(Artikel dimuat dalam Food Review Indonesia, Februari 2013)
Generally most flavor components in food
are highly volatile and chemically unstable. To overcome these problems,
encapsulation techniques has become popularly used. Flavor encapsulation is a
process to entrap flavor compounds (core material) within a carrier (wall) material. Most of encapsulates are spray-dried ones,
rest of them are prepared by spray-chilling, freeze-drying, melt extrusion and
melt injection. Starch and modified
starch are commonly used as wall materials.
Starch presents some advantages as it is cheap, available in large
quantities, fully biodegradable, food grade and can be easily modified.
Dalam
suatu produk pangan, flavor berperan penting untuk memenuhi kepuasan konsumen
dan mempengaruhi keberlanjutan konsumen untuk mengkonsumsi produk. Terkait
dengan mutu dan penerimaan produk, maka stabilitas flavor di dalam berbagai
produk menjadi sangat penting untuk diperhatikan.
Sebagian
komponen flavor mungkin terpapar suhu tinggi (diatas 150°C) atau diaplikasikan
pada produk dengan konsentrasi asam tinggi (pH kurang dari 4). Sebagai contoh, produk pastry banyak yang
terekspos dengan suhu oven: dari 149 sampai 205°C selama 5 – 90 menit. Beberapa produk minuman yang membutuhkan
penambahan flavor memiliki pH sekitar 2,8.
Flavor yang ditambahkan ke dalam seasoning kadang diaplikasikan pada
salad buah yang kisaran pH-nya sekitar 2,6 – 4,6.
Banyak
komponen kimia yang bertanggung jawab terhadap flavor bersifat tidak stabil dan
sulit untuk dikendalikan. Volatilitasnya
yang tinggi menyebabkan komponen flavor banyak yang menguap selama proses
penanganan dan pengolahan. Selain itu,
kondisi proses pengolahan, penyimpanan, ingredien produk dan jenis (bahan)
kemasan yang digunakan dapat menyebabkan modifikasi flavor karena terjadinya
penurunan intensitas komponen aroma dan/atau terbentuknya komponen off
flavor. Kondisi asam, penggunaan suhu
tinggi, kontak dengan cahaya, oksigen atau interaksi dengan komponen lain
menyebabkan modifikasi flavor melalui reaksi-reaksi kimia seperti hidrolisis,
rearrangement, polimerisasi dan oksidasi.
Sebagai contoh, bau mirip bensin akan terdeteksi pada jahe yang terpapar
dengan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan akibat konversi dari
α-terpinyl acetate menjadi p-cymene.
Proses
enkapsulasi dilakukan untuk membatasi proses degradasi atau kehilangan flavor
selama proses pengolahan dan penyimpanan. Selain itu, proses enkapsulasi mengubah bentuk
komponen flavor dari cair dan/atau gas menjadi bentuk powder yang mudah
mengalir, juga melindungi flavor dari interaksi yang tidak menguntungkan dengan
komponen pangan lainnya dan meminimumkan interaksi antar komponen flavor.
Diantara
berbagai bahan dinding atau matriks tersebut, pati memiliki beberapa keunggulan
untuk dikembangkan sebagai bahan dinding, yaitu harganya yang relatif murah,
tersedia dalam jumlah besar, bersifat biodegradable dan mudah dimodifikasi
untuk perbaikan karakteristik fisiko-kimianya.
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai aplikasi pati dan bentuk
modifikasinya, terutama pati suksinat, dalam enkapsulasi flavor.
Proses Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah teknik
pengemasan bahan inti (bisa berupa partikel padat, cair
atau gas) di dalam suatu bahan sekunder pelapis (dinding). Bahan
pelapis atau juga dikenal sebagai kulit, dinding, atau membran merupakan
polimer yang memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan film tipis.
Berdasarkan
pada ukuran partikelnya, maka produk enkapsulasi dapat dibagi menjadi
makrokapsul (ukuran partikel > 5000 μm), mikro enkapsulasi (ukuran partikel 1,0 – 5000 μm) dan nano enkapsulasi (jika ukuran partikel < 1,0 μm). Produk enkapsulasi bisa berbentuk bola, persegi
panjang atau tak beraturan. Dua jenis struktur utamanya adalah satu inti (single
core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya.
Teknik
enkapsulasi yang digunakan sangat bervariasi; bisa dengan proses fisik, kimia
atau kombinasi teknik fisik dan kimia.
Pertimbangan dalam pemilihan teknik yang akan digunakan adalah
sensitivitas bahan inti, sifat fisiko-kimia bahan inti dan pelapis, ukuran
kapsul yang diinginkan, target produk untuk aplikasinya, mekanisme pelepasan
bahan inti dan biaya.
Spray
drying adalah teknik enkapsulasi yang paling banyak digunakan. Selain dengan teknik spray drying,
enkapsulasi juga dilakukan dengan teknik spray-chilling, freeze-drying, melt
extrusion dan melt injection. Spray-chilling lazim digunakan untuk memproduksi
partikel lipida beraroma.
Proses
dengan spray dyring paling banyak digunakan karena biayanya yang
relatif rendah, dapat digunakan untuk berbagai variasi bahan dan produk yang
dihasilkan berkualitas baik dengan distribusi ukuran partikel yang
konsisten. Tahapan proses enkapsulasinya
meliputi pembentukan emulsi atau suspensi antara bahan inti dan pelapis, dan
pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering panas dalam ruang pengering. Kontak antara droplet emulsi dengan udara
panas akan menyebabkan penguapan air dari droplet emulsi dan menjebak bahan
inti di dalam bahan pelapis.
Karakteristik Beberapa Bahan Dinding
dari Pati dan Pati Modifikasi
Flavor
merupakan parameter penting pada pangan dan karena itu tujuan utama dari proses
enkapsulasi flavor adalah untuk mengontrol pelepasan aroma dan meningkatkan
stabilitasnya selama pengolahan, penyimpanan dan pada saat konsumsi produk
akhir. Secara umum, pelepasan aroma dari
pangan sebelum dan sesudah dimakan tergantung pada karakteristik komponen aroma
maupun bentuk fisik dari matriks. Interaksi
antara komponen flavor dan pangan sendiri melibatkan tiga mekanisme: partisi
molekul flavor pada berbagai fase produk pangan, difusi molekul flavor didalam
matrik pangan dan pengikatan molekul flavor dengan komponen pangan.
Pada
enkapsulasi dengan teknik spray drying, maka pemilihan bahan dinding menjadi
sangat kritis karena akan mempengaruhi sifat emulsi sebelum pengeringan,
retensi dari komponen volatil selama proses pengeringan dan umur simpan dari
encapsulated powder setelah pengeringan.
Gum
arab merupakan ingredien yang paling populer sebagai bahan dinding untuk
enkapsulasi minyak dan flavor dengan teknik spray drying karena memiliki sifat
emulsifikasi dan retensi volatil yang sangat baik selama proses
pengeringan. Masalah ketersediaan,
kemurnian dan harganya yang cukup tinggi menyebabkan upaya pengembangan bahan
alternatifnya terus dilakukan. Saat ini,
penggunaan pati dan ingredien berbasis pati (pati modifikasi, maltodekstrin,
β-cyclodextrin) untuk mempertahankan dan melindungi komponen volatil mulai banyak
digunakan oleh industri pangan. Mereka
bisa berperan sebagai carrier untuk enkapsulasi aroma, fat replacer dan
penstabil emulsi.
Maltodekstrin
merupakan produk hasil hidrolisis (asam dan/atau enzim) pati. Keuntungan penggunaan maltodekstrin sebagai
bahan dinding adalah harga relatif murah, flavor netral, viskositas rendah pada
konsentrasi solid yang tinggi, dan memberi proteksi yang baik untuk bahan inti
yang berbentuk minyak. Tingkat
perlindungan yang diberikan berkorelasi dengan nilai dextrose equivalent (DE)-nya. Semakin tinggi nilai DE, maka maltodekstrin
akan semakin tidak permeable terhadap oksigen sehingga efisiensi enkapsulasi
akan semakin baik. Kelemahannya,
maltodekstrin memiliki daya emulsi yang rendah sehingga retensi flavor selama
spray drying menjadi rendah. Selain itu,
meningkatnya sifat hidrofiliknya karena proses hidrofilik menyebabkan sifat
afinitasnya terhadap komponen flavor yang bersifat hidrofobik menjadi rendah. Kelemahan ini dapat diatasi dengan
memodifikasinya lebih lanjut dengan teknik suksinilisasi.
Pati
suksinat memiliki kemampuan emulsifikasi yang lebih baik dibandingkan pati
native-dan atau pati hidrolisisnya.
Penggantian sebagian gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik dengan asam suksinat yang
bersifat lipofilik mengubah sifat pati dari yang hidrofilik menjadi
hidrofilik-hidrofobik. Dari beberapa
penelitian diketahui bahwa bahan dinding dari pati modifikasi suksinilasi akan
memiliki retensi yang sangat baik terhadap komponen volatil.
Pengaruh Mikrostruktur Pati dan Pati
Modifikasi Terhadap Retensi Flavor
Pati
mengikat komponen volatil dengan dua cara: dengan membentuk kompleks inklusi
atau dengan interaksi polar. Pada
pembentukan kompleks inklusi, komponen flavor terperangkap di dalam heliks
amilosa melalui ikatan hidrofobik.
Sebaliknya, pada interaksi polar, pengikatan komponen aroma oleh pati
terjadi karena adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pati dan komponen
aroma. Walaupun demikian, penelitian
Boutboul et al (2002) menunjukkan bahwa retensi aroma akan meningkat dengan
meningkatnya polaritas dari molekul flavor dan perbedaan kadar amilosa tidak
menyebabkan perbedaan pada retensi aroma.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa interaksi aroma – pati terutama
dihasilkan melalui fenomena adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen dan bukan
karena pembentukan kompleks inklusi.
Mikrostruktur
dari matriks pangan memainkan peran penting dalam retensi aroma. Porositas dan luas area spesifik berperan
besar dalam peningkatan retensi komponen aroma.
Dari penelitian Boutbol et al (2002) diketahui bahwa pati yang bentuk
granularnya masih utuh (pati native
dan pati asetilasi) memiliki daya retensi aroma yang lebih rendah dibandingkan
pati yang telah kehilangan bentuk granularnya (pati pregelatinisasi dan
maltodekstrin). Proses produksi pati
pregelatinisasi dan/atau maltodekstrin menyebabkan peningkatan porositas dan
luas area spesifik sehingga adsorpsi komponen aroma menjadi lebih baik. Selain peningkatan area spesifik, rusaknya
granula pati selama proses modifikasi pati (pregelatinisasi pada pati
pregelatinisasi dan/atau hidrolisis parsial pada maltodekstrin) menyebabkan
rantai molekul amilosa dan amilopektin lebih mudah berinteraksi dengan komponen
aroma. Hal ini juga menjadi penyebab
mengapa retensi komponen aroma pada pati non granular lebih tinggi dari pati
granula.
Pada
pati dengan kadar amilosa tinggi, proses ekstrusi akan menghasilkan pati ekstrusi
dengan kemampuan retensi komponen aroma yang sedikit lebih baik dari pati nativenya. Selama proses ekstrusi, pati dengan kadar
amilosa tinggi akan mengembang lebih besar dari pati waxy ataupun pati
normal. Akibatnya, ekstrudat yang
dihasilkan akan memiliki dinding yang lebih tipis dan dengan area spesifik yang
lebih tinggi.
Kemampuan
pembentukan film dan sifat plastis dari polimer yang digunakan akan sangat
menentukan pada efisiensi pemerangkapan komponen volatil jika enkapsulasi dilakukan
dengan teknik spray drying. Plastisitas
yang lebih baik akan mencegah keretakan matriks pelindung (dinding). Gum arab memiliki kemampuan pembentukan film
dan sifat plastis yang lebih baik dari maltodekstrin dan pati oktenil suksinat sehingga
kemampuannya dalam memerangkap komponen volatil oleoresin kapulaga juga menjadi lebih baik (Krishnan1
et al, 2005). Tetapi, penggunaan
kombinasi gum arab, maltodekstrin dan pati oktenil suksinat dengan rasio
berturut-turut 4/6 : 1/6 : 1/6 ternyata memberikan proteksi terhadap kehilangan
aroma yang lebih baik dibandingkan penggunaan gum arab dalam bentuk tunggal
(Khrisnan2 et al, 2005). Dari
Gambar 1 terlihat bahwa mikrokapsul yang dibuat dengan gum arab sebagai matriks
dindingnya walaupun penyok-penyok memiliki bentuk yang bulat, sementara yang
dibuat dengan maltodekstrin dan pati oktenil suksinat banyak yang hancur. Dalam bentuk kombinasi, diperoleh mikrokapsul
berbentuk bulat dengan permukaan yang halus.
Gambar 1.Scanning
electron microscopy (SEM) dari mikrokapsul oleoresin kapulaga yang dibuat dengan dinding (a) gum arab, (b) maltodekstrin, (c)
pati oktenil suksinat dan (d) kombinasi gum arab, maltodekstrin dan pati
oktenil suksinat dengan rasio 4/6:1/6:1/6 (Krishnan et al2, 2005)
Penelitian
Jeon et al (2002) menunjukkan bahwa pati jagung dan barley dalam bentuk native
dan modifikasinya (pati suksinat dan oktenil suksinat) berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bahan dinding untuk enkapsulasi flavor volatil daging
(flavor ayam bakar). Enkapsulat dengan
menggunakan pati jagung dan barley dalam bentuk native dan modifikasinya
sebagai bahan dinding memiliki kemampuan retensi yang baik terhadap flavor
volatil produk olahan daging. Pati
suksinat memiliki kemampuan retensi flavor yang lebih baik dari bentuk native
dan oktenil suksinatnya; dan retensi flavor pati suksinat dari pati normal
lebih baik dari pati suksinat yang dibuat dari pati waxy. Kemampuan retensi flavor dari pati suksinat
jagung dan barley ini lebih baik dari β-cyclodextrin (βCD) yang biasa digunakan
sebagai material dinding untuk enkapsulasi essential oils.
Pengaruh
penyimpanan terhadap retensi flavor juga diamati. Dari penelitian Jeon et al (2002) ini juga
diketahui bahwa mikroenkapsulat dengan dinding dari pati jagung dan barley ini
masih memiliki kemampuan retensi flavor yang baik pada penyimpanan selama 4
minggu di suhu 50°C.
Kehilangan flavor lebih tinggi pada pati suksinat (kehilangan 17–29%)
dibandingkan dengan pati native (kehilangan 4–17%) dan pati oktenil suksinat
(kehilangan 12–27%). Walau demikian,
kondisi ini jauh lebih baik dari mikroenkapsulat yang menggunakan βCD sebagai
dinding yang mengalami kehilangan flavor sampai 40% pada 2 minggu penyimpanan
dan 45% pada 4 minggu penyimpanan.
Potensi
pati suksinat dari pati kentang sebagai bahan dinding untuk enkapsulasi flavor dilaporkan
oleh Lee et al (2009). Enkapsulasi
dilakukan dengan teknik freeze drying, menggunakan pati kentang (native dan
modifikasi) sebagai bahan dinding dan D-limonen sebagai bahan inti. Didapatkan bahwa dinding pati suksinat
memiliki retensi terhadap D-limonen yang lebih tinggi dari βCD, maltodekstrin (MD)
maupun dari pati kentang native. Dari
mikrostrukturnya, pati suksinat memiliki pori yang berukuran seragam dan
terdistribusi merata disepanjang matriksnya.
Pori pada matriks βCD dan MD juga terdistribusi merata tetapi ukurannya
jauh lebih kecil sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dibandingkan dengan
pati suksinat (Gambar 2). Proses
suksinilasi menyebabkan perubahan sifat pati dari hidrofilik menjadi
hidrofilik-hidrofobik. Kondisi ini
memungkinkan bagian dalam dari matriks dinding menangkap dan memerangkap
komponen flavor.
Gambar 2.SEM dari struktur internal enkapsulasi
D-limonene dengan bahan dinding pati suksinat dari kentang (S) dan βCD (C) yang
dibuat dengan teknik freeze drying (Lee et al, 2009)
Daftar Pustaka
Boutboul A, Giampaoli P, Feigenbaum A, Ducruet V. 2002.
Influence of the nature and treatment of starch on aroma retention. Carbohydrate Polimers 47:73–82
Jafari SM, Assadpoor E, He Y, Bhandari
B. 2008. Encapsulation efficiency of food flavours
and oils during spray drying. Drying Technology 26:816–835
Jeon Y-J, Vasanthan T, Temelli F, Song B-K. 2003. The
suitability of barley and corn starches in their native and chemically modified
forms for volatile meat flavor encapsulation.
Food Research International 36:349–355
Krishnan1 S, Kshirsagar AC, Singhal RS. 2005.
The use of gum arabic and modified starch in the microencapsulation of a
food flavoring agent. Carbohydrate
Polymers 62:309–315
Krishnan2 S, Bhosale R, Singhal RS. 2005. Microencapsulation
of cardamom oleoresin: Evaluation of blends of gum arabic, maltodextrin and a
modified starch as wall materials. Carbohydrate
Polymers 61:95–102
Lee S-W, Kang S-Y, Han S-H,
Rhee C. 2009. Influence of modification
method and starch concentration on the stability and physical properties of
modified potato starch as wall materials.
Eur Food Res Technol 228:449–455