Pages

Sunday, March 18, 2012

Biofuel vs Kecukupan Pangan vs Gaya Konsumsi Pangan

Prof. Dr. C. Hanny Wijaya

Tema kali ini cukup menguras pemikiran penulis untuk dapat mengkaitkannya dengan bidang keahlian yang penulis miliki.  Hingga tenggat waktu yang teralokasikan , hasilnya tetap nihil. Oleh karenanya tak ada pilihan, perkenankan tulisan kali ini lebih menyuarakan hati seorang pengamat awam yang prihatin dan  resah. 

Solusi krisis energi dengan mengalihkan kebutuhan akan energi fosil ke bioenergi yang diperoleh dari hasil pertanian, sejak awal telah mengusik penulis sebagai orang  yang lekat dengan dunia pangan. Pengalihan ini pasti akan menjadi bom waktu karena perebutan sumber bahan baku akan menjadi masalah berikutnya. Kita semua tahu bahwa untuk memenuhi kebutuhan  pangan saja saat ini masih dirasakan kurang. Luas dunia untuk lahan pertanian tidak bertambah, pelaku pertanian pun semakin surut.  Nah apa jadinya bila  perolehan yang terbatas tersebut  kini akan diperebutkan untuk diubah menjadi energi pangan atau biofuel?

Mungkin kita sering lupa bahwa manusia pun memerlukan sumber energi yang diubah oleh tubuh untuk bisa hidup, bertumbuh dan bergerak, dan asupan bahan untuk membuat energi tersebut adalah bahan pangan. Pangan adalah sumber energi bagi manusia yang sangat langsung berimbas  kelangsungan hidupnya. Bagi sebagian besar manusia yang sangat beruntung kelimpahan dan kemudahan memperolehnya membuat orang terbuai untuk tidak memperhatikannya. 

Bioenergi

Di atas kertas penggunaan bio-energi yang dapat terbarukan merupakan alternatif jitu untuk menggantikan energi fosil yang kita nikmati sebagai minyak bumi. Suatu sumber energi yang memerlukan ribuan tahun untuk memperolehnya kembali. Bio-energi memang dapat diperoleh dari semua produk pertanian apa pun bentuknya. Mulai dari tumbuhan hingga hewan. Penggunaan tumbuhan sebagai bioenergi sebetulnya sudah dikenal sejak nenek moyang kita, yaitu kayu bakar dan selanjutnya berkembang menjadi arang. Tantangan utama adalah modifikasi dan efisiensi.

Energi adalah kekal adanya. Fenomena alam akan mengubah energi ke dalam berbagai bentuk seperti misalnya api akan memberikan energi panas yang dapat diubah menjadi energi mekanis, demikian juga misalnya energi mekanik dapat diubah menjadi energi listrik dan seterusnya. Energi selalu berubah bentuk namun tidak pernah hilang.

Pada bio-energi pada dasarnya manusia bersandar pada energi dari matahari. Pancaran sinar matahari akan ditangkap dan diubah menjadi bentuk energi lain terutama oleh tumbuhan dengan klorofilnya. Tumbuhan merupakan pengubah energi matahari yang paling efisien dan dengan cara paling murah karena merupakan rantai pertama dalam pemanfaatan energi dari matahari. Itulah sebabnya kita banyak menggunakan tanaman sebagai penghasil pangan utama (staple foods), terutama dari kelompok karbohidrat seperti nasi, gandum, sagu, jagung dsb. Hal itu juga  menjadi alasan mengapa minyak dari tumbuhan merupakan sumber bio-energi yang paling banyak dilirik saat ini untuk dikembangkan. Pertanyaannya mungkin  kenapa bukan dari karbohidrat saja, mengapa dalam hal ini minyaknya? Salah alternatif jawaban adalah dengan melihat efisiensi pada satuan berat yang samadimana minyak akan menghasilkan 9 kalori bagi tubuh sedang karbohidrat yang hanya 4 kalori.

Terlepas dari itu, semua bagian tanaman pasti akan menghasilkan energi juga. Termasuk juga sampah organik yang seharusnya tidak saja dapat diubah menjadi kompos organik tetapi juga menghasilkan energi. Bahkan kotoran hewan dan manusia pun dapat diubah menjadi sumber energi, baik berupa gas maupun pelet-pelet setelah dipisahkan dari kandungan airnya. Oleh karena, bila diupayakan harmonisasi dari penggunaan sumber-sumber non pangan sebagai penyumbang bioenergi alternatif, perbenturan antara penggunaan hasil pertanian sebagai biofuel atau pangan dapat dilunakkan.

Meningkatkan atau mengurangi ?

Suatu hal yang lumrah bila kita mengalami kelangkaan akan sesuatu, maka upaya utama yang dilakukan adalah peningkatan pengadaan. Sering tidak disadari bahwa nafsu kserakahan pada diri manusia akan membawa malapetaka bila pendekatan ini yang selalu dilakukan. Pada titik mana pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan bila titik kepuasan tak terkendali? Seberapa jauh alam dapat menumpang kebutuhan manusia akan energi yang seakan tidak akan pernah habis dan terus meningkat dengan bertambah majunya gaya hidup. Pernakah dibayangkan berapa ratus atau mungkin ribu kali lipat kebutuhan energi manusia saat ini dibandingkan beberapa dekade yang lalu ? Berapa kali lipat kebutuhan manusia akan energi dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan yang lain?

Sejauh pengamatan penulis, energi yang dibutuhkan oleh si kucing sejak penulis kanak-kanak hingga saat ini tak ada yang berubah. Akan tetapi bila penulis melihat keperluan manusia sekeliling, nampak sekali bedanya. Bila dulu orang hanya perlu listrik untuk penerangan kini sudah menjadi keharusan untuk menyediakan listrik untuk TV, untuk kulkas, untuk HP, untuk komputer, lalu perlu juga untuk mesin cuci, penyedot lantai, pemotong rumptu dst..dst..belum lagi untuk sarana transportasi harus ada mobil atau motor dan juga pesawat lalu ironisnya masih juga diperlukan energi untuk membakar kelebihan energi yang terlanjur masuk ke badan dengan berbagai alat fitness.

Di luar upaya-upaya yang berupa fisik dalam meningkatkan alternatif sumber-sumber energi, nampaknya pendekatan pengurangan kelangkaan energi dapat dilakukan dari upaya-upaya manajemen dan sekaligus penataan pola pikir kita sebagai mahkluk ciptaanNYA yang tertinggi kedudukannya. Sungguh memalukan bila ternyata kitalah yang menjadi penghancur dunia yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Mungkin sebagai manusia Katolik yang sangat menjunjung nilai kasih sayang kita dapat memulainya. Dengan niatan kasih kita pada dunia, dapat kiranya kita melakukan upaya dengan paradigma ”pengurangan”. Agar kita tidak perlu selalu meningkatkan pengadaan, kita kurangkan penggunaan. Penulis percaya bahwa upaya mengurangi akan menjadi alternatif ampuh dalam menekan kelangkaan sumber energi yang akan dihadapi.

Pengurangan penggunaan energi selain akan mengurangi beban dunia untuk menyediakan energi juga akan banyak mengurangi beban dunia dalam pencemaran. Nampak jelas dewasa ini gejala ”global warming” sudah sangat kasat mata. Memang mengupayakan pengurangan umumnya lebih sulit dibandingkan dengan penambahan. Secara psikologis merupakan hal yang sering dihindari. Kembali kepada kecintaan kita pada keyakina kita. Bila hukum cinta-kasih kita terapkan, maka mencintai dunia dengan usaha mengurangi penggunaan energi bukan hal yang susah untuk dilaksanakan bukan?

Banyak hal yang secara teknis bisa kita lakukan untuk menghemat energi.

Penghematan dari diri sendiri

Pendekatan termudah adalah membiasakan diri pada hal-hal kecil yang bisa dilakukan dari diri sendiri dalam mengurangi pemborosan. Mulai dengan mematikan semua peralatan yang menggunakan listrik bila tidak digunakan sampai biasakan lebih banyak menggerakkan tubuh dalam gaya hidup sehari-hari. Jangan biarkan TV dan radio berkumandang tanpa ada yang menonton atau mendengarkan. Matikan lampu bila meninggalkan ruang yang tak berpenghuni lain. Upayakan sumber cahaya alami bila memungkinkan dan banyak hal-hal kecil yang terlihat lumrah tetapi sangat memboroskan energi dengan kesia-siaan.

Mulai penataan kembali kebiasaan makan. Kecenderungan untuk makan berlebihan dengan variasi yang terlalu banyak pada satuan waktu yang sama perlu dihindarkan agar tidak banyak bagian yang terbuang karena tak mapu menghabiskannya. Pasti ada yang berpendapat bahwa selama masih bisa terbeli kenapa repot? Namun tahukah kita berapa banyak perubahan energi yang sudah terkorbankan untuk menghasilkan produk pangan tersebut? Lalu bila pangan terlalu banyak masuk kedalam tubuh kita  maka perlu mengubahnya lagi untuk membuangnya energi dalam bentuk lemak yang tertumpuk dalam tubuh. Lebih celaka bila kita perlu menyadari berapa banyak bagian orang kelaparan yang sudah kita sia-siakan?

Berpesta, kenapa tidak? Pesta bukan suatu hal yang tabu. Penataan pesta yang mahir akan banyak mengurangi pemborosan bahan pangan tanpa mengurangi kenikmatan pesta. Senang melihat bentuk pesta yang semakin hemat dalam penyediaan hidangan yang akan dinikmati. Pada pesta tak terkontrol, selain sisa hidangan yang sering terserak dan terbuang percuma, terus terang pesta juga banyak menjadi ”momok” bagi para perempuan setengah baya yang sangat rentan dengan asupan pangan yang menggiurkan karena kapasitas tubuh untuk bisa memanfaatkan energi pangan tersebut sudah tak efektif lagi(dampaknya  energi yang masuk bersama pangan harus disimpan dalam bentuk tumpukan lemak yang juga membahayakan kesehatan). Sistem RSVP yang ditaati para undanan akan banyak juga membantu penghematan dalam pertemuan2 besar yang memerlukan konsumsi.

Mengurangi kegiatan yang membuat diri tidak memanfaatkan energi tubuh dengan efisien merupakan alternatif lain dalam berhemat energi sekaligus menyehatkan. Mengurangi waktu duduk diam di depan TV  atau chatting di depan komputer dengan bercocok tanam memanfaatkan lahan sekitar rumah, atau mengganti kegiatan fitness dengan peralatan yang menggunakan energi listrik dengan menyapu tanpa alat vacuum cleaner, mencuci  tanpa  washing machine, mengepel, mengecat rumah, menyabit rumput secara manual dst tentu merupakan kegiatan fisik yang menyehatkan. Sering kita mengeluh tak punya waktu, sementara kita buang waktu berjam-jam di fitness center untuk tujuan serupa yaitu melepas kelebihan energi dari dalam tubuh?  Sungguh lebih menggelikan bila kita ingin melakukan fitness tetapi kita naik mobil untuk mencapai tempat berlatih yang hanya perlu beberapa langkah, atau menggunakan eskalator satu lantai  untuk mencapainya padahal tersedia tangga.

Kurangi sebisa mungkin peralatan-peralatan yang memang memberikan kemudahan tetapi sangat membuat kita terlena pada kemubaziran. Contoh yang paling menarik adalah betapa kita begitu menggunakan hand phone walau hanya untuk memanggil anggota keluarga dalam satu rumah? Atau menarik dicermati bahwa kita begitu malas menggerakan tubuh hanya untuk mencapai tombol yang satu jangkauan dari kita hanya karena tersedia remote-control. Kita patut menertawakan diri bila kita lebih memilih sibuk mengeluarkan dan memasukkan mobil hanya untuk mencapai tempat yang hanya 5 menit berjalan kaki.

Dari semua usaha yang perlu segera dipikirkan adalah mengurangi kemacetan dijalan raya. Berapa banyak bahan bakar yang harus dibuang setiap hari di banyak kota di Indonesia karena kemacetan. Banyak sekali kerugian dari kemacetan, mulai dari penghamburan bahan bakar, polusi, pemborosan waktu, kelelahan psikologi dan bila ditulis terus mungkin memakan banyak halaman. Mengurangi kemacetan harus menjadi kewajiban semua pihak. Kita bisa memulai dengan membuat semua perjalanan dalam keluarga dapat dibuat efisien sehingga tidak semua anggota keluarga harus membawa kendaraan masing-masing2. Sedapat mungkin gunakan kendaraan tanpa bahan bakar pada jarak yang memungkinkan. Lupakan kenikmatan berkendara harus sampai di depan pintu rumah. Sekali lagi gerakan tubuh lebih banyak, daripada nantinya kita harus berlari ”jogging” atau berjalan sehat ber putar2 tanpa tujuan.

Sedikit angin segar saat ini, kita dapat melihat banyak upaya digaungkan untuk menghemat energi dan sekaligus mendorong gerakan menjaga kelestarian bumi. Mulai dari aktivitas ”go green” dengan berbagai ide segar seperti yang dicanangkan oleh mahasiswa National University of Singapore sampai dengan tayangan televisi Malaysia untuk mengajak rakyatnya bercocok tanam di lahan pekarangan rumahnya. Kegiatan komunitas lain yang mungkin bermanfaat untuk diadopsi oleh masyarakat kita dalam upaya mengurangi adalah melakukan recycle use untuk barang-barang keperluan sehari-hari.  Banyak barang kebutuhan hidup yang sekali waktu saja kita perlukan selanjutnya hanya memenuhi gudang. Berapa banyak tumpukan baju, sepatu, kelengkapan makan anak2 kita yang hanya dipakai dalam waktu sebentar dan harus bertukar karena pertumbuhan si anak padahal bila kita bisa saling bertukaran maka penggunaan barang2 tersebut akan lebih maksimal. Rasanya kita tetap dapat memanjakan diri dengan keinginan kita untuk selalu berdandan dengan kelengkapan yang tidak selalu sama dengan  melakukan pertukaran apa yang kita punya dengan milik orang lain pada ”garage sale” atau ”flea market”untuk pakaian dan aksesori daripada selalu harus membeli baru.....

Penutup

Jangan korbankan hak azazi manusia akan pangan untuk kesia-siaan. Memang peralihan energi fuel ke bio-energi meberi angin segar bagi pelaku pertanian untuk mendapatkan harga yang lebih baik. Namun peningkatan harga pangan yang terlalu drastis pun akan membawa korban yang pihak yang lemah. Jangan sampai cerita bunuh diri sekeluarga karena tak bisa makan menjadi episode rutin. Sedih sekali bila negara seperti Indonesia yang dianugerahi Tuhan dengan energi surya cuma-cuma 12 jam sehari selama 12 bulan penuh melahirkan manusia2 kurang gizi. Tidak sedihkah kita bila kita dengar lebih banyak lagi laporan dari berbagai daerah Indonesia akan kondisi sesama kita yang kekurangan pangan hanya untuk dapat memenuhi keborosan kita akan penggunaan energi yang mana harus ditutupi dengan mengubah pangan menjadi bioenergi untuk keperluan tersebut?

Sapporo, 8 September 2009
C. Hanny Wijaya