Pages

Wednesday, November 10, 2010

Pangan Fermentasi Tradisional Indonesia

Oleh: Elvira Syamsir di dalam Kulinologi Indonesia edisi Oktober 2010

Pangan tradisional adalah pangan (makanan dan minuman) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Produk-produk pangan tradisional merupakan bagian penting dari budaya, identitas dan warisan nenek moyang yang berkontribusi pada perkembangan dan keberlangsungan dari suatu daerah dan menyediakan variasi pilihan pangan pada konsumen. Produk ini biasanya memiliki karakteristik sensorik tertentu yang khas dan biasanya dihubungkan konsumen dengan identitas daerah asalnya.

Indonesia merupakan negara multi pulau dan multi etnis. Keberagaman kondisi lingkungan dan budaya secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik produk pangan masyarakatnya dan kondisi tersebut melahirkan banyak produk pangan tradisional khas daerah. Ada banyak jenis pangan tradisional dan salah satunya adalah dari jenis pangan fermentasi. Artikel berikut akan membahas mengenai produk pangan fermentasi khas Indonesia.

Fermentasi Pangan

Sejarah produk pangan fermentasi telah berlangsung panjang, sama panjangnya dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Seperti halnya pangan tradisional lainnya, metode dan pengetahuan yang terkait dengan pengolahan pangan fermentasi lokal diwariskan ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Tentu saja, proses fermentasi yang dilakukan di masa lalu tidak berdasarkan pada kajian ilmiah peran mikroba dalam merubah karakteristik pangan, tetapi didasarkan pada tradisi bahwa teknik penyimpanan dan penanganan bahan pangan dengan cara tertentu ternyata menghasilkan produk pangan baru yang berbeda dari pangan asalnya.

Produk pangan fermentasi dihasilkan dengan melibatkan aktivitas mikroba dalam produksinya. Selama fermentasi terjadi aktivitas pemecahan komponen pangan karena aktivitas enzimatis mikroba terutama enzim amilase, protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi komponen-komponen sederhana seperti asam, alkohol, karbon dioksida, peptida, asam amino, asam lemak dan komponen-komponen lainnya. Asam, alkohol dan karbon dioksida berperan penting dalam menekan pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen. Secara bersama-sama, komponen-komponen tersebut juga menyebabkan modifikasi tekstur, aroma dan rasa sehingga dihasilkan karakteristik produk yang unik dan berbeda dengan produk asalnya.

Tujuan fermentasi pangan awalnya adalah untuk mengawetkan pangan yang bersifat musiman dan mudah rusak. Sejalan dengan perkembangan alternatif pengawetan pangan maka pengembangan produk pangan fermentasi saat ini lebih karena tekstur, aroma dan rasanya yang unik. Dampak positif dari produk fermentasi terhadap kesehatan konsumen juga menjadi alasan pengembngan produk fermentasi sekarang ini. Pemecahan komponen yang kompleks menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana menyebabkan produk fermentasi lebih mudah dicerna daripada produk pangan asalnya. Pada beberapa produk fermentasi, dilaporkan pula adanya peningkatan kandungan beberapa vitamin, antioksidan, dan senyawa lain yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, ketika produk diproduksi sebagai produk probiotik, maka keberadaan “mikroba baik” yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dapat membantu menjaga kesehatan saluran cerna dan, tergantung dari jenis bakterinya, juga dapat mencegah munculnya penyakit-penyakit degeneratif.

Mengenal Produk Fermentasi Yang Khas Indonesia

Tempe merupakan produk fermentasi khas Indonesia yang paling populer; popularitasnya bahkan sudah mencapai manca negara. Setiap orang pasti akan dengan cepat bisa menjelaskan ciri ataupun cara membuat (fermentasi) tempe. Tapi bagaimana dengan produk fermentasi khas Indonesia yang lain? Barangkali masyarakat hanya terbiasa dengan makanan tradisional didaerahnya dan asing dengan yang diproduksi oleh daerah lain.

Jenis produk fermentasi sangat beragam. Jika dilihat dari mekanisme kerja mikrobanya, maka produk fermentasi khas Indonesia secara umum dapat dimasukkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

  • Fermentasi yang secara enzimatis menghidrolisis protein dari ikan, udang dan produk-produk laut lainnya pada lingkungan dengan konsentrasi garam yang relatif tinggi menghasilkan produk dengan tekstur seperti saos atau pasta dengan flavor seperti daging. Contoh produknya adalah terasi, yang digunakan sebagai bahan penyedap makanan. Terasi dibuat dari udang atau ikan berukuran kecil yang bernilai ekonomis rendah jika dijual dalam bentuk segarnya. Bagan Siapi Api merupakan daerah penghasil terasi yang terkenal, tetapi walau demikian produk ini juga banyak diproduksi di daerah sepanjang pesisir pulau Jawa.
  • Fermentasi yang menghasilkan tekstur seperti daging pada substrat sereal, biji-bijian, ataupun kacang-kacangan, karena pembentukan miselium kapang yang berfungsi sebagai pengikat antar butir-butir serealia, biji-bijian ataupun kacang-kacangan. Contoh produknya tempe dan oncom. Tempe dibuat dari kedelai dengan bantuan kapang Rhizopus (ragi tempe), sementara oncom dibuat dari ampas tahu (oncom merah) dan bungkil kacang tanah (oncom hitam) menggunakan kapang Neurospora sitophila dan Rhizopus oligosporus. Perbedaan warna pada oncom merah dan hitam disebabkan oleh perbedaan pigmen yang dihasilkan oleh kapang yang digunakan dalam fermentasi. Tempe umum dijumpai di daerah Jawa bahkan juga diberbagai daerah di luar Jawa, sementara oncom populer terutama hanya di daerah Jawa Barat.
  • Fermentasi yang melibatkan prinsip koji, dimana mikroba starter ditumbuhkan pada substrat (kacang-kacangan atau serealia) untuk menghasilkan koji atau konsentrat enzim yang bisa digunakan untuk menghidrolisis komponen tertentu dalam suatu proses fermentasi. Contoh produknya adalah kecap, tauco, tempe, oncom dan tape. Kecap merupakan produk seasoning dan kondimen serbaguna, dibuat dari kedelai terutama kedelai hitam. Penampakan kecap seperti pasta, dengan citarasa manis atau asin. Penambahan gula aren dalam produksi kecap manis menyebabkan teksturnya menjadi lebih kental dengan warna yang lebih gelap dibandingkan kecap asin. Tauco berbentuk pasta, berwarna kuning, citarasa asin dan konsistensi seperti bubur dengan flavor seperti daging; merupakan produk fermentasi kedelai oleh kapang, kamir dan bakteri. Kecap dan tauco terutama digemari oleh masyarakat Jawa.
  • Fermentasi yang menghasilkan asam organik sebagai produk utamanya. Yang masuk dalam kelompok ini contohnya dadih, dangke, acar, tempoyak, urutan dan tape. Tempe juga dapat dimasukkan dalam kategori ini karena proses pengasaman terjadi pada saat perendaman kedelai di awal proses pengolahan. Dadih adalah susu kerbau fermentasi, dijumpai di daerah Sumatera Barat. Proses fermentasinya dilakukan secara spontan oleh bakteri asam laktat yang terdapat didalam tabung bambu yang digunakan sebagai wadah fermentasinya. Dadih memiliki tekstur seperti gel dengan citarasa yang asam. Dangke adalah sejenis keju lunak yang dibuat oleh masyarakat Enrekang, Sulawesi Selatan dengan menggunakan susu kerbau sebagai bahan bakunya. Acar atau produk fermentasi sayuran, umum dijumpai di berbagai daerah Indonesia. Tempoyak yang bercitarasa asam dengan sedikit rasa manis dan asin merupakan produk fermentasi daging durian yang sudah lewat matang (over ripe). Berkembang di Palembang (Sumatera Selatan) dan beberapa daerah di Kalimantan, produk ini biasa digunakan sebagai kondimen untuk beberapa produk olahan ikan dan sayur. Urutan merupakan produk sosis fermentasi lokal, yang berasal dari daerah Bali dan menggunakan daging babi sebagai bahan bakunya. Proses fermentasinya dilakukan bersama-sama dengan proses pengeringan.
  • Fermentasi yang menghasilkan alkohol (etanol) sebagai produk utama. Contoh produknya adalah tape ketan dan brem. Tape ketan memiliki citarasa manis/asam. Kapang Amylomyces rouxii dan kamir Endomycopsis burtonii menghidrolisis nasi ketan menjadi maltosa dan glukosa lalu fermentasi lebih lanjutnya memecah gula menjadi etanol dan asam organik. Jus dari tape ketan bisa digunakan untuk memproduksi brem. Ada tiga tipe brem: brem Madiun berwarna putih kekuningan, dengan citararasa asam-manis dan berbentuk balok berukuran 0.5 x 5 to 7 cm; brem Wonogiri berwarna putih, rasa manis, sangat mudah larut dan dibuat dalam bentuk balok bundar tipis berdiameter sekitar 5 cm; dan brem Bali merupakan minuman keras terkenal di daerah Bali.Selain tape ketan, juga dikenal tape singkong. Tape singkong populer diberbagai daerah di Indonesia, teksturnya lunak dan berair. Pengecualian dijumpai pada tape singkong di daerah Jawa Barat: tape singkongnya walaupun lunak, tapi tidak berair dan dikenal dengan nama peuyem.
Masalah Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengembangan Produk

Produk fermentasi tradisional umumnya dibuat oleh unit usaha kecil. Teknologi fermentasi yang digunakan berkembang melalui pengalaman bertahun-tahun dan bukan karena inovasi ilmiah. Pengembangan industri ke skala yang lebih besar, perlu memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:

Tampilan produk.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penampilan adalah daya tarik awal konsumen membeli suatu produk. Ini terutama berlaku untuk konsumen non lokal, yang belum mengenal produk. Kemasan yang terkesan apa adanya, ukuran yang tidak seragam dan tidak memperhatikan berapa ukuran yang pantas untuk satu kali penyajian adalah beberapa contoh masalah tampilan yang membuat produk tidak populer.

Kebersihan dan sanitasi.
Merupakan aspek penting untuk dikendalikan. Produsen atau penjual pangan tradisional termasuk pangan fermentasi masih banyak yang mengabaikan faktor kebersihan dan sanitasinya. Dengan kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk, maka calon pembeli (terutama dari golongan berada) akan menjadi tidak berminat membeli makanan ini karena khawatir dengan faktor keamanannya.

Masalah skala produksi.
Skala usaha yang kecil menyebabkan industri tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Kenapa demikian? Selain faktor modal, hal ini juga terkait dengan masalah kemampuan produksi yang belum memadai. Selain itu, teknik produksi yang umumnya tidak menerapkan prosedur operasional baku dan hanya didasarkan pada kebiasaan tanpa dasar ilmiah yang memadai menyebabkan variasi mutu produk ketika skala produksi ditingkatkan.

Mungkin masih ada kendala lain yang menyebabkan pangan fermentasi tradisional kita tidak populer di negeri sendiri (apalagi di negeri orang), tetapi paling tidak tiga masalah diatas mutlak dibenahi.

Citra pangan fermentasi tradisional juga perlu diangkat dengan promosi yang dilakukan secara terus-menerus, baik mengenai citarasanya, manfaat kesehatannya maupun hal-hal menarik lain terkait dengan produk tersebut. Acara-acara wisata kuliner yang marak di media massa sekarang ini, adalah salah satu contoh promosi pangan tradisional yang sangat baik.

Tetapi, promosi saja tidaklah cukup. Produk juga harus tampil bersih, cantik dan seksi sehingga mengundang konsumen untuk membeli. Juga perlu kerjasama antara pelaku industri dan peneliti yang dimediasi oleh pemerintah untuk mengembangkan perbaikan dan modernisasi proses pengolahan produk fermentasi tradisional, sehingga diperoleh produk yang tetap memiliki ciri khas asalnya dengan kualitas yang baik dan kuantitas produksi yang tinggi.

Daftar Pustaka:

Guerrero, L., M.D. Gua`rdia, J. Xicola, W. Verbeke, F. Vanhonacker, S. Zakowska-Biemans, M. Sajdakowska, C. Sulmont-Rosse´, S. Issanchou, M. Contel, M.L. Scalvedi, B.S. Granli, M. Hersleth. 2009. Consumer-driven definition of traditional food products and innovation in traditional foods. A qualitative cross-cultural study. Appetite 52:345–354

Kuswanto, K.R. 2004. The Industry of Fermented Food in Indonesia: present status and development. Di dalam: Proceedings of the International Seminar on Developing Agricultural Technology for Value-added Food Production in Asia. Japan.

Leisnera, J.J., B. Vancanneyt, G. Rusul, B. Pot, K. Lefebvre, A. Fresi, L.K. Tee. 2001. Identification of lactic acid bacteria constituting the predominating microflora in an acid-fermented condiment (tempoyak) popular in Malaysia. International Journal of Food Microbiology 63:149 –157

Steinkraus, K.H. 1985. Indigenous fermented-food technologies for small-scale industries. Food and Nutrition Bulletin 7(2). Japan.