Pages

Monday, December 21, 2009

Makanan Khas Daerah

Oleh: Elvira Syamsir

sumber: Elvira-Kompasiana

Coba anda sebutkan nama-nama makanan khas daerah di Indonesia. Pasti anda tidak lupa menyebutkan gudeg yang merupakan masakan khas Yogya, atau rendang yang merupakan masakan khas orang Minang. Gudeg dan rendang hanyalah dua dari banyak masakan khas daerah kita. Ya, Indonesia dengan beragam daerah dan suku bangsa sangat kaya dengan makanan dan minuman khas daerah yang membangkitkan selera. Selain dari kelompok masakan yang merupakan lauk dan biasa dimakan dengan nasi, makanan khas daerah juga ada yang masuk dalam kelompok makanan berat, makanan ringan (camilan, snack) dan minuman. Untuk kelompok makanan berat, kita kenal ada ketoprak, gado-gado, siomay, batagor, mie-bakso, soto, pempek, tinutuan dan masih banyak yang lainnya. Begitupun untuk makanan ringan. Colenak, kelepon, tahu brontak, bika ambon, suwar-suwir, getuk, wajik, lempok, kue karawang hanyalah sedikit dari jenis jajanan tradisional yang bisa saya sebutkan. Untuk minuman-pun, seperti halnya makanan, kita punya banyak jenis. Sebut saja beberapa diantaranya: es teler, bandrek, bajigur, es palubutung, dawet ayu, minuman beras kencur dan bir pletok. Dari banyak nama makanan dan minuman yang saya tadi, mungkin beberapa diantaranya ada yang anda kenal, dan saya yakin, lebih banyak nama jenis makanan khas daerah yang terdengar asing di telinga kita.

Kapan kita mencari makanan khas daerah? Biasanya kalau kita datang berkunjung ke daerah penghasil, atau kalau kita pulang kampung. Kita mencari makanan tersebut sebagai oleh-oleh atau sekedar sebagai penghubung dengan sejarah masa lalu. Bagaimana kalau kita ingin mencari makanan tersebut di luar daerah penghasilnya? Kecuali untuk yang benar-benar populer, barangkali kita jarang atau tidak bakal pernah menjumpainya! Mengapa demikian? Apa yang salah? Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkannya, dan akan saya coba menguraikannya disini.

1. Masalah persepsi dan pencitraan

Sampai saat ini, masih banyak masyarakat kita yang terjebak dengan pendapat bahwa apa yang berasal dari luar masih lebih baik dari yang berasal dari dalam negeri. Hal ini juga berlaku untuk makanan; pizza lebih baik daripada lontong sayur. Padahal, pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Banyak juga makanan asing yang masuk dalam kategori junk food, makanan sampah yang komposisi gizinya tidak seimbang.

2. Masalah penampilan makanan khas lokal yang ‘payah’

Dari mata turun ke hati. Peribahasa ini barangkali juga cocok kita tujukan pada konsumen yang akan membeli makanan. Makanan khas kita, sering kali tampil dalam bentuk yang tidak cantik. Ukuran yang tidak seragam; atau kadang potongannya yang tidak praktis: dikonsumsi sekali makan tidak habis, disimpan jumlahnya ‘nanggung’; atau masalah kemasannya yang terkesan murah dan apa adanya…. Dengan kondisi begini, bagaimana makanan khas daerah akan bersaing? Walaupun isinya luar biasa enak, tapi jika pada pandangan pertama memberi kesan tidak menarik, jangan berharap bahwa orang awam akan membeli produk ini.

3. Masalah kebersihan dan sanitasi.

Nah ini juga tidak kalah pentingnya. Produsen atau penjual makanan lokal khas daerah masih banyak yang mengabaikan faktor kebersihan dan sanitasinya. Sangat kontras dengan tempat-tempat yang menjual makanan luar. Bedanya seperti langit dan bumi. Dengan kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk, maka calon pembeli (terutama dari golongan berada) akan menjadi tidak berminat membeli makanan ini karena khawatir dengan faktor keamanannya

4. Masalah skala produksi

Nah, yang ini masalah lain lagi. Biasanya, kondisi usaha sudah cukup baik, populer, tetapi tetap tidak bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Kenapa demikian? Selain faktor modal, hal ini juga terkait dengan masalah kemampuan produksi yang belum memadai. Teknik produksi makanan khas daerah sampai saat ini kebanyakan belum menerapkan prosedur operasional yang baku (sehingga mutu produk kadang tidak seragam) dan masih menerapkan sistim produksi yang diajarkan oleh generasi sebelumnyan dengan sedikit perbaikan proses. Kondisi seperti ini tentu tidak bisa diharapkan untuk secara signifikan memperbesar skala produksi.

Mungkin masih ada kendala lain yang menyebabkan makanan tradisional khas daerah kita tidak populer di negeri sendiri (apalagi di negeri orang), tetapi menurut saya, empat masalah diatas mutlak dibenahi. Citra makanan khas daerah perlu diangkat dengan promosi yang dilakukan secara terus-menerus. Anda tentu masih ingat, mie instan diterima dan membudaya di masyarakat karena promosi yang terus-menerus selama bertahun-tahun lamanya. Acara-acara wisata kuliner yang marak di media massa sekarang ini, adalah salah satu contoh promosi makanan khas daerah yang sangat baik. Tetapi, promosi saja tidaklah cukup. Makanan lokal juga harus tampil cantik, seksi dan bersih. Pelaku usaha perlu diajarkan cara untuk membuat produk yang tidak saja enak, tapi penampilan dan kebersihannya juga mampu memikat orang sehingga mau mencoba mencicipinya. Lalu, pemerintah hendaknya juga mulai mengembangkan perbaikan dan modernisasi teknologi pengolahan produk khas daerah, sehingga diperoleh produk dengan kualitas produk yang baik dan kuantitas produksi yang tinggi.

Jika kita bisa melakukan hal diatas, barangkali bisalah kita bermimpi melihat produk-produk lokal kita seperti empek-empek palembang, sate, ikan pindang atau produk tradisional lainnya dicari oleh tidak saja masyarakat dari daerah lain, tetapi juga oleh orang asing. Jika tidak…? Bersiap-siaplah jika beberapa tahun kedepan anak cucu kita tidak lagi kenal dengan makanan nenek moyangnya…