WABAH flu unggas telah memorakporandakan bisnis peternakan di Indonesia dan juga di Asia dalam beberapa bulan terakhir. Tak terhitung berapa besar kerugian yang harus ditanggung para peternak karena pemusnahan yang memang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran. Selain itu, muncul isu-isu dan ketakutan luar biasa untuk mengonsumsi daging unggas sehingga perlu dilakukan acara-acara di mana para pemuka masyarakat diabadikan sedang mengonsumsi daging ayam agar masyarakat tidak khawatir berlebihan tertular oleh virus flu melalui makanan dari daging unggas.
Dari para korban sakit ataupun meninggal karena terinfeksi oleh virus penyebab flu burung ini, ternyata semuanya tertular melalui kontak langsung dengan unggas. Sampai saat ini belum ada laporan tentang adanya korban manusia yang tertular melalui makanan. Agaknya saat ini kasus infeksi virus ini pada manusia lebih banyak merupakan occupational hazard bagi pekerja pengelola ternak unggas ketimbang sebagai kasus food borne illness melalui makanan. Artikel ini mengulas tentang virus, bagaimana bisa ditemukan dalam bahan pangan, dan cara-cara penanganan serta inaktivasinya dalam bahan pangan agar tidak menyebabkan sakit pada manusia.
Apakah virus?
Virus adalah makhluk hidup terkecil yang ditemukan saat ini dengan ukuran 25-250 nanometer (1 nanometer = sepersejuta milimeter). Dikarenakan ukurannya yang amat kecil, virus tidak dapat terlihat dengan mikroskop cahaya dan hanya dapat diamati dengan mikroskop beresolusi tinggi, seperti mikroskop elektron.
Struktur virus lebih sederhana jika dibandingkan dengan makhluk mikroskopis lainnya, seperti bakteri, kapang, ataupun kamir. Virus umumnya mengandung materi genetika berupa DNA (asam deoksiribonukleat) atau RNA (asam ribonukleat) dan tidak pernah keduanya, yang terbungkus dalam suatu protein serta kadang-kadang lipida. Virus tidak memiliki organ atau struktur untuk metabolisme. Oleh karena itu, virus harus meminjam dengan cara hidup menumpang pada makhluk hidup lainnya.
Dikarenakan harus menumpang pada makhluk hidup lainnya, virus dikatakan bersifat parasit mutlak (obligate parasite), yang artinya hanya dapat hidup pada jaringan atau sel yang hidup. Jadi, virus hidup dengan baik pada daun tanaman hidup, misalnya. Akan tetapi, jika daun tersebut dipetik dan kemudian mati, virus akan sukar bertahan. Hal yang sama diketahui untuk virus dalam jaringan sel hewan, yang akan hidup dengan baik pada hewan hidup, tetapi akan sukar bertahan jika hewan tersebut mati.
Virus pada umumnya memiliki sifat spesifik pada inang tertentu (host specific). Artinya, virus yang menyerang hewan tertentu tidak menyerang manusia dan sebaliknya. Meskipun demikian, beberapa virus ditemukan bersifat zoonosis, artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus menyerang semua makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan bakteri. Ketika menyerang, virus menginjeksikan DNA atau RNA-nya untuk kemudian diinkorporasikan ke dalam DNA inang. Dalam kondisi tersebut, metabolisme virus dapat berlangsung.
Sifat penting virus lainnya adalah kemampuannya untuk bermutasi sehingga sering kali terdapat berbagai serotipe pada satu jenis virus. Mekanisme ini digunakan oleh virus sebagai sarana pertahanan terhadap sistem kekebalan manusia atau hewan sehingga kekebalan terhadap virus sukar dicapai.
Virus dalam bahan pangan
Berbagai jenis virus telah dilaporkan dapat bertahan dalam bahan pangan dalam rentang waktu relatif lama dan menyebabkan penyakit pada manusia yang mengonsumsinya. Virus asal pangan (food borne viruses) umumnya berukuran 25-30 nanometer (nm) dan yang paling besar mencapai 75 nm. Kebanyakan virus yang ditularkan melalui makanan mengandung materi genetika berupa RNA. Virus pada bahan pangan jika menyebabkan penyakit pada manusia umumnya memerlukan waktu inkubasi yang panjang. Artinya, jarak waktu konsumsi dan waktu timbulnya gejala penyakit cukup lama sehingga pelacakan terhadap makanan penyebab penyakit ini cukup sulit ditelusuri.
Sebelum ditemukan proses pasteurisasi (pemanasan pada suhu rendah untuk melenyapkan bakteri Coxiella burnetti) serta penerapan sanitasi yang baik, manusia bisa terjangkit penyakit polio melalui virus polio yang terdapat pada susu mentah. Susu mentah pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat (AS) sebagai pembawa virus polio pada tahun 1914.
Salah satu virus asal pangan lainnya yang penting adalah virus hepatitis A. Virus yang umumnya berasal dari kotoran manusia ini dapat mencemari air. Jika praktik higiene sanitasi tidak dilakukan dengan baik, virus ini dapat mencemari makanan, khususnya yang tidak diolah dengan pemanasan atau perlakuan pemasakan lainnya. Waktu inkubasi penyakit hepatitis A adalah 15-50 hari dengan rata-rata 28 hari. Kerang adalah jenis makanan yang paling sering dihubungkan dengan virus hepatitis A. Kerang dapat mengandung virus ini karena: (1) perairan tempat tumbuhnya tercemar feses manusia, (2) cara makannya dengan cara filter feeder (menyaring) menyebabkan virus terkonsentrasi dalam kerang, (3) saluran pencernaannya selalu ikut dimakan, (4) sering kali tidak dimasak dengan sempurna, dan (5) kerang melindungi virus selama pemanasan.
Virus Norwalk-like saat ini dilaporkan sebagai penyebab utama keracunan pangan akibat virus di AS. Virus yang terdiri atas beberapa serotipe ini mengakibatkan gastroenteritis dengan ciri diare dan muntah dengan waktu inkubasi 18-36 jam. Di negara AS dan Inggris, salad adalah makanan yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab keracunan pangan oleh Norwalk-like.
Beberapa virus bersifat zoonosis. Virus penyebab ensefalitis, misalnya, dapat disebabkan oleh konsumsi susu mentah yang diperah dari kambing, sapi, atau domba yang memperoleh virus tersebut dari gigitan serangga. Karena itu, penyakitnya disebut tick-borne encephalitis. Berbeda dengan mikroba lain, seperti bakteri, virus tidak dapat berkembang biak di dalam bahan pangan. Oleh karena itu, jumlah virus dalam makanan tidak akan bertambah, bahkan mungkin menurun jika rentang waktu antara saat pencemaran terjadi dan saat makanan tersebut dikonsumsi cukup besar. Hal ini disebabkan bahan pangan bukanlah benda hidup yang dapat mendukung pertumbuhan virus.
Inaktivasi virus
Virus adalah mikroorganisme yang tidak tahan pemanasan dan ketahanannya sebanding dengan sel vegetatif bakteri. Ketahanan virus dalam makanan lebih tinggi jika makanan disimpan pada suhu refrigerasi maupun pembekuan. Meskipun demikian, tidak ada virus yang tahan untuk rentang waktu yang lama jika disimpan pada suhu ruang atau suhu yang lebih rendah.
Inaktivasi virus dapat dilakukan dengan pemanasan, pengeringan, ataupun pemberian radiasi elektromagnetik. Pemanasan pada suhu 55 derajat Celsius selama 30 menit dilaporkan dapat membunuh berbagai jenis virus dalam susu. Meskipun demikian, ada laporan yang bertentangan yang menunjukkan bahwa virus hepatitis A, Norwalk-like, serta virus mulut dan kuku dapat bertahan pada suhu dan waktu tersebut. Perbedaan hasil penelitian sering kali disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan dalam penghitungan virus. Inaktivasi virus karena panas diperkirakan terjadi akibat kerusakan asam nukleat maupun protein virus.
Pengeringan dengan udara juga dapat menginaktifkan virus. Di samping itu, proses pengeringan beku (freeze drying) yang kadang-kadang diterapkan pada pengolahan pangan untuk menghindari kerusakan flavor juga dilaporkan dapat menginaktifkan 99 persen virus.
Sinar ultraviolet, baik yang berasal dari sinar Matahari maupun lampu sumber sinar ultraviolet, juga efektif dalam menginaktivasi virus, khususnya virus yang ada di permukaan. Radiasi ionisasi, misalnya dengan menggunakan Cobalt 60, dapat memenetrasi bahan pangan dan menginaktifkan virus. Dosis radiasi beberapa virus adalah sekitar 4.3 kGray (0.43 Mrad). Radiasi gelombang mikro (microwave) juga dapat menginaktifkan virus meskipun tidak jelas diketahui apakah inaktivasi disebabkan oleh pengaruh sinar elektromagnetik, osilasi molekul air, atau panas yang dihasilkan.
Virus yang terdapat pada permukaan bahan pangan juga dapat diinaktifkan dengan perlakuan desinfektan, misalnya oksidator kuat seperti ozon ataupun klorin. Desinfektan dari kelompok senyawa amonium kuaterner dan fenol umumnya tidak efektif dalam menginaktifkan virus.
Masaklah, bersihkan, dan pisahkan
Bahan pangan yang dipanaskan dengan cukup seharusnya tidak mengandung virus yang dapat mengakibatkan penyakit pada manusia. Bahan pangan yang berpeluang besar mengandung virus adalah bahan pangan yang tidak diolah, misalnya sayur-mayur mentah, daging (sapi ataupun unggas) yang tidak dimasak dengan cukup (rare, medium), dan susu mentah. Beberapa jenis pangan olahan di Indonesia diolah dengan proses pemanasan yang panjang, seperti rendang, balado, dan opor, tetapi beberapa jenis lainnya rawan kurang pemasakan (undercooked), misalnya sate, daging/ayam/ikan bakar, serta jenis makanan mentah, seperti lalap, karedok, dan sebagainya.
Di samping pemasakan yang tidak mencukupi, cara penanganan makanan yang buruk dapat meningkatkan kemungkinan berpindahnya virus dari satu sumber ke bahan pangan atau bahan pangan ke bahan pangan lainnya. Praktik sanitasi pekerja pengolah makanan yang buruk sangat berpotensi menularkan virus dari tubuh pekerja ke makanan. Penggunaan peralatan (talenan, pisau, dan alat dapur lainnya) yang sama untuk menangani bahan pangan mentah dan bahan pangan yang telah dimasak dapat menyebabkan pencemaran silang yang mengakibatkan berpindahnya virus dari bahan mentah ke bahan matang. Akibat yang sama juga terjadi ketika bahan mentah dan bahan matang disimpan di dalam wadah yang sama meski secara bergantian. Pencemaran ini makin menimbulkan potensi bahaya penyakit pada manusia jika bahan pangan mentah tidak diolah lebih lanjut.
Oleh karena itu, untuk menghindari keracunan akibat virus dalam bahan pangan, dianjurkan tiga praktik pengolahan makanan yang baik, yaitu cook, clean, dan separate (masaklah, bersihkan, dan pisahkan). Masaklah semua bahan pangan sampai benar-benar matang, bersihkan tangan dan semua peralatan yang digunakan untuk memasak, kemudian pisahkan bahan mentah dengan bahan matang. Selamat mengolah makanan dengan aman!
Kompas, 15 Maret 2004