Oleh Ardiansyah* (tulisan asli dalam Food Review Indonesia)
Pola makan yang menjurus ke konsumsi makanan siap saji yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi namun rendah serat, memicu perkembangan penyakit degeneratif seperti aneka kanker, osteoporosis, diabetes mellitus, aterosklerosis (penumpukan lemak), jantung koroner, dan hipertensi (tekanan darah tinggi).
Bangsa Jepang merupakan salah satu contoh masyarakat di dunia yang sangat memperhatikan pola konsumsi pangannya. Pangan yang dikonsumsi tidak hanya masalah kecukupan nilai gizi, tetapi juga terkait dengan efek fisiologis yang dapat mempengaruhi kesehatan. Istilah ini kemudian berkembang dengan nama pangan fungsional. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memiliki aturan baku tentang pangan fungsional dan saat ini pasar pangan fungsional di Jepang merupakan pasar yang terdepan di dunia.
Perkembangan pangan fungsional secara komersial pertama kali dimulai di Jepang dan setelah itu perkembanganya merambah ke Amerika, Eropa, dan beberapa negara asia lainnya termasuk Indonesia. Perkembangan pangan fungsional ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan dalam upaya tindakan preventif dan pandangan konsumen tentang perbaikan kualitas hidup terutama di masa usia lanjut. Perubahan pola pikir dan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan menimbulkan permintaan terhadap perbaikan mutu dan gizi dari bahan pangan.
Di Jepang perkembangan pangan fungsional juga didorong oleh komitmen pemerintah Jepang yang gigih mengupayakan perbaikan mutu kesehatan para manula yang jumlahnya meningkat tajam akhir-akhir ini. Karena tidak ada peraturan yang jelas tentang klaim kesehatan untuk produk pangan fungsional menyebabkan banyak terjadi penyalahgunaan klaim promosi. Perusahaan dengan mudahnya mengklaim produknya berguna bagi kesehatan atau dapat mencegah penyakit tertentu tanpa didasarkan pada penelitian yang tepat dan kajian ilmiah yang seksama.
Sejak tahun 1984, pemerintah Jepang telah menyusun draft alternatif pengembangan pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh dari berbagai penyakit, khususnya penyakit-penyakit degeneratif. Pemerintah mengeluarkan regulasi khusus untuk pangan fungsional dengan melakukan pendaftaran untuk mendapatkan persetujuan pemerintah yang pelaksanaannya di lakukan oleh Ministry of Health, Labor, and Welfare. Produk dengan klaim yang telah memenuhi syarat akan mendapatkan label atau logo FOSHU (Food for Specified Health Use) (Gambar 1) dan secara otomatis produk tersebut dapat dipasarkan sebagai pangan fungsional.
Pada Tabel 1 disajikan pengelompokan pangan fungsional berdasarkan FOSHU. Berdasarkan laporan dari The Japan Health Food and Nutrition Food Association (JHNFA), saat ini ada 755 produk makanan dan minuman yang telah mendapat persetujuan oleh pemerintah dan mendapatkan sertifikat FOSHU. Selanjutnya pada Gambar 2 disajikan tren pasar produk FOSHU sampai dengan tahun 2008. Sebagai contoh, pada tahun 2007 pasar produk FOSHU mencapai sekitar 7 milyar yen dan mengalami peningkatan sebesar 7,9 persen dibandingkan tahun 2005. Dari angka tersebut, 51 persen dari total produk yang dipasarkan adalah produk-produk probiotik dan prebiotik yang berhubungan dengan klaim kesehatan pencernaan dan kekebalan tubuh (Gambar 3). Produk pangan fungsional FOSHU juga tetap mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2008 dengan angka 7.5 milyar yen.
Seperti telah diketahui bersama bahwa probiotik atau dikenal dengan mikroorganisme “baik” adalah preparat yang terdiri dari mikroba hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia atau hewan secara oral. Mikroba hidup itu diharapkan mampu memberikan efek fisiologis terhadap kesehatan manusia atau hewan dengan cara memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia.
Beberapa produk FOSHU lainnya mengandung komponen bioaktif yang berasal dari protein susu dan telah terbukti mampu memberikan efek dapat menurunkan tekanan darah pada manusia jika dikonsumsi setiap hari dengan dosis yang tepat (Saito, 2008). Mekanisme penurunan tekanan darah produk ini adalah dengan menghambat kerja enzim angiotensin I-converting enzyme (ACE); suatu enzim yang bertanggung jawab terjadinya peningkatan tekanan darah. Pada Gambar 1, disajikan dua produk yang sangat populer di pasar Jepang. “Amile S” adalah produk susu fermentasi yang telah dipasteurisasi yang diproduksi oleh Calpis Co., Ltd. (disetujui menjadi FOSHU tahun 1999) mengandung peptida laktotripeptida IPP dan VPP. Sedangkan “Peptio” adalah minuman ringan yang diproduksi oleh Kanebo Co., Ltd (disetujui menjadi FOSHU tahun 2000) mengandung peptida dodekapeptida (DP) (FFVAPFPQVFGK). Peptida-peptida tersebut sangat potensial sebagai bahan aktif untuk menurunkan tekanan darah.
Peningkatan prevalensi penyakit degeneratif di Indonesia, merupakan alasan utama para peneliti pangan dan gizi Indonesia untuk mengeksplorasi bahan-bahan alami yang ada di Indonesia. Tingginya biodiversity kekayaan alam dan bahan-bahan indigenous yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat berharga dan bermanfaat untuk kesehatan masyarakatnya.
Atas dasar tersebut dan dikaitkan dengan informasi pengelompokan pangan fungsional di Jepang (Tabel 1), menurut hemat penulis kita (Indonesia) dapat mengembangkan pangan fungsional yang berbasis pada kekayaan alam yang kita miliki. Beberapa contoh dapat penulis sajikan pada tulisan ini. Pemanfaatan ubi jalar sebagai sumber prebiotik, sumber serat makanan, dan sumber antioksidan. Pemanfaatan angkak, sebagai sumber GABA dan statin yang dapat memberikan efek fisiologis menurunkan tekanan darah dan lemak darah. Tempe dan produk derivatnya sebagai salah satu produk pangan tradisional bangsa Indonesia. Komponen aktif yang terdapat pada tempe, seperti isoflavone aglycones, free amino acid, dan peptida (Watanabe et al. 2007) sangat potensial dikembangkan sebagai pangan fungsional. Pemanfaatan bekatul sebagai sumber asam ferulat dan kandungan asam fenolik sangat baik sebagai bahan aktif untuk menurunkan tekanan darah, lemak, dan glukosa darah (Ardiansyah et al., 2006).
Referensi
Ardiansyah, Shirakawa, H., Koseki, T., Ohinata, K., Hashizume, K., and M. Komai. 2006. Rice bran fractions improve blood pressure, lipid profile, and glucose metabolism in stroke-prone spontaneously hypertensive rats. J. Agric. Food Chem., 54, 1914-1920.
Ohama, H., Ikeda, H., and Moriyama, H. 2006. Health food and food with health claims in Japan. Toxicol., 221: 95-111.
Saito, T. 2008. Antihypertensive peptides derived from bovine casein and whey proteins. Adv. in Exp. Med. and Biol., 606:295-317.
Watanabe, N., Fujimoto, K., and Aoki, H. 2007. Antioxidant activities of the water-soluble fraction in tempeh-like fermented soybean (GABA-tempeh). Int. J. Food Sci. Nutr., 58:577-587.
*Penulis;
Ardiansyah, Lab. of Nutrition, Tohoku University Sendai, Jepang. Email: ardy[at]biochem.tohoku.ac.jp / arditpg[at]gmail.com