Pages

Friday, June 17, 2011

Bread Staling

Oleh: Elvira Syamsir (tulisan asli:  Kulinologi Indonesia)

Dimasa sekarang, siapa yang tidak kenal roti? Kepraktisan dalam penyiapan dan penyajian, serta karakteristik sensoriknya yang khas menyebabkan roti menjadi produk pangan sumber karbohidrat yang populer di masyarakat.

Sayang sekali, produk rerotian mempunyai umur simpan yang relatif singkat. Pernahkah anda mengamati roti selama disimpan? Sejalan dengan meningkatnya umur simpan, terjadi perubahan pada karakteristik sensorik roti. Crumb (bagian dalam roti) yang semula empuk dan halus berubah menjadi kering, keras tetapi rapuh dan mudah hancur. Bagian crust (permukaan atau kulit roti) menjadi lembek dan kerenyahannya menurun. Flavor atau aroma khas roti juga berkurang. Penurunan mutu sensorik tersebut seringkali memberikan persepsi negatif pada konsumen bahwa roti tersebut sudah rusak.

Perubahan mutu sensorik seperti dijelaskan diatas, bukan disebabkan oleh cemaran atau kontaminasi mikroba, tetapi terkait dengan proses perubahan yang disebut bread staling. Proses bread staling merupakan serangkaian proses perubahan fisiko-kimia komponen di dalam roti yang terjadi selama penyimpanan. Apa, kenapa dan bagaimana cara mengatasi bread staling?

Karakteristik Roti

Roti berkualitas baik umumnya memiliki penampakan menarik dengan tekstur yang lembut, jaringan kerangka (matriks)-nya kompak dengan pori yang kecil serta rasa flavor (aroma) khas roti segar. Formula dan proses pengolahan berperan penting dalam membentuk karakteristik roti seperti yang kita kenal.

Tepung (terigu), ragi roti, garam dan air adalah formula minimum yang harus ada untuk memproduksi roti. Ingridien lain yang sering ditambahkan kedalam formula adalah lemak, gula, susu atau padatan susu, anti oksidan, enzim, surfaktan, dan antikapang. Secara garis besar ada tiga hal yang terjadi dalam proses pengolahan roti, yaitu pencampuran dan pembentukan adonan (tahapan mixing dan fermentasi), pembentukan struktur busa di dalam adonan (tahapan moulding, proofing dan baking) dan stabilisasi struktur berpori dengan mengubah konfigurasi molekuler dari komponen polimer pada dinding-dinding sel melalui aplikasi panas (tahapan baking).

Pati merupakan komponen utama dari roti. Pati yang tergelatisasi maupun yang lisis dari granula selama proses baking menjadi faktor utama pembentuk struktur roti. Komponen lainnya yang berperan penting dalam pembentukan struktur roti adalah protein gluten yang berasal dari terigu.

Secara makroskopis dapat dikatakan bahwa roti merupakan produk padat elastis dengan rongga-rongga udara yang terperangkap di dalam bagian padat. Bagian padat terdiri dari dua fase yaitu fase kontinyu dan fase tidak kontinyu. Fase kontinyu merupakan matriks atau jaringan elastis yang dibentuk oleh ikatan silang antar polimer gluten (protein terigu), antar polimer pati (yang lisis dari granula pati, terutama amilosa) dan interaksi keduanya. Granula pati dalam berbagai bentuk (bengkak, tergelatinisasi parsial/sempurna) yang terperangkap dan tersebar di dalam fase kontinyu disebut sebagai fase tidak kontinyu.

Perbedaan panas yang diterima selama proses baking menyebabkan perbedaan karakteristik bagian dalam (crumb) dan bagian luar (kulit, crust) roti. Crust memiliki tekstur yang renyah (crispy) dan mudah retak sementara crumb menjadi lebih lunak, empuk dan elastis.

Terjadinya Bread Staling

Roti kehilangan karakteristik sensoriknya secara bertahap selama penyimpanan. Serangkaian perubahan fisiko-kimia di dalam roti menyebabkan bagian crumb menjadi lebih kering, keras dan rapuh, crust menjadi lembek, alot dan hilang kerenyahannya sementara flavor khas roti hilang. Fenomena perubahan ini secara keseluruhan dikenal dengan istilah bread staling. Bread staling mengindikasikan penurunan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk rerotian karena perubahan karakteristik sensorik (tekstur dan flavor) produk dan bukan oleh pertumbuhan mikroba.

Selama staling, distribusi air di dalam roti berubah. Aktivitas air crumb yang lebih tinggi dari crust menyebabkan air berpindah dari bagian crumb ke crust. Perpindahan air ini menyebabkan kadar air crust yang tadinya hanya 2-5% meningkat dan merubah tekstur dari crispy menjadi lunak dan alot. Penampakan crust yang awalnya mengkilap (glossy) juga berubah menjadi opak.

Penguapan komponen flavor yang bersifat volatil, dan/atau pemerangkapan komponen flavor oleh polimer pati (amilosa) menyebabkan hilangnya aroma roti segar selama penyimpanan. Selain itu, beberapa komponen bersifat sangat labil dan jumlahnya menurun selama penyimpanan karena reaksi oksidasi atau reaksi lainnya.

Pengerasan crumb yang terjadi selama staling melibatkan proses yang lebih kompleks. Proses retrogradasi pati (amilopektin) yang berakibat pada meningkatnya kristalisasi atau keteraturan molekuler polimer pati (amilopektin) merupakan penyebab utama dari peningkatan kekerasan crumb. Selain itu, terperangkapnya sebagian air di dalam kristal pati selama proses retrogradasi menyebabkan distribusi air di dalam crumb bergeser dari gluten ke pati (amilopektin) sehingga menurunkan ketersediaan air sebagai plasticizer pada matriks gluten. Hal ini menyebabkan tekstur crumb menjadi kering dan rapuh.

Faktor-Faktor Pengendali Bread Staling

Ada beberapa faktor yang dapat memperlambat laju proses staling, atau dengan kata lain, mempertahankan keempukan roti lebih lama. Intinya adalah dengan memodifikasi pati agar proses retrogradasi berjalan lebih lambat dan/atau dengan mempertahankan keseimbangan air di dalam sistim roti.

Dari aspek ingridien, aditif yang dapat digunakan untuk menghambat atau memperlambat proses staling adalah emulsifier, shortening, enzim dan hidrokoloid. Emulsifier (seperti mono/di asil gliserida atau stearil-2-laktilat) dan shortening (margarin dan ghee) selama proses baking akan membentuk kompleks dengan polimer pati (amilosa dan amilopektin). Pembentukan kompleks ini akan menghambat proses retrogradasi pati yang artinya akan menghambat staling. Perbedaan kemampuan emulsifier untuk membentuk kompleks dengan polimer pati menyebabkan perbedaan kemampuannya dalam menekan laju staling. Penambahan shortening kedalam formula roti dapat memperbaiki pengembangan volume roti dan menghasilkan struktur crumb yang seragam dengan dinding sel (matriks) yang tipis.

Enzim α-amilase tahan panas menghambat staling dengan cara memotong pati (amilopektin) sehingga proses retrogradasi dapat dikurangi dan atau produksi dekstrin yang mengganggu proses retrogradasi pati. Hidrokoloid seperti hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dan alginat adalah improver roti yang berfungsi untuk meningkatkan volume roti, memperbaiki tekstur crumb sekaligus juga menghambat proses staling. Berbeda dengan komponen anti staling yang dijelaskan diatas, mekanisme anti staling dari hidrokoloid disebabkan oleh struktur hidrofiliknya yang dapat berikatan dengan air dan mempertahankan air tetap berada di dalam crumb.

Suhu penyimpanan roti juga berpengaruh pada kecepatan terjadinya staling. Penyimpanan roti pada suhu dingin (diatas suhu beku) menyebabkan peningkatan kecepatan staling sementara penyimpanan pada suhu ruang dapat memperlambat kerusakan tekstur crumb karena staling. Proses staling akan berlangsung cepat pada kisaran suhu 0 – 10°C. Berbeda dengan penyimpanan dingin, penyimpanan pada suhu beku (suhu dibawah -5°C) justru dapat memperlambat proses staling.

Roti yang telah mengalami staling masih dapat dikembalikan teksturnya ke kondisi semula dengan memanaskan roti tersebut pada suhu 65 - 100°C. Hanya saja, tekstur yang empuk tersebut akan mengalami pengerasan (proses staling) lebih cepat ketika suhu roti kembali turun ke suhu ruang.

Air juga berperan dalam perubahan yang terjadi selama penyimpanan roti. Pemilihan kondisi penyimpanan atau kemasan hendaklah mencegah proses penguapan air. Pengeringan permukaan roti karena penguapan air ke udara akan mengganggu kesetimbangan air di bagian crust dan crumb sehingga mempercepat terjadinya staling.

Perbedaan aktivitas air yang cukup besar antara bagian crust dan crumb juga berpengaruh pada peningkatan kekerasan crumb selama penyimpanan. Telah dilaporkan bahwa roti yang memiliki crust (kulit) mengalami proses crumb staling lebih cepat dibandingkan roti tanpa crust (kulit).