa lama dia mampu memperpanjang umur simpan produk yang diawetkannya?
Yang perlu diketahui adalah tidak semua pengawet efektif untuk semua bahan atau produk pangan. Pengawet memiliki persyaratan kondisi tertentu untuk bisa bekerja sebagai pengawet. Sebagai contoh, pengawet asam benzoat yang umum digunakan sebagai pengawet saat ini, sebenarnya hanya efektif sebagai pengawet pada bahan pangan yang asam (pHnya rendah). Sehingga, jika ada produsen mie yang menggunakan asam benzoat sebagai pengawet mie yang diproduksinya, hal ini merupakan pekerjaan yang sia-sia karena asam benzoat tidak bisa bekerja sebagai pengawet didalam mie yang tidak asam (pH mie sekitar 6).
Perlu juga dilihat apakah komponen ini mempengaruhi aspek sensorik produk yang diawetkannya. Pengawet juga tidak bisa diaplikasikan ke bahan atau produk pangan jika dia menyebabkan perubahan citarasa produk. Sebagai contoh, penambahan kitosan yang larut asam sebagai pengawet mie mungkin akan merubah rasa dari mie menjadi asam. Kondisi ini akan menyebabkan konsumen menolak produk tersebut. Kendala terbesar dari aplikasi ekstrak rempah kedalam produk pangan adalah karena flavor dan warnanya yang biasanya menyebabkan perubahan rasa dan warna produk yang diawetkannya.
Aspek penting lain yang juga perlu dipertimbangkan sebelum suatu bahan antimikroba diproduksi secara komersial adalah bagaimana aspek keamanannya terhadap kesehatan konsumen. Untuk membuktikan hal ini, perlu adanya uji toksikologi dari komponen aktif antimikroba tersebut. Banyak senyawa kimia yang menunjukkan potensi sebagai antimikroba, tetapi hanya sedikit yang digunakan di dalam pangan karena alasan keamanan pangan atau karena tidak aktif didalam model makanan walaupun aktif secara in vitro.
Saat ini, perhatian terhadap antimikroba alami semakin meningkat karena dianggap lebih baik, khususnya ditinjau dari keamanan pangan. Meskipun demikian, beberapa komponen yang memberikan efek antimikroba, mungkin menyebabkan efek lain yang tidak menguntungkan terhadap pangan, misalnya toksik atau meningkatkan sifat karsinogen komponen yang lain. Sebagai contoh, senyawa allyl isothiocyanate didalam allyl mustrad oil dalam jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih dan juga bersifat karsinogen terhadap tikus.
Setelah semua pertanyaan diatas dapat dijawab dan hasilnya membuktikan bahwa komponen aktif antimikroba dari suatu bahan alami tersebut merupakan sumber antimikroba masa depan, maka diperlukan rekomendasi dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan sebelum produk pengawet (antimikroba) alami ini dapat dilepas ke pasaran.
Penelitian di tingkat perguruan tinggi selama ini sebagian besar terhenti hanya sampai tingkat uji potensi antimikroba terhadap mikroba secara in vitro dan mencari cara produksi antimikroba pada tingkatan skala laboratorium. Dibutuhkan penelitian berkelanjutan dengan dana yang tidak bisa dibilang kecil sampai peneliti benar-benar bisa menghasilkan antimikroba alami yang secara komersial bisa dilempar ke pasar. Permasalahannya sekarang, siapa yang akan membiayai penelitian lanjutan seperti ini? Adakah industri yang mau bergandeng tangan dengan peneliti untuk mewujudkan hal ini?