Pages

Thursday, August 26, 2010

Keamanan Mikrobiologi Telur

Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia)

Telur merupakan bahan pangan dengan kandungan gizi yang tinggi. Ternyata, kandungan zat gizi yang baik ini tidak hanya dibutuhkan oleh manusia tetapi juga disukai oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Karena mikroba, termasuk yang patogen, bisa mengontaminasi telur dengan berbagai cara, sejak dari tahap produksi, selama penyimpanan, pengolahan, preparasi dan sampai sesaat sebelum dikonsumsi, maka penting bagi kita untuk menerapkan upaya-upaya yang dapat meminimalkan kontaminasi dan pertumbuhannya pada telur dan produk olahan telur.

Bagaimana mikroba patogen mengontaminasi isi telur

Jumlah mikroba pada kulit telur sekitar 102–107 koloni/gram (dinyatakan sebagai angka lempeng total). Beberapa bakteri patogen yang mungkin terdapat pada kulit telur adalah Salmonella, Campylobacter dan Listeria. Dari berbagai jenis patogen tersebut, Salmonella merupakan patogen utama yang mengontaminasi telur dan produk olahan telur.

Salmonella bisa ditemukan dalam saluran pencernaan hewan (termasuk unggas). Konsumsi pangan yang mengandung sel viabel Salmonella dalam jumlah besar (105 sel) dapat menyebabkan infeksi salmonellosis dengan gejala pusing, muntah-muntah, sakit perut bagian bawah dan diare yang kadang didahului oleh sakit kepala dan menggigil. Beberapa Salmonella dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius: S. paratyphi menyebabkan paratifus dan S. typhi menyebabkan tifus. Saat ini juga terdeteksi adanya S. typhimurium DT 104 yang resisten terhadap lima antibiotika (ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, sulfonamides dan tetracycline).

Telur dikeluarkan dari tubuh induk ayam melalui saluran yang juga digunakan untuk mengeluarkan feces. Hal inilah yang menyebabkan kulit telur bisa menjadi sumber patogen yang berasal dari feces ayam. Selain dari feces ayam, kulit telur juga bisa terkontaminasi karena kontak dengan lingkungan, udara, pakan dan peralatan yang kotor. Patogen yang menempel di kulit telur ini bisa masuk kedalam isi telur melalui pori-pori kulit, terutama jika kulit dalam kondisi lembab (basah).

Selain terkontaminasi karena masuknya patogen dari kulit telur, patogen didalam isi telur juga bisa berasal dari induk ayam yang terinfeksi. Sebagai contoh, Salmonella enteritidis adalah Salmonella penyebab salmonellosis yang ditemukan pada isi telur segar yang kondisi kulitnya utuh (tidak retak/pecah) dan bersih. Kontaminasinya ke dalam telur terjadi di dalam ovarium induk, sebelum isi telur dibungkus oleh kulit pada saat produksi telur. Ayam yang menjadi pembawa S. enteritidis seringkali terlihat sehat.

Menjaga keamanan telur

Tujuan utama dari penanganan (termasuk penyimpanan) telur yang baik adalah untuk mencegah masuknya patogen dari luar kedalam isi telur dan menghambat patogen yang mungkin ada didalam isi telur untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan, yaitu:

1. Memilih telur yang bersih dan tidak retak. Bersih dan tidak retak atau pecah merupakan syarat pertama dalam memilih telur. Telur yang kotor dan dipenuhi oleh feces ayam biasanya memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi, sementara telur yang retak atau pecah akan memperbesar peluang masuknya patogen kedalam isi telur. Jika telur retak atau pecah selama pembelian dan/atau transportasi, maka isi telur harus segera dipisah dari kulit telur; segera diolah dan tidak disimpan untuk pemakaian beberapa hari kedepan. Jika membeli dalam jumlah banyak, pastikan untuk membeli telur yang bersih dan tidak retak/pecah dari peternak yang telah menerapkan praktek produksi telur (praktek beternak) yang baik sehingga dapat meminimalkan kontaminasi telur oleh feces maupun oleh lingkungan.

2.  Mereduksi jumlah mikroba awal yang terdapat di kulit telur. Penurunan jumlah mikroba pada kulit telur dapat dilakukan dengan proses pencucian. Proses pencucian dibutuhkan jika anda membeli telur dalam jumlah besar dan akan disimpan untuk jangka waktu yang agak lama, atau jika kulit telur diterima dalam kondisi kotor. Telur dicuci dengan air bersih hangat (lebih baik jika juga menggunakan sanitaiser yang food grade), suhu minimal 32oC dan 6–8,5oC lebih tinggi dari suhu telur. Pencucian dilakukan dengan hati-hati agar telur tidak retak atau pecah. Telur yang telah dicuci harus segera dikeringkan. Pencucian yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko penetrasi mikroba kedalam telur. Sebagai contoh, jika suhu air pencucian lebih rendah dari suhu telur, maka perbedaan tekanan yang dihasilkan akan menyebabkan mikroba di kulit telur masuk kedalam telur.

Jika anda membeli telur dalam jumlah sedikit dan akan habis dalam waktu beberapa hari ke depan, maka proses pencucian tidak perlu dilakukan asalkan anda memilih telur dengan kondisi kulit yang mulus, bersih dan tidak retak atau pecah. Secara alami, kulit telur memiliki lapisan pelindung yang menghambat masuknya mikroba kedalam telur.

3. Menyimpan telur di suhu dingin. Penyimpanan dingin dilakukan untuk menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroba, termasuk juga patogen yang mungkin mengkontaminasi isi telur. Karena Salmonella dapat tumbuh dan berkembang biak pada suhu 10oC, untuk mengurangi risiko perkembangbiakannya maka penyimpanan telur sebaiknya dilakukan pada suhu kurang dari 7,5 derajat C.

Telur yang telah disimpan di refrigerator, tidak boleh dikeluarkan dan diletakkan di suhu ruang untuk waktu yang lama. Gunakan telur maksimum setelah dua jam dikeluarkan dari refrigerator. Peningkatan suhu dari suhu dingin (refrigerator) ke suhu ruang menyebabkan kulit telur ‘berkeringat’ dan mempercepat proses pertumbuhan mikroba.

Seperti penyimpanan bahan pangan lainnya, ingat juga untuk selalu menerapkan konsep FIFO: First In First Out dalam penyimpanan telur. Artinya telur yang disimpan lebih awal juga harus digunakan lebih awal.

4. Memasak telur yang akan dikonsumsi.  Karena isi telur berpotensi untuk tercemar patogen, maka sangat tidak disarankan untuk mengkonsumsi telur dalam kondisi mentah atau setengah matang. Telur maupun produk olahan telur hendaknya dimasak sampai suhu di bagian terdingin produk (bagian yang paling lambat panas) mencapai 72oC; atau sampai bagian putih telur menjadi kaku dan memutih sementara kuning telur memadat sempurna.

Keracunan pangan lebih sering terjadi pada produk olahan telur yang tidak memperoleh pemanasan yang cukup untuk membunuh patogen. Beberapa produk dengan risiko kontaminasi yang cukup tinggi adalah tiramisu, scrambled egg, omelette, quiche, beberapa produk pastry, homemade mayonnaise, homemade ice-cream dan beberapa jenis sauce. Anda bisa menggunakan produk telur cair yang telah dipasteurisasi pada produk-produk di mana proses pengolahannya tidak melalui tahapan proses pemanasan. Tentu saja dengan catatan bahwa proses penyimpanan dan penanganan telur pasteurisasi anda tidak menyebabkan terjadinya rekontaminasi pada telur cair tersebut.

5. Menerapkan cara produksi makanan yang baik.  Penerapan cara produksi makanan yang baik selama menangani telur dan produk-produk olahan yang mengandung telur sangat penting untuk meminimalkan kontaminasi patogen dan risiko keracunan pangan. Penggunaan telur yang kotor atau retak, praktek penyimpanan telur di suhu yang menyebabkan pertumbuhan Salmonella, atau menggunakan telur yang sudah lama disimpan dapat meningkatkan risiko keracunan pangan. Praktek penanganan pangan yang tidak higienis dan mengabaikan aspek sanitasi juga berkontribusi pada meningkatnya risiko keracunan pangan. Beberapa contoh praktek penanganan yang seharusnya dilakukan adalah: mencuci dan mengeringkan tangan sebelum dan sesudah menangani telur; menggunakan peralatan atau tangan yang bersih untuk memisahkan kuning dan putih telur; menjaga agar semua permukaan, wadah dan peralatan pengolahan bersih dan kering; menggunakan wadah berbeda yang diletakkan terpisah untuk menangani produk yang berbeda; menjaga agar telur mentah tidak mengontaminasi produk siap santap; dan memahami umur simpan produk serta praktek penyimpanannya.

Ir. Elvira Syamsir MSi. Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Peneliti SEAFAST Center IPB