sumber: kompas.com
Kajian risiko terhadap keamanan bahan tambahan pangan (BTP) di Indonesia perlu dikembangkan dan lebih dipertajam. Hal ini sangat penting untuk menentukan batas maksimum penggunaan BTP secara lebih akurat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Seperti diungkapkan Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi M.Sc, ahli pangan dari Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, Indonesia saat ini belum memiliki data penelitian yang komprehensif tentang paparan BTP dikaitkan dengan kebiasaan pola makan masyarakat (total diet study). Padahal, kajian paparan ini juga penting sebagai bahan acuan dalam menentukan batas maksimum penggunaan BTP.
"Kajian paparan ini sangat penting dilakukan. Total diet study perlu untuk menentukan estimated daily intake (EDI) atau perkiraan distribusi asupan per hari. Kita perlu memperkirakan, seberapa banyak sih orang Indonesia makan kecap atau jenis makanan lainnya yang kemungkinan menurut peraturan diperbolehkan menggunakan pengawet tertentu," ungkap Purwiyatno dalam acara temu media yang diselenggarakan Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM), di Jakarta, Senin (18/10).
Dengan mengkaji kebiasaan dan pola konsumsi masyarakat, kata Purwiyatno, nantinya pemerintah dalam hal ini BPOM dapat menentukan potensi paparan bahan tambahan pangan yang nilainya bisa lebih akurat dan mewakili kebutuhan orang Indonesia.
Selain EDI, masyarakat sebelumnya juga telah mengenal ADI atau acceptable daily intake atau jumlah yang dianggap aman untuk konsumsi setiap hari. ADI didasarkan pada hasil uji toksisitas, sedangkan EDI lebih menekankan pada kajian potensi paparan. Kedua hal ini, menurut Purwiyatno yang menjadi acuan dalam menentukan batas maksimum penggunaan BTP.
Terkait kasus bahan pengawet pada mi instan, BPOM menyatakan bahwa penggunaan BTP nipagin pada seluruh produk yang terdaftar telah sesuai dengan ketentuan yakni 250 mg/kg. Oleh sebab itu, masyarakat tidak perlu khawatir dengan konsumsi mi instan karena hasil uji sampel kecap dalam seluruh mi instan yang beredar tidak ada yang melebihi 250 mg per kg.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Roy Sparringa, angka 250 mg/kg ini apabila diperhitungkan sudah sesuai dengan jumlah yang dianggap aman untuk konsumsi yakni sebesar 10 mg/kg berat badan setiap hari.
Dalam penentuan batas maksimum, BPOM sendiri ini didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti hasil kajian toksisitas, acuan dari Codex Alimentarius Commission (CAC) dan konsentrasi aktual BTP yang digunakan oleh produsen. Namun begitu, menurut Purwiyatno, pertimbangan untuk menentukan batas maksimum semestinya dilengkapi dengan kajian paparan, supaya masyakarat dapat mengukur dan mengetahui berapa jumlah maksimal suatu jenis makanan yang harus dikonsumsi.